Cerpen, Happy Yonatan, Tanjungpinang Pos

Selamat Datang Masa Depan

Selamat Datang Masa Depan - Cerpen Happy Yonatan

Selamat Datang Mada Depan ilustrasi Syafrinaldi/Tanjungpinang Pos

5
(1)

Cerpen Happy Yonatan (Tanjungpinang Pos, 21 Mei 2022)

NAMAKU Bintang. Setiap hari aku selalu berada di sudut jalan, menadahkan tangan demi sesuap nasi. Berharap salah seorang dari kerumunan orang yang berpakaian kerja dengan rapi itu memberikan belas kasihan.

Sejujurnya hati kecilku berontak. Aku sedih, marah, dan iri melihat anak-anak sebayaku memakai seragam merah putih dengan wajah riang berangkat ke sekolah, apalagi jika diantarkan orangtua mereka langsung. Betapa bahagianya kehidupan mereka.

Lantas aku memikirkan apakah mereka pernah merasakan pahitnya kehidupan? Aku selalu membayangkan kapan aku bisa seperti mereka. Tersenyum, tertawa gembira bermain bersama teman-teman di sekolah, sedangkan aku hanya bisa pasrah dengan keadaan.

Dalam sehari aku dan ibu berganti-ganti tempat sebanyak tiga kali untuk mendapat sesuap nasi. Pagi hari di pabrik sepatu, siang hari di perempatan lampu merah dan menjelang sore hari di sekitar terminal bus.

Penghasilan kami dalam sehari sebenarnya cukup untuk hanya sekedar makan. Namun sayangnya, kami harus memberikan sebagian uang kami kepada kepala preman di tempat kami tinggal di bawah kolong jembatan, dengan kondisi yang tidak layak disebut rumah. Hanya kardus-kardus dan atap jerami yang berbentuk kotak untuk tempat kami tidur.

Ya, beginilah nasib orang pinggiran seperti kami ini.

Panasnya mentari di siang hari ini membuat adikku yang paling kecil menangis. Lisa terus-menerus merengek, tampaknya dia sedang sakit. Aku mencoba menempelkan tangan ke dahinya dan benar saja badannya panas sekali.

“Bu, Lisa sakit. Badannya panas sekali.”

“Iya, Bin, bagaimana ini? Ibu tidak punya uang yang cukup untuk membawanya ke dokter.”

Ibuku pun menggendong Lisa di pangkuannya dan mencoba menenangkannya. Namun tangisan Lisa semakin keras, membuat para pengendara dan pejalan kaki di sekitar perempatan lampu merah menoleh ke arah kami.

Aku bingung, cemas dan hanya bisa menangis melihat si kecil merintih kesakitan. Aku berdoa kepada Allah semoga ada malaikat penolong yang mau membantu kami yang sedang dalam kesusahan ini. Benar saja, Allah sepertinya langsung mendengarkan doaku dan mengabulkannya, karena tak lama setelah itu seorang wanita cantik dengan dress merah turun dari mobil mewah dan menghampiri kami.

Baca juga  Malam Selepas Hujan

“Permisi. Saya lihat dari tadi anak ibu menangis terus.”

Wanita itu memegang dahi Lisa, lalu dia memekik, “Astaga ya Tuhan! Anak ibu demamnya tinggi sekali. Ini harus segera dibawa ke rumah sakit.”

“Tapi saya tidak punya uang untuk membayarnya,” ibuku menjawab dengan pasrah.

“Ayo, saya antar ke rumah sakit. Tidak perlu khawatir dengan biayanya, nanti saya yang akan membayar,” wanita itu menawarkan bantuan.

Kami pun segera menuju ke RS terdekat. Tiba di sana, aku menunggu di ruang tunggu bersama Lisa, adikku. Sementara ibuku dan wanita berhati mulia itu tengah sibuk mengurus administrasi.

Dalam hatiku terus berdoa untuk kesembuhan adikku. Aku tak mau kehilangannya. Terlebih di usianya yang baru 3 tahun, dia harus mengalami penderitaan seperti ini.

“Mengapa tidak aku saja yang merasakannya, mengapa harus adikku?” teriakku frustasi dalam hati.

Teringat kembali peristiwa dua tahun lalu ketika bapakku dipanggil oleh-Nya. Meninggalkan kami dengan seonggok penderitaan. Utang-utang bapak yang menumpuk di sana sini, membuat kami terusir dari rumah. Semua harta pun ludes tak tersisa untuk membayar hutang. Aku yang kala itu masih berusia tujuh tahun pun harus rela kehilangan masa depan. Tidak bisa mengecap bangku sekolah.

Sekarang inilah kenyataan pahit yang harus kami hadapi. Hidup dari meminta-minta, menjadi gelandangan.

***

Wanita muda itu berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, sambil tersenyum manis.

