Cerpen Artie Ahmad (Kompas, 22 Mei 2022)
KABAR kematiannya tersiar dari pelantang suara masjid. Jelas betul bagaimana marbot masjid menyebut namanya, umurnya, waktu kematian, dan pukul berapa upacara kematiannya akan dilangsungkan. Sekali lagi marbot masjid mengulang… “Nyonya Lindri, usia 80 tahun, meninggal pukul 03 pagi, dan akan dimakamkan di pemakaman umum Lemah Tentrem pukul 14 siang nanti!”
Ini bukan kali pertama kabar kematian Nyonya Lindri tersebar ke seluruh penjuru desa lewat pelantang suara. Pengumuman hari ini, berarti sudah menggenapkan kali keempat kabar kematiannya. Masih jelas di ingatan bagaimana gemparnya warga desa ketika mendengar kematian Nyonya Lindri untuk pertama kali. Dia yang dikenal sebagai titisan Drupadi, nyatanya bisa mati. Setidaknya itu yang sempat kudengar saat pergi mencari gedebok pisang dengan beberapa warga untuk bantalan mandi jenazah.
“Tapi Drupadi juga meninggal. Malahan dia urutan pertama yang gugur ketika melakukan perjalanan menuju Gunung Himalaya dengan Pandawa!”
“Ini Nyonya Lindri, kita tak perlu membahas kematian Drupadi. Nyonya Lindri lebih nyata, lebih menarik dibicarakan. Kudengar dia dikutuk agar umurnya panjang!”
Aku hanya memasang telinga baik-baik. Adakah di dunia ini seseorang dikutuk berumur panjang? Umur panjang itu kutukan atau doa baik?
“Kalau dikutuk umur panjang, mengapa sekarang dia mati?”
“Mungkin kutukannya tidak mempan!”
Itu adalah percakapan pada kematian pertama Nyonya Lindri. Aku sendiri melihat langsung bagaimana jasad perempuan tua itu terbujur kaku di meja jenazah. Matanya terpejam rapat, bibirnya mengatup, kulitnya putih pucat tak ada aliran darah lagi. Setelah dimandikan anggota keluarga, dikafani kemudian jenazah disemayamkan di ruang tamu. Seluruh kaca di rumah duka ditutup koran. Entah, konon roh si mati bisa terperangkap di dalam kaca, urung pergi ke akhirat apabila kaca dan cermin tak ditutup.
Para pentakziah berdatangan, alunan doa mengalun dari puluhan bibir. Aku duduk di dekat pintu, mengamati jenazah yang sudah siap diangkat dipindahkan ke dalam keranda. Tapi tiba-tiba kejadian menggemparkan terjadi. Nyonya Lindri yang sedari tadi terbujur kaku, tiba-tiba saja duduk. Matanya menatap sekeliling dengan tatapan heran. Melihatnya bangun lagi, semua pentakziah lari tunggang langgang. Hanya beberapa orang yang masih bisa bertahan untuk tidak melompat pergi, termasuk aku.
“Ada apa ini? Kenapa orang tidur diurus seperti mayat begini?” Sergah Nyonya Lindri sembari menatap kafan yang membalut tubuhnya dengan keheranan.
Nyonya Lindri batal mati. Berita itu kemudian menyebar seperti wabah. Kutukan umur panjang juga kembali menyeruak ke permukaan. Kutukan yang diturunkan turun temurun, balasan dari hukuman lantaran di pundaknya bercokol iblis, setan, dan segala macam bala benar adanya.
“Katanya di pundaknya menggendong setan!” Rasimin salah satu pencari gedebok pisang tempo hari kembali buka suara.
“Masa?” Lamin, seorang pegawai kelurahan mengerut ngeri.
“Iya! Bayangkan saja, mana ada perempuan sampai bersuami lima orang dan semuanya meninggal beberapa waktu setelah menikah dengannya?!”
***
Sebagian orang menyebut Nyonya Lindri sebagai jelmaan Drupadi lantaran ia bersuami sampai lima lelaki. Sebenarnya tak benar-benar serupa Drupadi yang menikahi lima lelaki sekaligus, melainkan lima kali berganti suami. Setiap kali menikah, tak lama berselang suaminya akan meregang nyawa. Banyak hal yang membuat kelimanya tewas. Bermacam sebab dan berbagai alasan para lelaki malang itu harus berkalang tanah. Lebih mengherankan lagi, ada saja lelaki yang berani mengambil resiko menjadi suaminya.
