Bagus Dwi Hananto, Cerpen, Koran Tempo

Rendezvous Keluarga Masa Depan

Rendezvous Keluarga Masa Depan - Cerpen Bagus Dwi Hananto

Rendezvous Keluarga Masa Depan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

5
(1)

Cerpen Bagus Dwi Hananto (Koran Tempo, 03 April 2022)

PAGI itu aku terbangun dan tersadar: istriku pergi dengan ambulans kemarin malam. Sudah jauh malam pada saat dua petugas berseragam medis mengetuk pintu rumahku beberapa kali. Begitu kubuka pintu, aku sadar di balik punggungku, Sanae mengikuti mencari tahu siapa yang bertamu sedemikian larut.

Dan di depan kami, dua lelaki berbadan besar turun dari ambulans. Tanpa salam sapa lebih dulu, salah satu dari mereka angkat bicara.

“Kabar baik, Nyonya Mamoru. Saatnya sudah tiba. Masih ingat yang kami katakan lewat telepon tempo hari, bukan?”

Istriku melangkah keluar, membuatku bertanya-tanya. Namun pertanyaanku tak digubris. Istriku sekadar menoleh ke arahku, kemudian membuang pandang.

“Kalian tidak berbohong, kalian benar-benar bisa dipercaya?”

“Kenapa harus berbohong. Bukti-bukti dari Dokter Hasegawa sudah kami berikan kemarin dulu. Anda tak perlu khawatir. Ini sungguh nyata.”

Tak tahan aku dibuatnya, aku lantas kembali urun suara. “Ada apa sebenarnya, Sanae?”

“Kau tidak usah khawatir, Ando. Aku pergi. Besok pasti akan ada seseorang yang mengabarimu ke mana aku pergi.”

Istriku mengambil mantel, beberapa saat kemudian sudah siap mengikuti kedua orang dari ambulans itu.

“Hei, tunggu, mau ke mana? Ada apa sebenarnya?”

Salah satu dari petugas itu tersenyum.

“Jangan khawatir, Tuan Mamoru. Kami tidak bermaksud jahat.”

Pada waktu itulah aku mulai merasa mengantuk berat dan sulit mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Hingga aku terbangun di atas ranjang, padahal kemarin seperti sudah tak sadar di dekat pintu. Di sana, pada ambang pintu, istriku melambaikan tangan seraya tersenyum tipis sebelum pergi bersama dua petugas yang naik ambulans.

***

Kalau aku urut-urut kembali, tak ada dalam hidup kami pernah berurusan dengan hal-hal serumit ini. Atau bisa dibilang semisterius ini, sesuatu yang terjadi begitu lekas tanpa bisa diketahui musababnya. Kami tak saling menyimpan persoalan. Semua dibicarakan apa adanya. Atau berbuat salah pada siapa pun yang membikin salah satu dari kami dijemput paksa begitu saja. Kami keluarga biasa, tidak naik mobil kalau bekerja, lantaran kereta dirasa sudah cukup. Sebulan sekali kami pergi jalan-jalan. Yang terjauh hanya sampai Izu, di deretan penginapan dengan pemandian air panas sekadar demi menyegarkan pikiran dari keruh akibat beban pekerjaan. Rasa-rasanya tak ada persoalan berarti.

Fakta bahwa malam-malam dua petugas medis membawa ambulans, lalu muncul di muka rumah kami lantas membawa istriku terasa janggal. Aku pun disuruh menunggu kabar lebih lanjut. Namun apa persoalan yang sesungguhnya terjadi? Diingat-ingat sampai masa lalu terjauh pun rasa-rasanya aku dan istriku tak pernah berbuat kesalahan. Kami berdua orang yang terlampau kalem untuk bisa dibilang bermasalah. Aku kenal betul istriku. Tentu saja aku mengenal diriku sendiri, dan yakin kami tak berbuat apa pun sampai mengakibatkan dua orang aneh muncul tiba-tiba dan membawa istriku. Dan siapa Dokter Hasegawa? Gema nama itu seperti membersitkan sesuatu yang berasal dari masa lalu. Tetapi terasa tipis. Siapakah Hasegawa ini? Dan apa kaitannya dengan istriku?

Namun kenyataan istriku dengan tenang ikut bersama kedua lelaki petugas medis itu membuatku agak kurang khawatir. Hmm, menunggu memang menyebalkan. Apalagi menunggu yang dipenuhi ketidaktentuan.

