Cerpen, Kiki Sulistyo, Koran Tempo

Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini

Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini - Cerpen Kiki Sulistyo

Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

0
(0)

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 06 Februari 2022)

DI depan toko jam, tiba-tiba aku teringat pada pertanyaan Lin: apakah ada kursus balet di kota ini? Sepertinya tadi aku sempat melihat ada papan nama sebuah kursus balet, tetapi aku tidak betul-betul memperhatikannya dan baru sadar ketika teringat pada pertanyaan Lin dan secara tak sengaja menengok ke toko jam.

Ingatan pada pertanyaan Lin membuatku lupa pada tujuan awal yang menyebabkanku berjalan di wilayah pertokoan ini. Kenapa satu ingatan bisa menghapus ingatan lainnya? Aku berhenti sebentar, mencoba mengingat, memanggil kembali ingatan yang sudah terhapus. Namun, karena ingatan itu sepertinya tak mendengar panggilanku, aku pun menepi.

Penjaga toko jam adalah seorang perempuan. Aku melihat bagian atas tubuhnya; dari kepala sampai dada; sedangkan bagian bawah terhalang etalase kaca yang penuh barang. Rupanya ia sedang suntuk menekuni sesuatu di atas meja. Kepalanya menegak sedikit ketika aku mendekat, tapi setelah itu ia kembali ke pekerjaannya.

Di etalase ada aneka arloji, weker, serta jam-jam dinding yang menempel dengan berbagai model. Ada satu lagi etalase kaca di samping kanan, tempat memajang barang-barang lama. Aku menyapukan pandangan ke seluruh bagian toko. Di belakang ada sebuah pintu menuju ruangan lain. Pandanganku tertahan pada sebuah jam dinding berbentuk bundar dengan dua jarum dan gambar seekor burung sebagai latar belakang. Jam itu digantung di tempat paling tinggi sehingga tampak seperti terpisah dari jam-jam lainnya.

“Itu barang lama. Buatan Jepang. Sudah tidak diproduksi lagi,” ujar si perempuan tanpa melihatku.

“Oh,” kataku. “Berapa harganya?”

Si perempuan menegakkan kepala lalu menengok ke arah jam yang dimaksud seakan-akan hendak memeriksa apakah jam itu masih di sana. “Sebetulnya saya tidak berniat menjualnya. Jam itu tak pernah dipindah posisinya sejak ibu saya membuka toko ini.”

“Oh, sebetulnya saya cuma tertarik pada gambar burung itu. Sudah lama saya tak melihat burung garuda.”

“Itu bukan burung garuda,” bantahnya.

Aku tercenung. Bukan karena bantahan itu, melainkan karena aku baru menyadari bahwa aku sama sekali tak berniat singgah di toko jam ini. Si perempuan bangkit dan menghampiriku. Tubuhnya sama tinggi dengan tubuhku, bentuk bahunya juga mirip dengan bahuku. Saat ia sudah berada di depanku, tiba-tiba aku merasa perempuan ini adalah saudaraku. Seperti ada titian genetis yang diletakkan, ketika jarak ruang memendek, di antara kami. Kami berpandangan. Ia lantas mengambil sebuah arloji dengan rantai perak dari etalase sebelah kanan.

Baca juga  Insiden Makima

“Ini barang bagus. Klasik. Hadiah dari seorang pelaut kepada seorang balerina,” ucapnya sambil menyodorkan jam. Aku memegang dan mengamati jam itu. “Berapa harganya?”

“Sebetulnya saya tidak berniat menjualnya.”

“Oh, lalu kenapa Anda menawarkan kepada saya?”

“Konon pelaut itu dikutuk menjadi batu karena tak mau mengakui ibunya yang miskin dan sakit-sakitan. Barangkali ia berpikir kalau kekasihnya, yakni si balerina, tahu bahwa ia berasal dari keluarga miskin, cintanya akan pupus.”

“Oh, begitu.”

“Iya. Balerina itu nenek saya. Ia mewariskan jam ini kepada saya.”

Aku mengangguk-angguk dan tiba-tiba teringat kepada Lin.

Dulu, sewaktu kecil, Lin pernah bercita-cita menjadi balerina, tapi karena di kota ini tak ada tempat kursus balet, cita-cita itu terpaksa dikuburkan. Sepertinya, kalaupun ada tempat kursus balet, ibunya pasti tak akan mengizinkan. “Kasihan Lin,” gumamku. Perempuan di hadapanku terkinjat, matanya ditajamkan, seakan-akan ia baru menyadari kehadiranku.

“Apa kita pernah bertemu?” tanyanya.

“Saya kira tidak. Belum pernah. Kenapa?”

“Dari mana Anda tahu nama ibu saya?”

“Ibu Anda? Saya tidak mengenalnya.”

“Baru saja Anda menyebut namanya. Anda juga tampaknya kasihan kepadanya.”

“Oh, bukan. Itu nama kawan saya.”

Perempuan itu diam. Pandangannya semakin tajam, lantas pelan-pelan seperti membelalak.

“Ya, Tuhan. Kaukah itu Malin?” serunya tiba-tiba.

Sekarang aku yang terkinjat.

“Oh, bukan. Anda salah orang.”

Tatapan perempuan ini membuatku bingung, sementara, tanpa keraguan, kedua telapak tangannya meraih pipiku.

“Malin! Ya, Tuhan! Aku tahu kau pasti kembali. Kami sudah berdoa untukmu setiap hari. Aih, aku harus segera memberi tahu Ibu!”

