Puisi-puisi Chris Triwarseno (Suara Merdeka, 15 Mei 2022)
RAJAH PALSU DALAM MANJANIQ
.
Hampir sewindu,
Kau racik benci dalam bejanamu
Kau sulut dendam kesumat
Dalam sekam, kaulumat.
Doa-doamu terucap dusta
Bara api kautanam, bakar luka
Sekutu laknat, iblis.
.
Kaurajah setiap nasib-nasib
Tanpa kenal takdir.
Ketakutan,
Kutukan, dan
Kesesatan.
Kauhembuskan, membusuk.
Kau tempatkanku dalam manjaniq
Sesaat terlontar dalam kematian
Di perapian Tuhan nafsumu,
Seperti Namrud.
.
Di petang magrib,
Rajah-rajah doa palsumu, menghujam.
Tak satupun menyentuhku.
Kuseru, Tuhan-nya Ibrahim
Seru sekalian alam.
.
.
Februari 2022
.
.
.
NARASI GAGAK
.
Di ketinggian Beringin, aku bertengger
Persis seperti leluhurku, yang juga mencengkeram dahan
Sayap-sayap dan mata, rapuh.
Membuatku memilih berdiam semedi,
Memikirkan banyak hal tentangku sendiri.
.
Menyoal identikku dengan mengubur bangkai,
Sehingga leluhur kalian pun terilhami.
Soal cemani warna seluruh tubuh berbuluku,
Sehingga kegelapan tersandang bagiku.
Bahkan, simbol kematian sekalipun tersematkan,
Sehingga aku menjadi sumber ketakutan, angker!
.
Aku adalah koloni makluk berparuh, tak beda.
Kenapa semua hitam kalian bebankan kepadaku?
Dimana pedulimu, bila aku bukan itu.
Sungguh gegabah, karena kau tak paham aku
Tak seperti Sulaiman, makluk pilihan.
.
Pernah kucengkeram dahan Tetehan pagar rumah,
Tentu saja di malam pekat, dimana kalian…
.
.
.
BOCAH TANPA PECI DAN PAMAN BERJANGGUT
.
Tepat tengah malam, tanpa mendung
Ritual itu berlanjut tanpa dihitung.
Seperti angin yang berkelebat,
Secepat itu datang Paman Berjanggut.
Membuka suara, lirih tanpa pamrih
Dibukanya pupuh empat puluh Serat Wedhatama, yang lusuh.
.
Bocah bersarung, tanpa peci
Terdiam membisu, bersila kaki.
Mengambil jarak, mencuri dengar
Tembang Pocung membuatnya tergetar.
Membuka batinnya, menyeruak
Tersingkap hakekat ilmu yang mengikat.
Mata hatinya penuh cayaha berarak,
Sudah terpikat.
.
Di luar pendhopo joglo itu, aku terkesima. Mereka berdialog tanpa kata.
Dan mereka hilang begitu saja, ternyata aku setengah terjaga.
.
.
Januari 2022
.
.
.
LIDAH YANG KAUSAYAT
.
Duduk angkuh wanita setua paruhbaya
Berkebaya, berjarik motif parang gedhe.
Dihadapan simpuh-simpuhnya abdi tua
Kemben kumal dan kusam tanpa uba rampe.
Nyai Pegatnyawa,
Serapah ponggah tanpa jeda
Menghujam seperti bledhek tak berima
Kepada mereka, jongos abdi renta.
Sabdanya, nyawa mereka taruhannya
Tak tergantikan laku dhodhok dan ratusan sungkemnya.
Kuasa tak terbantah,
Seperti Kebo-kebo Nyai di sawah.
Malam Jumat Wage, di remang Lampu Senthir
Komat-kamit, lidah puluhan abdi yang tersayat; nembang Ilir-Ilir
Kepulan asap dupa dan wangi kembang Kanthil mengalir
Membuat Nyai Pegatnyawa akhirnya kenthir.
.
.
Januari 2022
.
.
.
MENIKAM RINDU
.
Selepas subuh, senja bertabuh
Jalanan sepi sudah terengkuh
Bergegas merapat, dan loket pun penuh
Sepagi buta di Lempuyangan, semua sudah dalam peluh.
Perempuan menyadap mata,
Terhenti, hilang semua tanpa makna
Wajah yang begitu rupa
Setiap takjub membawa lupa
Menakar hati, tertakar sama serupanya
Kursi di gerbong yang sama,
Rasa terkoyak mati, tepat disebelahnya
Mematung bisu, terpahat luka
Seperti tanpa nyawa
Tatapannya bercengkrama,
Menuju jantung,
Satu stasiun berlaju, perempuan berlalu
Meniupkan sandi di kaca jendela kereta,
Bertulis ìMenikam rindu, perempuan masa lalumuî.
.
.
Februari 2022
.
.
—Chris Triwarseno ST (Pujangga Sepi), alumnus Teknik Geodesi UGM. Lahir di Karanganyar 14 Februari 1981 dan tinggal di Ungaran Semarang. Penulis buku puisi Bait-bait Pujangga Sepi “Ketika Kukatupkan Kedua Bibir Ini Sudah”.
.
RAJAH PALSU DALAM MANJANIQ
Leave a Reply