Cerpen Ernest Hemingway (Suara Merdeka, 03 Januari 2010)
KEMUDIAN cuaca memburuk. Itu bakal berlangsung pada suatu hari ketika musim gugur berlalu. Mau tak mau kita harus menutup jendela-jendela pada malam hari untuk menghalau hujan dan dingin angin yang akan merontokkan dedaunan dari pohon-pohon di Contrescarpe. Daun-daun berserakan basah di tengah hujan dan angin membawa hujan ke arah bus hijau besar di terminal dan Kafe des Amateurs sudah penuh sesak dan jendela-jendela atasnya berkabut karena udara panas dan asap di dalam. Sungguh menyedihkan, keadaan kafe itu berlangsung demikian buruk ketika para pemabuk berdesak-desakan bersama dan aku harus menjauhi karena tak tahan pada bau badan-badan kotor dan aroma asam orang-orang yang teler. Para lelaki dan perempuan yang kerap mengunjungi Amateurs duduk bertahan minum sepanjang waktu, atau selama mereka masih sanggup, kebanyakan dengan anggur yang mereka beli per setengah liter atau seliter. Banyak alkohol-alkohol pembuka diiklankan dengan nama-nama aneh, namun hanya sedikit orang yang kuat menenggaknya kecuali dicampurkan terlebih dulu dengan anggur-anggur mereka. Para perempuan pemabuk di sini disebut poivrottes yang artinya semacam permainan kartu wanita.
Kafe des Amateurs adalah lubang jamban dari ruas jalan Mouffetard, jalan pasar sempit yang penuh sesak dan menakjubkan, dari mana dengan mudah kita dapat mencapai Contrescarpe. Kakus-kakus jongkok di rumah-rumah apartemen tua, berada di sebelah tangga di setiap lantai dengan dua pijakan semen berbentuk sepatu ditinggikan pada setiap tingkatan sehingga dengan demikian tak akan tergelincir, masuk ke jamban-jamban yang dikosongkan dengan pompa ke dalam kereta-kereta tangki yang ditarik kuda pada malam hari. Pada musim panas, dengan terbukanya semua jendela, kita akan mendengar bunyi pompa dan bau yang amat menyengat. Kereta-kereta tangki dicat warna cokelat dan kuning-jingga dan di bawah terang purnama bilamana mereka bekerja di jalan Cardinal Lemoine, silinder-silinder yang ditarik kuda tampak bagaikan lukisan Braque. Walaupun begitu, tak seorang pun meninggalkan Kafe des Amateur lebih dulu, dan poster menguning berisi ketentuan dan sanksi hukum terhadap khalayak yang mabuk layaknya dengungan lalat dan tak digubris karena para pelanggan tetaplah demikian dan dalam keadaan bau.
Segala kesedihan kota ini bertandang dengan tiba-tiba bersama hujan pertama musim dingin yang menggigilkan tulang, dan tak terlihat puncak gedung-gedung putih yang tinggi ketika kau berjalan lewat selain kegelapan jalanan basah dan pintu toko-toko kecil yang tertutup rapat, para penjual obat, toko alat tulis dan kios koran, dukun bayi —untuk orang-orang kelas dua— dan hotel tempat meninggalnya Verlaine di mana aku memiliki sebuah kamar di lantai atas tempat aku bekerja.
Perlu menaiki enam atau delapan tingkat untuk mencapai lantai atas dan itu sungguh sangat dingin dan aku tahu betapa mahalnya seikat ranting kecil, tiga pembungkus kawat pendek, potongan penjepit belahan sepanjang separuh pensil untuk mengepit ranting, dan lalu kayu keras separo kering yang harus aku beli untuk membuat api agar dapat menghangatkan ruangan. Karena itu, di bawah deras hujan aku pergi ke seberang jalan agar dapat melihat bagian atap dan memeriksa apakah cerobong-cerobong berfungsi dengan baik dan apakah asapnya berembus keluar. Ketiadaan asap membuatku berpikir bagaimana kalau cerobong-cerobong itu membeku dan tak bisa digunakan dan kamar mungkin bakal digumuli asap, dan bahan bakar terbuang sia-sia, dan uang juga melayang karenanya, dan aku berjalan di bawah guyuran hujan. Aku turun lewat Lycee Henri Quatre dan gereja kuno St Etiennedu-Mont dan peristirahatan du Pantheon dan menerobos pagar sebelah kanan lalu akhirnya keluar di sisi teduh Jalan Raya St Michel dan berjalan turun melalui biara tua Cluny dan Jalan Raya St Germain hingga tibalah aku di kafe bagus yang aku tahu di St Michel.