Nyonya Lindri tak sekadar dikenal sebagai jelmaan Drupadi, tapi banyak orang menyebutnya sebagai perempuan pemangsa. Seorang pintar dalam klenik menyebutnya sebagai perempuan bahu laweyan. Di pundaknya konon bercokol setan, entah setan apa. Kudengar pula, kematian para suami itu terhisap oleh energi negatif Nyonya Lindri. Darah para lelaki itu diisap, dimangsa setan yang bersarang dalam tubuhnya. Namun ada cerita yang lain, katanya semua malapetaka yang menjerat para lelaki malang itu untuk kecantikan semata. Lihat saja rupa Nyonya Lindri, usianya telah melampaui senja namun kecantikannya masih demikian menawan. Wajah itu terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.
Ada waktu aku tak percaya dengan takhayul semacam itu, tapi ada waktu keyakinanku terguncang ketika nyekar ke kuburan dan melihat deretan makam para suami Nyonya Lindri. Lima kuburan itu dimakamkan berjejer dengan nisan berwarna putih pucat dengan bentuk serupa. Dulu seringkali kulihat Nyonya Lindri datang ke kubur, dia akan berlama-lama berdoa di makam para suaminya secara bergantian.
Lalu dari mana asalnya kutukan ia berumur panjang? Hal itu juga kudengar dari mulut orang-orang. Katanya beberapa keluarga mendiang suaminya marah dengan kematian para suami Nyonya Lindri. Nyonya Lindri dikutuk untuk berumur panjang agar merasakan kesepian dan rasa kehilangan jauh lebih lama. Sebuah hukuman setimpal daripada mati cepat dan tenteram di bawah tanah.
Hal ini pun aku tak mengerti benar. Benarkah ada kutukan semacam itu? Atau apakah itu benar kutukan atau doa dalam wujud kutukan mengingat begitu banyaknya manusia ingin diberi umur panjang, tak peduli hidup mereka kesepian atau dalam penyesalan sekalipun.
***
Setelah kematian yang pertama dan hidup kembali secara tiba-tiba, selang setengah tahun kemudian di tengah pagi buta kabar kematian Nyonya Lindri kembali terdengar. Lepas subuh kabar kematiannya disiarkan melalui pelantang suara. Berita dari marbot masjid menyiarkan jika Nyonya Lindri dinyatakan meninggal pukul satu malam.
Menuju siang rumah Nyonya Lindri sesak dengan pelayat. Kali ini tampaknya dia benar-benar meninggal. Sampai upacara pemakaman tak ada tanda-tanda jenazah itu terbangun lagi. Tubuh Nyonya Lindri sedingin batu kali. Matanya tertutup rapat, hidungnya disumbat kapas. Setelah upacara selesai, keranda digotong menuju pemakaman. Aku berada di iring-iringan dekat keranda, jadi jelas betul ketika terdengar suara batuk dan dehem dari dalam keranda. Semuanya kembali kalang kabut, segera keranda diturunkan dari pikulan. Lurupan kain keranda disingkap, terlihat jasad Nyonya Lindri bergerak-gerak. Beberapa orang memekik ngeri, sebagian lagi memberanikan diri.
Buru-buru ikatan di tubuh Nyonya Lindri dilepas. Perempuan tua itu duduk dengan wajah masam, seakan orang-orang sudah mengacau tidurnya. Dibuangnya kapas yang menyumbat hidungnya dengan kesal.
“Kapas itu membuat lubang hidungku risih!”
Lagi-lagi perempuan itu bangkit dari kematian. Seolah dirinya tadi hanya tidur terlalu nyenyak dan terbangun lantaran terusik oleh banyak orang. Matanya tak seheran kematian pertama, tapi setidaknya sorot kesal tampak betul di sana.
***
Kutukan bagi Nyonya Lindri tampaknya bukan sekadar umur panjang, melainkan juga mati berulang kali. Selepas kematian kedua, orang-orang semakin percaya dengan nasib jelek di pundaknya. Bukan perkara gampang berbicara tentang melepas kutukan. Setahuku, beberapa kerabat Nyonya Lindri sudah berusaha melepas bala di hidupnya, setidaknya jika dirinya mati maka benar-benar mati bukan sekadar mati suri. Tapi tak ada tanda-tanda kutukan itu luruh. Nyonya Lindri hidup seperti sebelum dia mati dan dibawa keranda ke pemakaman. Seolah kejadian kematian itu bukan hal besar baginya. Dia benar-benar merasa sedang tertidur nyenyak namun dipaksa bangun oleh para pelayat.