Hal pertama yang harus kulakukan adalah menggosok gigi. Kubuka kotak obat di atas wastafel kamar mandi. Paling tidak sembari mengambil odol, aku pun menyibak bagian kotak obat, menyisir kalau-kalau ada obat khusus di antara obat lainnya sebagai penguat apa sebab istriku rela pergi bersama kedua petugas malam tadi dan hubungannya dengan Dokter Hasegawa. Namun menyisir dalam kotak obat tak ada obat-obat yang seperti dugaanku. Hanya ada obat remeh macam aspirin, botol-botol vitamin, tonik rambut aneka merek demi mempertahankan helai-helai langka rambut di atas kepalaku dalam usaha konservasi di ambang kepunahan, serta pil-pil yang ada kaitannya dengan masalah pencernaan.

Selesai menggosok gigi, aku menunggu panggilan telepon sembari membaca koran dan mencampur susu pagi dengan kopi. Tak berapa lama kemudian, dering telepon terdengar. Dari ujung saluran aku mengenali suara lelaki yang kemarin malam membawa istriku.

“Tuan Mamoru, jika Anda ingin berjumpa istri Anda, lokasinya di rumah sakit X kota S. Sore nanti Anda bisa ke sini. Saat yang tepat adalah sore hari.”

Baca juga  Klarifikasi

Meski sesaat sempat muncul keraguan dalam diriku bahwa dua lelaki yang naik ambulans benar-benar membawa istriku ke rumah sakit. Namun kembali gema nama Dokter Hasegawa terasa dalam pikiran. Dan sepertinya pikiranku terlampau ke mana-mana. Tapi tak terasanya kepanikan melanda hatiku membuatku sedih. Bahwa rasa cinta di antara kami kian tipis setelah anak kami tak berhasil dilahirkan setahun lalu.

“Benar kalian ke rumah sakit? Apa istriku sakit?”

“Bukan begitu. Hanya, tempat bertemunya, ya, rumah sakit X kota S. Kami membawa istri Anda lebih dulu lantaran perintah Dokter Hasegawa. Menujulah ke rumah sakit X segera. Di sinilah ada alasan mengapa kami membawa istrimu.”

Barulah aku tersadar secara utuh. Dokter Hasegawa orang yang menangani kandungan istriku selama aku beberapa kali memeriksakan dia setahun lalu. Kenapa aku bisa sampai lupa. Tapi tempat dokter bukan di kota S, melainkan kota kami ini. Kenapa harus ke sana? Kenapa malam-malam membawa istriku ke sana? Rasa penasaranku bisa ditunda seiring dengan kecemasan tipis yang melanda diriku berangsur sirna.

“Baik, sore nanti aku ke sana.”

“Semoga lancar dalam perjalanan,” balas lelaki di ujung saluran.

***

Sesampainya di sana, dua petugas medis yang kemarin malam ke rumahku sudah menunggu di muka rumah sakit.

“Istriku di mana?”

“Lewat sini, Tuan Mamoru.”

Kami berjalan sekian ratus meter menuju area belakang rumah sakit. Semakin dalam kami berjalan, semakin jarang orang berpapasan dengan kami. Tempat itu demikian sunyi. Kesannya legam dan senyap, seperti rumah-rumah gotik. Sayang, hari belumlah senja sehingga tidak ada gagak bergaok. Namun bukan saatnya memikirkan lanskap klise nan noir khas film-film lampau. Aku harus tahu kenapa mereka membawa istriku.

Aku memasuki semacam laborat. Begitu masuk, aku mendapati banyak tabung berisi cairan warna hijau menyala. Ada pula tabung-tabung mungil berisi tikus belanda, baik yang masih hidup maupun sudah mati. Janggal sekali ada tempat semacam ini di sebuah rumah sakit.

“Dokter Hasegawa di kantor sana, sementara istri Anda ada di ruang observasi di dalam sana. Silakan.”

Alih-alih menemui istriku lebih dulu, aku justru hendak bertemu dengan Dokter Hasegawa. Ingatan lanjutanku yang timbul atas orang ini adalah kantong matanya yang terlampau tebal seakan-akan dia belum tidur 100 tahun. Ketebalan kantong matanya sungguh miris. Impresi yang dihasilkan dari mencermati tebal kantong matanya tak ubahnya kalau kita melihat anak bayi belajar berjalan untuk kali pertama. Mencemaskan. Namun kantong mata itu tampak maskulin berkat sokongan janggut putih yang dicukur kurang rapi dan segelas kopi yang selalu dibawanya.

