Puisi-puisi Heru Joni Putra (Koran Tempo, 22 Mei 2022)
DARI PUTIH AZAZIL KEPADA PUTIH BASYAR (1)
.
Bila inginmu aku berbicara tentang waktu, cukup berikan padaku dua kata, yang jarang sekali kaupasangkan, dan dari kata-kata itu bakal kutiriskan sebuah sumbat rasa yang menutup rapat cahaya dini hari. Dan bila inginmu aku bicara tentang kehidupan, pilihkan untukku dua kata, terserah apa saja, yang tak terlalu sering kaugabungkan, dan dari kata-kata itu akan kulonggarkan seutas tali diri yang mengikat erat kaki anak manusia.
.
“Jantung dan lendir,” katamu.
.
Oh, tidak! Tendanglah pantatku sekuat-kuatnya dan injak-injaklah kepalaku, saudara. Betapa tidak tahu diri aku ini, yang berani-beraninya berhajat, memberikan nubuat padamu. Tak lain tak bukan, karena sepasang umpama yang kausebutkan itu, sungguh tak ada lagi keraguan bahwa engkaulah itu yang disebut-sebut sebagai setumpuk tulang-belulang yang telah menggerak-gerikkan pengetahuan.
.
Kautambahkan: “hati dan nanah”!
.
Oh, sungguh, tak ada lagi yang perlu kutunjukkan padamu, saudara. Betapa tak sangsi aku sedikit pun bahwa engkaulah itu yang dicakap-cakapkan sebagai seonggok daging serba-bisa yang ditunggu-tunggu di zaman tepuk tangan ini. Kuyakin, pada suatu saat nanti, bila tiba masa keramnya, para pengutak-atik kepandiran pastilah minta segera dilenturkan olehmu dan para pencangkul kedunguan pun, bila mulai kambuh kejang-kejang lamanya, bakal memilih meronta-ronta di hadapanmu.
.
Dan kauberikan sepasang umpama lagi…
.
“Cukup. Cukup,” kumohon. Darmaku hanya membuatmu tak mempedulikan lagi bahwa sejumput kapas adalah umpama yang paling diharap-harapkan oleh sang waktu yang belum terpakai dan sang kehidupan yang belum terjadi pun sangat mendamba-dambakan setetes embun sebagai umpama dirinya. Tak kumau, sungguh tak rela, jika embun (apa pun warna kilaunya) sampai menetes di atas kapas (apa pun jalinan seratnya). Sebab tak ingin aku, betapa tak sudi, kalau-kalau suatu hari nanti di dalam dirimu muncul semacam getar asing, yang membuatmu ingin benar membersihkan darah kering, yang mengerak dari zaman ke zaman, di setiap lipatan kenyataan.
.
.
.
DARI PUTIH AZAZIL KEPADA PUTIH BASYAR (2)
.
Hanya dari raut muka mereka, aku sudah tahu bahwa kaum beriman itu tanpa pamrih mendoakanmu. Tapi begitu mudah bagiku membuatmu terlalu membencinya. Sekalipun kau tahu, melalui semacam getaran dalam dirimu, mereka selalu menengadahkan tangan ke langit dengan lapang dada.
.
Mereka terlanjur teguh berdoa agar suatu hari nanti kau bisa merasakan betapa sangat nikmatnya keluar dari zaman kegelapan dan kini berada di zaman terang-benderang. Namun setiap kali kau melewati kaum beriman itu, aku tidak pernah gagal membuatmu menjadi golongan harfiah belaka, yaitu orang-orang yang akan meneriakkan keras-keras ke telinga mereka bahwa sudah ada cahaya bulan yang bisa menerangi jalanmu.
.
Sesungguhnya kau hanya diterangi oleh nama penuhku yang lebih berkilau dari cahaya bulan itu. Mana mungkin aku membiarkanmu bakal takjub pada segala yang menyaru sebagai tanda-tanda di langit. Sehebat-hebatnya anak manusia sepertimu, rahasia penciptaan alam semesta tak akan aku tunjukkan jalannya. Begitu gampang bagiku untuk membuatmu sebatas terpukau sampai astrofisika belaka.
.
