Cerpen Darmawati Majid (Media Indonesia, 22 Mei 2022)
“AYAH kena, Kak.”
Aku menarik napas. Wabah ini telah bertahun-tahun kita akrabi. Setiap kita mulai menata hidup kembali, selalu saja ada varian baru muncul.
“Benar kan? Wabah ini sudah jadi lahan bisnis baru.”
Kau menatapku dengan pandangan ini-bukan-waktunya-untuk-berteori.
“Kau mau pulang?”
Sangsi, kau mengangguk. Aku tahu kita menghadapi kebingungan yang sama jika itu menyangkut pulang ke kampung halaman. PPKM dan perkara hasil tes positif atau negatif hanya segelintir urusan yang perlu kita pikirkan. Ada persoalan besar menanti yang harus kita cemaskan.
***
Delapan tahun lalu, kita harus mengambil keputusan itu. Badik kakakmu yang akan bicara jika aku tetap tinggal. Aku ingin menjelaskan semua ke ayahmu, tetapi kau meminta melakukan hal sebaliknya.
“Bawa saya pergi, Kak. Tidak ada gunanya.”
“Tapi…”
Kau menggeleng. Matamu sudah sembap.
***
Tanah itu telah kita tinggalkan jauh ke belakang. Kau menyepuh lukamu. Kursus bahasa Korea, menyetir, menanam anggrek. Apa pun untuk berdamai dengan diri sendiri. Perlahan, senyummu kembali terbit, serupa sinar matahari yang berjingkat menghadirkan bingkai jendela di lantai dapur kita yang kecil menjelang pagi. Kau mulai bersenandung saat di kamar mandi, atau sewaktu menyiapkan sarapan, atau kala menyapa anggrek-anggrekmu di hari sore. Di waktu-waktu seperti itu, aku mencoba menenangkan diri. Aku telah mengambil langkah yang benar. Terus merapal mantra bahwa harga diri adalah urusan hidup mati yang tak bisa kutawar. Takdir itu telah dituliskan sebelum aku dan kau lahir, sebelum kau memilih jatuh cinta pada bajingan itu. Bajingan yang kemarin kembali menyapamu di Messenger. Tanpa sedikit pun rasa bersalah menanyakan kabar ayahmu. Tailaso! [1]
***
“Saya tidak bisa hubungi dia, Kak. Teleponku tidak diangkat. Pesanku juga tidak dibalas.” Panik menyerbu wajahmu malam itu, tak beda jauh saat kau menerima peringatan gempa di ponselmu.
“Mungkin dia hanya perlu menyepi. Biasalah, laki-laki.” Aku kembali duduk di meja kecil yang kugunakan makan sekaligus mengerjakan tugas, berniat melahap nasi campur yang kubeli di samping indekos waktu ketukanmu tiba di pintu kamarku. Tenggat penyelesaian segala tetek bengek administrasi wisuda yang jatuh dua hari lagi, membuatku lupa kapan terakhir kali makan.
Sebelum suapan kedua, kau sudah bicara lagi, “Baru tadi saya dengar, minggu lalu, dia sudah balik ke Jakarta. Hari ini dia menikah.” Ranyah, kau meremas perutmu. Aku ingat kata-katamu tentang mencari cara meluluhkan hati ayah dan kakakmu. Mengapa harus cara itu, Naya?
Aku tak berselera lagi menghabisi nasi campurku.
Kawin lari tak pernah ada dalam kamusku, Naya. Aku ke Makassar berkuliah agar bisa pulang membawa gelar sarjana di belakang namaku. Menjadi petani bukan pilihan lagi ketika tanah di kampung sudah menolak digarap. Aku harus ke kota mencari cara agar sawah di desaku kembali bisa memenuhi lumbung dan lambung kami. Bapak harus merelakan dua ekor sapinya yang terakhir untuk memenuhi niatku. Dua petak sawah kami sudah menyerah pada kemarau. Begitu juga sawah-sawah di sebelahnya. Hujan seperti memusuhi kampung kami. Ibu tak mau sawah warisan orangtuanya itu dijual meski berkali-kali didatangi pengembang yang ingin membangun perumahan di daerah kami itu. Itu untuk anakku, Were. Itu selalu kata-kata Ibu, Naya, setiap laki-laki berambut klimis itu datang ke rumah. Bapak dan teman-temannya beralih jadi tukang batu, tiba-tiba saja gedung-gedung penangkaran sarang walet sudah memenuhi langit desa kami.