Kematian ketiga tiba setelah Nyonya Lindri dirawat di rumah sakit lantaran sakit selama satu pekan. Kematiannya dikabarkan dokter dan diteruskan ke masyarakat oleh marbot masjid. Kabar kematian Nyonya Lindri mengudara untuk kali ketiga. Orang-orang tak bergegas seperti biasa jika menerima kabar kematian, mereka bahkan menyempatkan ngopi terlebih dahulu, berleha-leha sejenak sebelum jenazah Nyonya Lindri tiba. Entah, orang-orang yakin jika kematian kali ini pun Nyonya Lindri hanya numpang lewat. Dia hanya tertidur nyenyak sampai lupa bernapas.
Suara sirine mobil jenazah meraung-raung dari kejauhan, barulah orang-orang berdatangan ke rumah duka. Ada debar resah, khawatir jika Nyonya Lindri bangun lagi seperti kematian sebelumnya. Dugaan itu tak meleset, begitu pintu mobil jenazah dibuka, mata Nyonya Lindri pun turut terbuka. Kali ini dia terbangun seperti ketika bangun tidur. Matanya masih terlihat mengantuk, lantas kemudian seperti orang linglung dia melihat ke sekeliling.
“Aku sedang tidur di kasur kamar rawat. Kenapa bisa sampai di mobil ini?” celetuknya sembari mengejap-ejapkan mata.
Melihat keadaan Nyonya Lindri, sopir ambulance segera membawa mobil itu pergi. Sopir harus segera menyampaikan pasien yang baru saja dibawa pulang ternyata masih hidup. Kartu kematian harus direvisi, lantaran si empu hidup kembali.
Kali ini kematian keempat. Orang-orang desa tak lagi terburu-buru melayat. Mereka seakan menunggu apakah yang akan terjadi. Di sepanjang jalan menuju rumah Nyonya Lindri, kami bermain tebak-tebakan… kira-kira pukul berapa Nyonya Lindri bangun dari tidur nyenyaknya.
“Pukul dua siang saat di dekat liang kubur!” Sergah Umbara ditingkahi tawa dari yang lain.
“Oh! Kalau aku menebak nanti pukul sebelas siang Nyonya Lindri akan bangun!”
“Ah, kalau aku menebak setelah zuhur!”
Tawa kembali berderai. Barulah tawa itu berhenti dengan sendiriannya ketika sampai di depan rumah Nyonya Lindri. Orang-orang masih berkumpul, namun ada yang aneh. Nyonya Lindri duduk di kursi, seolah dia tak pernah mati.
“Aku tadi sedang asyik bermimpi, tapi kalian beramai-ramai ke sini lagi!” gerutunya dengan cangkir teh di tangan kanannya.
Semua orang tampak heran, katanya tadi Nyonya Lindri sudah benar-benar mati. Dia tak bernapas, aliran darahnya pun berhenti. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi sebelum prosesi mengurus jenazah selesai, dia terbangun dan minta mandi. Semua orang pulang sembari menggaruk kepala, ini kali keempat Nyonya Lindri hidup kembali setelah mati.
Setelahnya tugas kami hanya menunggu suara marbot masjid mengabarkan kematian Nyonya Lindri untuk yang kelima kali. ***
.
.
Salatiga, 2022.
Artie Ahmad lahir di Salatiga, 21 November 1994. Saat ini dia tinggal di Salatiga. Selain menulis cerita pendek, dia juga menulis novel. Beberapa cerita pendeknya dimuat media massa.
Rahardi Handining lahir di Semarang, 27 Februari. Tinggal di Jakarta. 2004-2018 bekerja sebagai desain grafis dan illustrator di harian Kompas. Aktif mengikuti kegiatan seni sampai sekarang. Mendapatkan beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri, seperti 3 The Special Prize, Mellow Art Award 2020 Japan, serta Biennale, The 4 th Shanghai International Contemporary Art Exchange Exhibition and Workshop, China. 2019.
.
Bukan Seorang Drupadi. Bukan Seorang Drupadi. Bukan Seorang Drupadi. Bukan Seorang Drupadi. Bukan Seorang Drupadi.
jennarkan
ceritanya sangat menarik….meski mungkin ada demikian atau sekadar hayal