Ini adalah sebuah kafe yang menyenangkan, hangat dan bersih dan ramah, dan aku menggantungkan jas hujan tuaku di rak mantel untuk mengeringkannya dan menaruh baju hangat dan topi buluku pada rak di atas bangku dan memesan segelas cafe au lait. Pelayan mengantarkan dan aku mengeluarkan sebuah buku catatan dari saku mantel dan sebatang pensil dan mulai menulis. Aku menulis tentang apa yang terjadi di Michigan dan lantaran pada hari ini angin bertiup kencang dan begitu dingin, demikianlah pula hari dalam ceritaku. Aku sudah mengalami akhir musim gugur pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa, dan di suatu tempat kau dapat menulis mengenainya lebih baik daripada di tempat lain. Itulah yang disebut mencangkokkan dirimu, pikirku, dan ini bisa jadi sama dengan orang lain dengan ragam pengalaman masing-masing. Namun dalam cerita, anak-anak lelaki itu digambarkan sedang minum dan ini membuatku haus dan aku meminta segelas St James. Rasanya sungguh nikmat di hari yang dingin ini dan aku terus melanjutkan menulis, merasa sangat nyaman dan merasa Martinique yang bagus menghangatkan seluruh tubuhku dan jiwaku.
Seorang gadis masuk ke dalam kafe dan duduk sendirian pada sebuah meja dekat jendela. Ia begitu cantik dengan seraut wajah yang segar bagaikan kepingan koin baru dicetak, dan rambutnya hitam seperti bulu gagak yang dipotong tajam secara diagonal melewati pipinya.
Aku melihatnya dan ia mengusikku dan membuatku sangat bergairah. Aku ingin bisa memasukkannya ke dalam cerita ini, atau di mana saja, tetapi ia telah menempatkan dirinya sedemikian rupa supaya ia dapat memperhatikan jalan dan pintu masuk dan aku tahu ia sedang menunggu seseorang. Maka aku terus menulis.
Cerita ini menulis dirinya sendiri dan aku kesulitan menahannya. Aku meminta St James lagi dan aku mengamati si gadis dengan sesekali mengangkat pandang, atau ketika meruncingkan pensil menggunakan sebuah peraut pensil dengan serpihan rautan mengeriting di piring alas gelas minumanku.
Aku telah melihatmu, wahai Cantik, dan kau milikku sekarang, siapa pun yang sedang kautunggu dan sekiranya aku tak pernah melihatmu lagi, pikirku. Kau milikku dan seluruh Paris milikku dan aku milik buku catatan dan pensil ini.
Kemudian aku kembali menulis dan aku jauh masuk ke dalam cerita dan lenyap di dalamnya. Aku menulisnya kini dan ia tidak menulis dirinya sendiri dan aku tidak melihat maupun mengetahui apa pun mengenai waktu maupun memikirkan di mana aku berada maupun memesan St James lagi. Aku menjadi lelah karena St James tanpa merasa berpikir demikian. Kemudian cerita selesai dan aku merasa lelah sekali. Aku membaca alinea yang terakhir dan kemudian mengangkat pandang dan mencari gadis itu dan ia telah pergi. Aku berharap ia bersama seorang lelaki yang baik, batinku. Namun aku merasa sedih.