Kawin lari tak pernah ada dalam kamusku, Naya. Namun, pada malam yang sama, kakak laki-lakimu mendatangi indekosku, menyusulmu. Ia mengacungkan badik dengan mata merah. Beberapa kawan keluar dari kamar indekos mencoba menghalangi, tapi sesungguhnya, hanya tubuhnya yang mampu dicekal. Mulutnya tak berhenti mengucapkan serapah, mengata-ngataiku sebagai laki-laki tidak terhormat, mesum, pantas dibunuh.
Pandangan jijik menggantikan serapah itu. Aku diseret ke rumahmu. Setiap kali ingin membuka mulut, tamparan ayahmu mendarat di wajahku. Kau hanya mampu menangis histeris di belakangku. Mengapa kau diam saja, Naya? Mengapa tak kaukatakan yang sebenarnya? Apakah karena kau tahu perasaanku?
***
“Saya sudah lama sayang dia, Kak.” Kau tertunduk.
“Tidak apa-apa. Yang penting kau tahu.” Sore itu kau menemaniku menemui dosen pembimbing yang hampir mustahil kutemui karena kesibukannya menjadi narasumber webinar.
“Mereka tak boleh tahu tentang anak ini, Kak.”
Kita menikah saja, mau, ya? Saya akan mengakui anak itu anakku.”
“Tapi…”
Kau tiba-tiba diam. Aku tahu lanjutan kalimatmu, Naya.
“Tapi saya bukan Andi.” Aku menelan kalimat itu lagi sekaligus ingin tertawa sekeras-kerasnya. “Keluargamu itu, Naya. Luarnya saja modern, tetapi pikiran masih di zaman sebelum perang kemerdekaan.”
Kau menepuk gemas pundakku.
“Kenapa sih kau bodoh sekali?”
“Kalau sudah cinta, mau bagaimana lagi?”
Pertanyaan itu, Naya, tak kusangka akan keluar dari mulut perempuan paling rasional yang pernah kukenal. Kalau sudah cinta, mau bagaimana lagi? Pertanyaan itu juga tak bisa kujawab.
Di pengujung malam itu, kau mengajakku silariang.
Tak adakah jalan lain, Naya? Seminggu lagi saya wisuda. Namun, kata-kata itu enggan keluar dari bibirku.
***
Waktu berjalan terburu-buru. Angga tak pernah kita temukan sampai ia sendiri yang akhirnya menghubungimu. Kenanganmu akan laki-laki itu kini mewujud dalam satu profil nyata, setelah sebelumnya tak berjejak. Satu hal menggangguku, mengapa kau tak memberitahunya tentang Waru?
“Percuma, Kak.”
“Kenapa baru sekarang ia berani berkabar? Dia tahukah kau ada di sini?”
Kau menggeleng sekali untuk dua pertanyaanku.
“Tak ada gunanya.” Kau menyerahkan ponsel, ada foto Angga bersama seorang perempuan dan dua anak laki-laki yang lucunya kurang ajar. Aku mengembalikan ponselmu dalam diam.
Lalu, datang kabar itu. Ayahmu menunggu kepulanganmu. Kepulangan kita bertiga. Kau tawar hati.
Pesan terakhir Om Pudding, adik ayahmu satu-satunya, mengabarkan keadaan kritis ayahmu, juga pintu maaf yang kini terbuka lebar. Kau ragu. Mabbaji [2]—membeli maaf—adalah sesuatu yang tak pernah kaupikirkan. Tak berani kurencanakan. Tak ada jalan kembali bagi mereka yang kawin lari. Kita berdua sudah menelanjangi keluarga. Kita sudah mappalebba camming. [3] Namun, barangkali wabah berkepanjangan mampu memurnikan pikiran orang-orang.
“Sudah ada Waru.” Harapan penuh di kedua matamu. Saya sudah beli tujuh lembar sarung sutra.”
Aku menatapmu bingung.
“Iya, untuk keperluan mabbaji nanti. Om Puding bilang hanya itu yang perlu kita siapkan. Syarat-syarat pertanda niat baik kita.”
Melihatku tak bereaksi, kau berkata lagi, “Kita tak bisa begini terus, Kak. Saya ingin Waru tahu kalau ia punya kakek dan nenek seperti teman-temannya di sekolah. Dia selalu tanya-tanya itu.”
Aku masih diam.
“Kak Were tidak rindukah sama Bapak, sama Ibu? Pasti mereka rindu sama Kakak juga dan mau melihat Waru.”
Kita berdua memandangi Waru yang asyik dengan Peppa Pig di televisi.