“Namamu siapa, Dik?” tanyanya lembut.

“Bintang, Bu.” Jawabku.

“Indah sekali namanya. Pasti ingin bersinar seperti bintang di langit sana,” ucap wanita muda itu.

“Tak mungkin, Bu. Cahayanya sudah redup. Dia tak bisa menerangi bumi lagi. Dia sudah mati.” kataku sendu.

Baca juga  Baboe Laoet

“Mengapa berbicara seperti begitu, Dik? Kamu masih muda, masa depanmu masih cerah dan sangat panjang,” ucapnya meyakinkanku.

“Aku hanyalah pengemis. Ibuku tidak punya uang untuk menyekolahkanku. Bisa makan untuk sehari-hari saja kami sudah sangat bersyukur,” ucapku dengan tersenyum kecut.

“Apa karena keadaanmu yang seperti ini, lantas kamu pasrah dengan nasib?” tanyanya.

“Bisakah seseorang miskin sepertiku menggapai mimpi untuk bersekolah?” aku balik bertanya kepadanya.

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Dik. Selama kita terus berusaha dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan mimpi itu.”

“Tapi sekarang kalau kita tidak punya uang, maka kita tidak bisa sekolah,” ucapku pasrah.

“Itu tidak benar, Dik.”

“Umurmu berapa?” tanyanya lagi.

“Sembilan tahun, Bu.”

“Masih muda sekali. Masih bisa untuk meneruskan mimpi dan cita-citamu.”

Aku tak menjawab. Hanya tersenyum tipis.

“Kamu mau sekolah?” tanyanya lagi.

“Tentu saja. Aku selalu iri melihat anak-anak yang memakai seragam merah putih dan berangkat sekolah dengan riang gembira,” kataku antusias.

“Tapi boleh aku tau siapa ibu sebenarnya? Mengapa ibu baik hati kepada kami,” tanyaku bingung.

“Oh ya, dari tadi ibu belum menjelaskan siapa ibu. Nama ibu Christine Hakim. Panggil saja ibu Christine. Ibu bekerja di organisasi sosial untuk membantu orang-orang yang kurang mampu dan fakir miskin. Tugas ibu setiap harinya melakukan survey ke setiap sudut kota untuk merekrut orang-orang sepertimu agar bisa diberi kehidupan yang layak.”

“Mulia sekali. Tapi siapa yang mendanai semuanya, Bu? Masih adakah orang-orang yang peduli terhadap kami ini?”

“Tentu saja banyak, Dik. Masih ada segelintir orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu mereka yang butuh pertolongan. Kami tidak pernah kekurangan donasi. Sebuah organisasi amal yang puji Tuhan tidak akan pernah berhenti bergerak,” ucap ibu itu sambil tersenyum manis.

Tampak ibuku berjalan ke arah kami. Dia merangkulku dan tersenyum.

Baca juga  Monolog Cermin

“Lisa sedang tidur dan panasnya sudah turun. Alhamdulillah berkat pertolongan Ibu ini. Terima kasih ya, Bu. Kami tidak bisa membalas kebaikan ibu.” Ibuku memegang tangan Bu Christine dengan erat.

“Tak apa, Bu. Sudah tugas kami untuk saling membantu sesama. Oh ya, untuk sementara biar Bintang tinggal dengan saya. Ibu fokus menjaga Lisa saja. Setiap hari saya akan datang kemari memantau keadaan ibu dan Lisa serta membawakan makanan.”

“Baik sekali. Saya hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih, Bu. Tanpa ibu, saya tidak tau bagaimana nasib anak saya ini,” ucap ibuku dengan raut wajah yang sedih.

“Berterimakasih kepada Sang Pencipta kita, Bu. Tanpa campur tangan-Nya, kita tidak bisa dipertemukan seperti ini. Dan ke depannya biarkan Bintang meneruskan kembali segala cita-citanya untuk menggapai semua mimpinya. Lembaga kami yang akan mendanai semuanya dan ibu tidak perlu khawatir karena ibu juga bisa bekerja sama dengan kami. Kami akan mengajarkan keahlian kepada ibu supaya ibu memiliki pekerjaan yang tetap.”

“Ya Allah, begitu besarnya kuasa-Mu. Bintang, Nak, doamu selama ini terkabulkan,” ibuku memelukku erat sekali.

“Terima kasih, Bu,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Air mataku mengalir begitu deras, tak kuasa menahan haru yang menggebu dalam dada.

Dalam hatiku berkata, “Selamat datang masa depanku. Aku sudah kembali bersinar terang seperti bintang di langit sana. Tunggu, aku akan segera menggapaimu.” ***

.

.

HAPPY YONATAN, lahir di Sibolga pada 21 Desember 2002. Mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Prima Indonesia.

.

Selamat Datang Masa Depan. Selamat Datang Masa Depan. Selamat Datang Masa Depan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!