Aku menutup cerita di buku catatan dan memasukkannya ke saku dalamku dan meminta selusin kerang kepada pelayan dan setengah gelas anggur putih yang mereka miliki. Selepas menulis sebuah cerita aku selalu merasa kosong dan terombang-ambing antara perasaan sedih dan bahagia, seolah-olah aku baru usai bercinta, dan aku yakin ini sebuah cerita yang sangat bagus meskipun aku tak betul-betul tahu sebagus apa sampai aku membacanya lagi pada waktu mendatang.
Tatkala makan kerang dengan rasa laut yang kental dan dagingnya yang keras-liat yang kemudian dibasuh dengan anggur putih dingin, sehingga hanya menyisakan rasa laut dan serat daging yang lezat, dan ketika aku menghirup cairannya yang dingin dari masing-masing kulit cangkang dan menenggaknya bersama rasa anggur yang segar, barulah perasaan kosongku hilang dan mulai merasa senang dan membuat rencana-rencana.
Kini cuaca buruk bertandang, kami akan meninggalkan Paris untuk sementara ke suatu tempat yang memungkinkan hujan ini bakal menjelma salju yang berluruhan di atas cemara dan menutupi jalan dan lereng-lereng bukit yang tinggi dan pada sebuah ketinggian di mana kami akan mendengar bunyinya berkeretak sewaktu kami berjalan pulang malam hari. Di bawah Les Avants ada sebuah villa kecil di mana penginapan itu begitu menakjubkan dan kami akan tidur bersama dengan jendela terbuka dan bintang-bintang bersinar terang. Ke sanalah kami akan pergi. Bepergian dengan kereta api kelas tiga tidaklah mahal. Penginapan biayanya juga jauh lebih murah dari yang kami keluarkan di Paris.
Aku akan menyerahkan kamar hotel tempat aku menulis dan itu adalah satu-satunya yang bisa disewa di Jalan Cardinal Lemoine 74. Aku menulis laporan jurnalistik untuk Harian Toronto dan digaji untuk itu. Aku bisa menulis di mana pun dalam kondisi apa pun dan kami memiliki uang untuk melakukan perjalanan.
Barangkali jauh dari Paris aku bisa menulis tentang Paris, sebagaimana di Paris aku bisa menulis tentang Michigan. Aku tak terlalu lekas bisa memastikannya karena aku belum mengenal Paris dengan cukup baik. Tapi hal itu akan terpecahkan secepatnya. Bagaimana pun kami akan pergi jika istriku mau, dan aku pun menghabiskan kerang dan anggur dan membayar semuanya di kafe dan mengambil jalan terpendek yang menghubungkan Montaigne Ste Genevieve dengan menerobos hujan—yang mana sekarang hanya cuaca lokal dan bukanlah sesuatu yang mengubah kehidupanmu— menuju rumah susun di atas bukit.
“Aku pikir ini menakjubkan, Tatie,” tukas istriku.
Raut wajahnya lemah-lembut dan matanya dan senyumnya tampak berbinar ketika mendengar keputusanku, seolah-olah ini merupakan hadiah yang mewah, “Kapan sebaiknya kita berangkat?”
“Kapan pun kau mau.”
“Oh, aku ingin segera. Tidakkah kau tahu?”
“Mungkin cuaca akan bagus dan terang saat kita kembali. Akan sangat bagus ketika sudah cerah dan sejuk.”
“Aku yakin begitu,’’ katanya, “Bukannya kau baik memikirkan perjalanan, terlalu.” ***
.
.
Ernest Hemingway, lahir di Oak Park, Illionis, 21 Juli 1899. Karyanya The Old Man and the Sea memperoleh Hadiah Pulitzer Prize (1953) dan Nobel Sastra (1954). Cerita ini diterjemahkan oleh Sunlie Thomas Alexander dari “A Good Cafe on the Place St Michel” dalam “Ernest Hemingway: A Moveable Feast” (Charles Scribner’s Sons, New York, 1964); sebuah memoar yang ditulis Hemingway tatkala berdiam di Paris pada 1921 sebagai jurnalis untuk Toronto Star.
.
Kafe Bagus di St Michel. Kafe Bagus di St Michel. Kafe Bagus di St Michel. Kafe Bagus di St Michel.
Leave a Reply