Benar saja, Dokter Hasegawa masih orang yang sama. Dia menggenggam segelas kopi. Dia mempersilakan aku duduk.

“Maaf atas aksi mengejutkan dari dua petugas kami malam-malam, Tuan Mamoru.”

“Kalau sudah tahu kenyataannya, itu sudah tidak mengkhawatirkan, Dokter.”

“Tapi saya harus meminta maaf lagi kepadamu. Saya rasa kekhawatiranmu belum bisa surut setelah melihat yang satu ini.”

Ucapan dokter langsung saja membuatku cemas.

“Ayo, ke ruangan di mana istrimu berada.”

Aku sekadar mengangguk.

Pintu tebal yang terbuat dari baja dikuak dua petugas itu. Di sana, di dalam tabung-tabung raksasa, ada semacam anak kecil. Bisa dibilang anak kecil, bisa pula tidak. Ada hal yang janggal pada tubuh mereka.

“Mereka anak-anak hibrid yang pemerintah Jepang kembangkan. Sayalah penanggungjawabnya.”

Istriku berada tak jauh dari tabung bernomor 5. Di sana ada seorang anak kecil yang terlihat demikian riang. Anak kecil itu berselaput, kaki dan tangannya. Di sekitar pipinya ada semacam insang tiga lapis. Ketika tersenyum, ia memamerkan gigi-gigi runcing.

“Anak-anak hibrid bertumbuh pesat. Baru berumur setahun saja giginya sudah lengkap. Giginya setajam gergaji. Sudah pernah diuji,” imbuh Dokter Hasegawa.

Semua uraian Dokter Hasegawa masih belum dapat kucerna.

“Tunggu sebentar, Dokter. Maksud Anda, anak kecil itu manusia rekaan? Apakah ia putra kami yang dulu mati ketika dilahirkan ibunya?”

“Tuan Mamoru, sekali lagi saya harus menghaturkan maaf. Anak Anda memang mati, tapi tubuhnya masih bisa digunakan untuk eksperimen. Kami tak memberi tahu Anda dan istri Anda atas kenyataan ini. Alasan kami pun sejatinya demi menjaga kelangsungan hidup manusia, terhitung dari sekarang. Tujuh tahun lagi, dunia akan porak-poranda. Ini misi rahasia. Dan bayi Anda salah satu objek percobaan.”

Baca juga  Prosopagnosia

“Sekejap, Dokter, memangnya ada apa tujuh tahun nanti? Kenapa membuat rekaan yang menyalahi kepercayaan, melangkahi Tuhan?”

Dokter Hasegawa tersenyum. “Tuan Mamoru, sudah gelagat sains untuk menandingi apa yang dikenal manusia sebagai Tuhan. Kami senantiasa berbenturan dengan yang namanya kepercayaan, keyakinan, agama, hal-hal arkais.”

Dokter berhenti sebentar. Dia menghirup kopi dari cangkir plastiknya. Setelah berdeham beberapa kali, dia kembali melanjutkan.

“Nanti dunia akan tersapu air dari pencairan dua kutub es. Interglasial. Dua pertiga manusia sudah bisa dipastikan bakal mampus. Sepertiganya masih sulit diprediksi, apa bisa bertahan atau tidak.”

“Bencana pencairan es kutub?”

“Ya. Sudah diprediksi 20 tahun lalu. Dan ini pasti terjadi. Perhitungannya sudah jelas menyatakan hal tersebut.”

“Lantas Anda pun bereksperimen menciptakan manusia yang bisa berenang?”

“Bukan saya pencetusnya, melainkan pemerintah. Saya dan kawan-kawan yang memungkinkan itu semua terjadi.”

“Apa hanya Jepang?”

“Ada enam negara, Tuan Mamoru.”

“Sekali lagi, tidakkah ini termasuk perbuatan ilegal? Menyalahi moral serta norma.”

“Bisa dibilang begitu. Tetapi perlu Anda tahu: pemerintah tidak pernah salah. Kalau salah, berarti yang menyatakannya salah lah yang salah. Saya cuma ilmuwan, yang memiliki teori tetapi tak ada okane, tak ada uang buat mewujudkannya.”