Barangkali kau benar, Naya. Kita tak bisa begini terus. Kota ini hanya persinggahan, bukan tempat yang tepat untuk mengembuskan napas terakhir. Bukan hanya tanah pekuburan yang sulit dicari, melainkan juga alasan melankolis yang dari dulu kau semai. Kau ingin meninggal di kampung agar kuburmu dekat dari sanak keluarga. Kau tak ingin berakhir seperti makam-makam telantar yang tak jauh dari kompleks. Mengapa kau selalu berbicara perihal mati akhir-akhir ini, Naya?
Jawabannya kutemukan seminggu kemudian. Lipatan koran itu sudah lusuh. Satu berita kecelakaan terpampang dengan satu wajah yang tak mungkin bisa kuenyahkan. Kau hanya termangu ketika sadar lipatan itu kutemukan di bawah jendela tempatmu duduk sambil menangis tempo hari. Kau lalu menyibukkan diri menyiapkan makan malam.
Kita tak pernah lagi membahas bajingan itu. Bajingan yang menghamilimu lalu kabur dan menikahi perempuan lain. Bajingan yang harus aku tanggung kesalahannya sampai sekarang. Bajingan yang Andi, gelar yang sangat ditinggikan keluargamu. Sementara itu, aku hanya selalu dianggap sama dengan ata, budak untuk melengkapi kebangsawanan kalian. Sampai kapan sih keluargamu itu sadar kalau sudah ada kecerdasan buatan untuk mempermudah hidup?
Kau semakin sering bertanya bagaimana kita akan mati. Di luar sana, angka-angka terus bergerak naik. Kematian sudah seperti perhitungan untung dan rugi. Kau semakin gamang. Aku juga, tak yakin bisa diterima lagi di keluargaku, meski ada Waru. Cap menghamili anak orang sudah dipasang di dahiku sebelum aku sempat membela diri dan kita tahu bagaimana pandangan orang-orang sok suci di luar sana terhadap anak haram.
Mungkinkah wabah dapat mengubah orang-orang menjadi pemaaf? Apakah terlalu banyak melihat kematian bisa membuat orang-orang jadi seperti itu?
Keputusan itu akhirnya kita ambil. Kau mulai mengatur segala sesuatu: kepindahan sekolah Waru, berkas untuk alih kepemilikan rumah ini, anggrek-anggrekmu. Aku sudah mengundurkan diri dari kantor. Kata Om Pudding kemarin di telepon—kau mengulang-ulanginya sambil mengepak barang—ayahmu tak bisa meninggal dengan tenang sebelum melihatmu. Tiket sekali jalan sudah di tangan.
“Sudah, tak usah cemas.” Kau menepuk pipiku lembut, mendaratkan ciuman tipis sebelum kembali memandang sekeliling rumah. Ada rasa hangat diam-diam menyusupi dada saat kau menyandarkan kepalamu di bahuku. Apakah kini aku bisa memilikimu sepenuhnya? Bajingan itu sudah tak ada. Dia tak mungkin masih hidup di kepalamu kan, Naya? Akan kutanyakan nanti ketika semua kekacauan ini sudah selesai. Kalau benar kekacauan ini bisa berakhir.
***
Ayahmu menutup mata tak lama setelah kedatangan kita. Keluargamu dan keluargaku sama-sama bersepakat memulai lembaran baru. Waru dimanja layaknya cucu yang telah lama dinantikan. Wabah terus menjalari kota. Sawah Ibu telah berubah jadi pekuburan. Laki-laki berambut klimis yang selalu mendatangi Ibu menjadi orang gila. Ia saban sore berkeliling di pekuburan itu.
Beberapa minggu terakhir, aku mulai sulit bernapas. Di suatu sore tatkala mendapatimu kembali memandang murung ke luar jendela, aku tak tahu lagi mana yang lebih kubenci: virus yang tengah menghajar paru-paruku atau laki-laki yang terus hidup dalam kepalamu. ***
.
.
Catatan:
[1] Makian dalam bahasa Bugis, berarti berengsek.
[2] Kembali dan berbaikan dengan keluarga, adat dalam Bugis-Makasar yang dilakukan pasangan yang kawin lari.
[3] Menggelar cermin, ungkapan dalam bahasa Bugis yang berarti berbuat aib sehingga seluruh keluarga besar malu.
.
.
Darmawati Majid, penulis dan peneliti bahasa, menetap di Gorontalo.
.
Membeli Maaf. Membeli Maaf. Membeli Maaf. Membeli Maaf. Membeli Maaf. Membeli Maaf.
Leave a Reply