Aku menahan gerakannya dengan mencengkeram pergelangan tangannya. “Anda salah. Saya bukan Malin.”

Ia kembali diam. Matanya yang tadi membelalak dan tampak riang, kini berkilat-kilat oleh lapisan air. “Malin, jadi sekarang kau tidak mau mengakui saudaramu? Apakah itu artinya kau juga tidak mau mengakui ibumu?”

Baca juga  Pengakuan Lelaki Penjual Parfum

“Tidak. Bukan begitu. Biar saya jelaskan. Bisakah Anda tenang sebentar?”

Ia tampaknya menurut, lalu kulepaskan cengkeraman tanganku di pergelangan tangannya. Dengan telapak tangannya ia menghapus air mata yang telanjur membasahi pipinya. Namun, sebelum aku bicara, ia sudah lebih dulu berkata: “Berapa puluh tahun, Malin? Kau dulu bocah kecil yang nakal. Aku kira kau diculik untuk tumbal pembangunan jembatan. Dulu ada yang bilang hantumu sering kelihatan di jembatan. Duduk dan terisak-isak sendirian.”

“Maaf. Saya sungguh bukan Malin. Sebetulnya saya tidak sengaja mampir di toko ini. Tadi saya lupa mau ke mana, itu karena tiba-tiba saya teringat kawan saya yang pernah bertanya apakah di kota ini sekarang ada kursus balet. Nama kawan saya itu Lin. Saya tidak tahu kalau namanya mirip dengan nama ibu Anda. Perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa saya sebetulnya tidak berniat membeli jam, atau menemui Anda. Saya tidak kenal Anda, juga ibu Anda.”

Mendengar kata-kataku air matanya kembali merembes keluar, seakan-akan ada hujan yang turun diam-diam di dalam matanya. Bibir dan tubuhnya sampai gemetar. “Ya Tuhan, Malin! Kata-katamu sungguh kejam! Itu menunjukkan kalau kau sudah jadi anak durhaka, sama seperti si pelaut! Tidakkah kau takut dikutuk jadi batu?”

Rupanya ia sudah hilang ingatan. Aku khawatir pertengkaran kami akan mengundang perhatian orang. Aku menoleh. Toko jam ini terletak di pinggir jalan kecil, beberapa meter dari lampu lalu lintas. Kadang-kadang antrean di lampu lalu lintas bisa sampai ke depan toko, seperti saat ini. Namun, tak ada seorang pun pengendara yang tertarik menengok ke arah kami.

Di sebelah kanan toko jam, ada toko parfum yang kelihatannya sepi, sementara di sebelah kiri ada toko alat-alat pertanian dan pertukangan. Seorang bertopi anyaman sedang mengamati sebuah palu bergagang merah, sedangkan seorang lain sibuk mencoba ketajaman sebuah arit. Kedua orang itu sedang sibuk dengan barang-barang di tangan mereka sehingga mereka tak mungkin memperhatikanku. Sementara itu, beberapa orang lain yang lewat dengan tergesa-gesa di emperan toko tampaknya sama saja; orang-orang itu bahkan seperti tak tertarik kepada diri mereka sendiri.

Selama aku memperhatikan sekitar, perempuan tadi diam-diam masuk ke bagian belakang ruangan. Ketika ia keluar lagi, seorang perempuan lain sudah bersamanya. Perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong perempuan tadi. Mereka mengenakan pakaian yang persis sama; selembar terusan dengan motif kapal besar yang sedang berlayar. Hanya perempuan di kursi roda jauh lebih tua.

Baca juga  Ros dan Mantan-mantannya

“Lihat, Ibu. Itu dia!” seru perempuan yang lebih muda sambil terisak-isak.

Melihat perempuan di kursi roda, aku lebih terkinjat lagi, mulutku bahkan sampai tak bisa kutahan untuk ternganga, seakan-akan mulutku juga sama terkinjatnya denganku.

“Ibu?” tanyaku.

Perempuan di kursi roda menatap tajam. “Ya, Tuhan! Satu lagi orang sinting di kota ini. Tempo hari ada orang sinting yang percaya bahwa di toko ini ada kursus balet. Sekarang ada lagi yang datang dan menganggap aku sebagai ibunya. Hei, kau pergilah jauh-jauh, jangan kau ganggu anakku. Carilah perempuan lain, aku ini bukan ibumu!”

Aku, yang merasa tak salah melihat, berusaha masuk ke dalam toko. Aku betul-betul tidak mengerti kenapa Ibu bisa ada di sini, di toko jam ini. Karena tak ada jalan masuk, aku naik saja ke etalase. Tindakanku membuat perempuan muda itu menjerit-jerit, sedangkan Ibuku meraih berbagai macam jam di sekitarnya dan melemparkannya ke tubuhku. Untuk melindungi diri dari jam-jam yang dilemparkan itu, aku menunduk. Di kaca etalase, kulihat wajahku samar membayang. Ckckck. Sungguh tak bisa kupercaya. Itu sama sekali bukan wajahku. Itu wajah Lin. ***

.

.

Kekalik, Februari 2021-Januari 2022

Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kumpulan cerpennya yang terbaru, Bedil Penebusan (Marjin Kiri, 2021), menjadi nomine Buku Sastra Pilihan Tempo 2021. Sedangkan buku puisinya yang berjudul Tuhan Padi (Halindo & Akarpohon, 2021) terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan Tempo 2021.

.

Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini. Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini. Satu Lagi Orang Sinting di Kota Ini

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!