Seluruh ucapan Dokter Hasegawa agaknya tak bisa kubantah lagi. Lantas aku pun mendekati istriku.

Begitu menyadari aku berdiri di sampingnya, istriku meraih tanganku.

“Ini anak kita. Putra kita,” ujarnya.

Aku menatap anak hibrid yang berenangan di dalam tabung.

“Kupikir sudah bukan.”

Dampak ucapanku membuat istriku terguncang. Tak bisa kuperbaiki apa yang sudah kuakibatkan. Yang kulepihkan tak mungkin kujilat kembali. Air muka istriku tampak murung.

“Kalau begitu, tak usah kemari kau tadi. Pulanglah. Aku mau bersama putraku.”

Selagi mengatakan hal tersebut, aku mendapati anak hibrid di hadapanku melambai dengan tangan berselaputnya. Ia tersenyum ke arahku, memamerkan sederetan gigi tajam. Berenangan ke sana kemari, tampak bahagia. Anak hibrid itu agaknya tak tahu bahwa ia diciptakan dari percobaan. Apakah ia sadar, atau apakah ia memiliki kesadaran? Hal mengejutkan ini membuatku serba tertekan. Apakah manusia akan punah?

Tak kuasa aku lantas keluar laborat. Langkahku diikuti mata yang menelusur sampai terpaku ke punggungku. Mata anak hibrid, mata dari anak yang pernah dilahirkan istriku tapi belum menyesap kehidupan sampai akhirnya dihidupkan via perkakas ilmu pengetahuan.

“Hendak ke mana, Tuan Mamoru? Tidakkah ini menggembirakan? Harusnya pertemuan keluarga di tempat ini menjadi momen berbahagia. Keluarga yang lain akan datang nanti. Dari pihak istri dulu karena mereka ibu yang sebelumnya mengandung anak-anak ini. Kemudian kami bakal mengabari pihak ayah, sebagaimana Anda.”

Sebelum pergi keluar, aku berhenti. Kutelusurkan tatapanku pada tabung-tabung berisi anak-anak hibrid ini.

“Ini terlalu kurang bisa dipercaya. Aku mau mengisap rokok dulu. Aku akan kembali nanti setelah bisa menenangkan pikiran.”

“Oh, tapi ini rumah sakit.”

“Nah, di luar rumah sakit sudah tidak jadi rumah sakit.”

“Anda betul. Nanti saya susul,” ujar Dokter Hasegawa.

Begitulah, aku pun keluar. Aku merokok di lingkungan rumah sakit, tapi di luar bangunan laborat ini tak ada orang lain sama sekali. Jadi kupikir aman-aman saja merokok.

***

“Kloter pertama ada 15. Termasuk bayi Anda. Menyusul kloter kedua dan ketiga. Dengan harapan manusia baru akan menjalani hidup di habitat baru, dunia yang tertutupi air. Kelihatannya jahat saja mengambil jasad bayi milik orang yang mengira abunya tersimpan dalam altar puja rumahnya alih-alih berkembang jadi kehidupan lain di dalam tabung berisi cairan kimia begini. Namun semua demi sains dan masa depan kehidupan manusia,” papar Dokter Hasegawa. Kembali dia menghirup kopi dalam cangkir plastik, lantas mengisap sebatang rokok.

Beberapa saat kemudian, dari balik pintu laborat, muncul salah satu petugas yang kukenali menghampiri Dokter Hasegawa.

“Sudah waktunya makan malam, Dokter.”

“Oh, begitukah. Mari masuk, Tuan Mamoru. Jadwal makan malam anak-anak sudah tiba.”

“Memangnya mereka makan apa?”

“Ikan mentah. Baik untuk perkembangan.”

Aku terkejut dengan jawaban Dokter Hasegawa.

Baca juga  Pengakuan

“Tak perlu seterkejut itu,” terang Dokter sehabis membaca perubahan air mukaku. “Makan ikan mentah sudah mendarah-daging dalam tradisi bersantap negeri kita.”

“Tapi ini kan di dalam air.”

Jawabanku malah membikin Dokter Hasegawa tertawa lepas. Lantas dia menepuk pundakku sebegitu keras.

“Benar juga. Namun ini makanan yang sesuai bagi manusia baru.”

Di dalam tabung-tabung raksasa tempat mereka berenangan, anak-anak hibrid yang dikembangkan pemerintah Jepang tampak asyik menyantap makan malamnya. Masing-masing tiga ekor ikan. Darah yang menguar dari ikan yang tersobek runcing gigi anak-anak itu lantas difilter semacam mesin penjernih air tabung.