Namun entah apa yang dilakukan kaum beriman itu sehingga kau kini mau menyediakan sebagian besar waktu untuk mereka dan agaknya bakal sekilas, dan semakin selintas saja, bersamaku. Bahkan diksimu kini memang tak lagi seindah pujian para penyanjungku. Di hadapan kaum beriman itu kau sangat fasih mengutuk kerajaanku.
.
Senyummu, saudara, sumringah bersama kaum beriman itu. Kau pun bertekad bahwa putihmu akan menjernihkan semua manusia dari segala putihku.
.
Tapi kau nyatanya belum menjadi bagian mereka. Aku tentu riang karena tak kunjung terasa bagimu masih ada rumpun aur dalam dirimu, walau sejumput, yang berurat-berakar di tebing tinggi dalam diriku.
.
.
.
DARI PUTIH AZAZIL KEPADA PUTIH BASYAR (3)
.
Bila kau kautanya kepada para penyembah kuburan itu, perihal siapa penganjur mereka, tak ada yang lain selain aku. Sungguh tak sedikit pun padaku suatu keraguan atau segala yang berdarah-daging dengan kerancuan. Tak akan ada kekilauan kaum penyembah kuburan selain karena mereka telah sebuhul denganku.
.
Para salik itu bukanlah kaum penyembah kuburan, begitu pun biang mereka yang ada dalam kaum peziarah lain. Sungguh mereka adalah kaum yang telah yakin bahwa doa kepada Tuhan dapat melewati ruh insan pilihan. Maka, tolong kau panggil mereka dengan lain sebutan, hanya makhluk sepertiku yang pantas diberi itu perumpamaan. Sepanjang dunia tak bakal ada yang sanggup berlaku sebagai saingan terbaikku, ketahuilah bagi kalian risalah tentang diriku.
.
Kuberikan mereka iman bahwa hidup hanya soal perjalanan yang mampir di antara harta, tahta, dan kelamin manusia. Kusiasati semuanya agar mereka tak perlu menangis dalam doa, sebab telah kupastikan surga ataupun neraka tak perlu ada. Supaya jalan hidup mereka sesaat pun tidak berganti, kecewa segores apa pun akan kutebalkan setiap hari. Agar semangat hidup mereka sedikit pun takkan reda, dendam sepercik apa pun kubiarkan membara.
.
Kubiarkan mereka memberikan penghormatan tinggi kepada kaum beriman, namun kuajarkan mereka cara menertawakannya. Kutuntun mereka untuk menunjukkan niat baik kepada yang membutuhkan, akan tetapi kubatasi mereka melakukannya hanya sebatas penglihatan.
.
Jantungku adalah kuburan paling murni. Di dalamnya nama besarku berdegup keras sekali. Bila kau lihat kemilau cahaya dari dalamnya, saat itu aku sedang menaburkan kepingan emas di pangkal nisannya. Lidahku adalah kuburan paling asali. Di atasnya kisah diriku menjulang tinggi sekali. Bila kau lihat pancaran terang di sekelilingnya, saat itu aku sedang menyerakkan butiran permata di setiap sudutnya. Begitulah, tidak perlu diragukan lagi kebenaran yang lebih asli, aku ciptakan pemakaman kudus di dalam diriku sendiri agar mereka tahu siapa yang layak diikuti.
.
Jangan cari aku di kilap cahaya dini hari; bakal kaudapati hanya pantulan hati yang sedang dicuci di langit tertinggi. Jangan cari aku dalam setetes embun pagi; bakal kautemui hanya perahu para hamba yang riang berlayar ke tanah suci.
.
Tak perlu kau melala di samudra untuk menemukanku, apalagi berdiri di puncak gunung seraya berseru namaku. Aku hanya bersemayam dalam pukau dunia, tak lelah-lelah mengulurkan seutas tali ke dalam dirimu saudara, agar kau sesegera mungkin menjadi bagian dari mereka. ***
.
.
Heru Joni Putra adalah seorang penulis, kurator seni, dan peneliti. Karya pertamanya berjudul Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa (2017) beroleh penghargaan sebagai Buku Sastra Terbaik 2017 versi majalah Tempo. Pada 2021, ia menerbitkan buku Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka. Sekarang ia tinggal di Yogyakarta.
.
Leave a Reply