“Mereka tampak bahagia,” ujar Dokter Hasegawa.

Aku pun berhasil membujuk istriku untuk ikut pulang bersamaku. Tiga hari kemudian, kami berdua kembali datang ke laborat. Meski kali ini istriku tidak marah, kami tidak saling bicara. Aku ikut sekadar untuk menemaninya. Aku tidak merasa anak dalam tabung berisi air itu adalah putraku.

***

Awal bulan kemudian, ketika kami kembali mengunjungi laborat, tabung-tabung berisi anak hibrid sudah tidak ada. Semua instrumen di dalam laborat yang kemarin dulu kulihat sudah tidak ada. Tak ada apa pun. Kosong. Hampa belaka.

“Ke mana semuanya?”

Kami bertanya ke seorang petugas kebersihan.

“Dokter Hasegawa sudah dipindahtugaskan. Saya kurang tahu ke mana.”

“Dan eksperimennya? Eksperimen pemerintah,” tuntutku.

Petugas kebersihan terlihat kebingungan. “Maksudnya apa, Tuan?”

Tak tahan, aku mencekiwing kerah baju petugas kebersihan itu. Dia tampak takut.

“Jangan bercanda denganku!”

“Sungguh saya tak mengerti maksud Tuan.” Dari air mukanya tampaknya dia berkata jujur. Aku menyerah, sementara istriku kelihatan demikian terkejut.

Kami bertanya ke petugas di lobi utama rumah sakit. Namun eksperimen yang aku sebut-sebut tak pernah mereka tahu. Apa mereka sedang berbohong? Permainan macam apa ini? Kami diperlihatkan kegilaan, lantas kami pun berakhir dengan kegilaan mendapati semua ini ditutup-tutupi. Ke mana Dokter Hasegawa pergi, mereka tak mau mengatakannya. Sia-sia belaka. Istriku sempat menangis dan meminta putranya. Namun tiap petugas rumah sakit yang kami temui tak dapat mengatakan apa pun.

***

Pagi telah tiba. Dengan perasaan serba berat aku bangun, kemudian menggosok gigi. Setelah itu kuoleskan tonik pada area-area tandus kepalaku. Sehabis mengaca dan dirasa sudah oke, aku bergabung dengan istriku di ruang tamu. Istriku tak henti-hentinya menangis setelah kehilangan putra hibridnya. Dihibur sesering apa pun, kesedihannya sudah terlampau pekat, kental, tak bisa ditembus. Kesedihannya lebih mengibakan dibanding saat Dokter Hasegawa setahun lalu mengatakan bahwa putra kami lahir dalam keadaan mati.

Kusandarkan kepala istriku ke bahuku. Kuusap rambutnya yang tetap saja harum. Keharuman sama yang kurasa saat kali pertama bertemu dengannya puluhan tahun lalu.

“Ayo kita pergi melihat bunga, Sanae.”

Mata sembap istriku tampak kosong.

“Aku ingin mencari putraku. Aku ingin mencari ke mana dia.”

Aku tak tahan menyaksikan istriku menderita.

“Ayo kita pergi melihat bunga di taman surga, Sanae.”

Barangkali wajah keruhku dengan muka hampir bersih, rambut bagai bayi pertama lahir, membuat rasa duka yang merundung istriku agak berkurang saat ia menatapku. Sanae mengelus wajahku, dan hangat tangannya membuatku lega.

“Baik, ayo ke taman surga,” sahutnya.

Pada saat itulah aku kembali mencari sesuatu di kotak obat. Namun kali ini ada obat khusus. Aku beli beberapa hari lalu. Obat ini mungkin cocok untuk kami berdua setelah hidup di dunia yang ganjil begini. ***

.

.

Mlati Lor, 2021

.

.

Keterangan:

Cerita ini terinspirasi atau katakanlah mengambil sejumlah gagasan dari novel Kobo Abe yang berjudul Inter Ice Age 4

 .

 .

Bagus Dwi Hananto lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada Agustus 1992. Mengarang prosa serta menerjemah. Terjemahannya antara lain Hari-hari Penuh Warna karya Antonio Skarmeta dan Kisah-kisah yang Tak Bisa Dipercaya karya Karel Čapek.

.

Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan. Rendezvous Keluarga Masa Depan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!