Cerpen, Kiki Sulistyo, Kompas

Upacara Ona

Upacara Ona - Cerpen Kiki Sulistyo

Upacara Uno ilustrasi Setiyoko Hadi/Kompas

3.8
(19)

Cerpen Kiki Sulistyo (Kompas, 05 Juni 2022)

SETIAP Kamis ia akan mengenakan terusan kuning mentega yang ramping di bagian pinggang dan lebar di bagian bawah, juga sepatu flats merah dengan tali putih di tepi depan. Itu busana paling cerah yang dimilikinya. Setelah menatap pantulannya yang riang dalam cermin, ia akan mengambil payung, berputar-putar sebentar, sebelum kemudian keluar, menuju pekuburan.

Di depan pintu ia kembangkan payung. Tak peduli hari sedang terang atau mendung mengandung hujan. Dengan kaki ringan ia menyeberang, berjalan ke kanan, melewati toko mebel, tambal ban, warung kopi kecil dengan bangku panjang, dan sebatang beringin yang sulur-sulurnya menjuntai serupa janggut moyang. Persis di samping beringin itu ia akan berbelok, di sanalah pekuburan terhampar: dingin dan tenang. Nisan-nisan marmer berderet-deret. Huruf-huruf yang tercetak di nisan-nisan itu kadang kemilau tertimpa sinar matahari. Meski begitu, siapa pun dapat merasakan bahwa matahari tak mampu memberi kesan hangat pada pekuburan itu.

Ia akan membuka gerbang kecil dengan hati-hati, seakan takut membangunkan para penghuni. Begitu juga saat ia berjalan di antara nisan-nisan. Langkah kakinya betul-betul dilembutkan. Sesampai di tengah pekuburan—beberapa depa tanah kosong tanpa makam—ia akan berhenti, lalu berbalik menghadap jalanan, berdiri di sana, dan mulai bernyanyi. Suaranya merdu dan nyaring, menyebar di udara, meresap ke benda-benda. Siapa pun yang mendengar akan mengenali bahwa lagu-lagu yang dinyanyikannya adalah lagu-lagu kebangsaan, lagu-lagu pujian bagi tanah air. Ia akan terus bernyanyi sampai tengah hari. Sampai seseorang datang, dengan bergegas atau pelan-pelan, membawa makan siang, dan menggelar hidangan itu di dekatnya, di atas selembar tikar pandan.

“Ona, mari makan dulu,” demikian selalu ucap Tok Beko, orang yang mengantar makanan. Sampai Ona selesai makan, cuma itulah kata-kata yang terucap dari mulutnya. Ona akan kembali berdiri dan menyanyi, sementara Tok Beko mengemas perkakas makan dan beranjak keluar dari kawasan pekuburan. Siapa pun tahu, Ona baru akan pulang setelah sekelompok merpati berputar-putar di angkasa dengan bunyi gelang gemerincing di kaki-kaki mereka.

Ona tinggal sendirian di rumah yang dulunya ditempati oleh perempuan tua penjual bakpia. Perempuan itu tak pernah menikah, sehingga ketika ia meninggal dunia, tak ada orang yang mewarisi rumahnya. Ona membeli rumah itu dari pemerintah provinsi dengan status hak guna bangunan. Beberapa tahun sebelum Ona tiba, pemerintah provinsi telah menetapkan kawasan Ampenan, tempat rumah itu berdiri, sebagai kawasan konservasi. Sejak abad ke-18 Ampenan sudah menjadi kota pelabuhan yang ramai di mana banyak berdiri pabrik, gudang, sekolah, hotel, restoran, bioskop, dan rumah candu. Ampenan menjadi tujuan orang dari berbagai pulau dan negara untuk mencari keberuntungan, bertarung dalam kemungkinan peluang menjadi pengusaha atau pegawai di kantor penguasa. Sisa-sisa bangunan tua dengan arsitektur yang tak pernah terlintas dalam mimpi-mimpi para arsitek terkini telah menyebabkan Ampenan menjadi eksotis. Apa yang telah berlalu memang selalu tampak baru apabila apa yang belum datang tak menarik lagi untuk dibayangkan.

Baca juga  Mata Seruni

Waktu pertama kali melihat Ona berjalan dengan pakaian upacaranya, pemilik warung kopi kecil dengan bangku panjang di depannya bertanya: “Mau ke mana, Ona?” Sejak itu semua orang memanggilnya Ona, panggilan umum di Ampenan untuk perempuan muda berkulit susu dan bermata sipit. Ona selalu menjawab apa adanya: ke kuburan. Mula-mula pemilik warung heran, begitu juga pegawai di toko mebel, dan tukang tambal ban. Namun, setelah berkali-kali melihat Ona melakukan hal yang sama, mereka tak lagi merasa heran. Mereka bahkan menyadari bahwa Ona menjalankan upacaranya cuma di hari Kamis.

Sebetulnya, di hari-hari yang lain, Ona juga keluar rumah pagi-pagi, tapi dengan seragam yang lain: seragam yang biasa dikenakan oleh perawat di sebuah rumah sakit Katolik, tempat hampir semua warga Ampenan yang lahir pada dekade 70-80-an pertama kali melepas tangisnya di bangsal persalinan.

Ona datang ke Ampenan pada akhir Januari, sekitar enam tahun lalu. Saat itu orang-orang sedang merenungkan peristiwa yang membuat mereka berada dalam situasi yang ganjil: antara sedih atau senang, antara kehilangan atau kemerdekaan. Peristiwa itu adalah wafatnya mantan presiden yang, sebelum lengser, telah berkuasa lebih dari tiga dekade. Di hari-hari sekitar peristiwa itu, orang-orang Ampenan menjadi kikuk. Mereka seperti ingin membicarakan peristiwa itu sebagaimana mereka membicarakan kenalan yang meninggal, tapi ada perasaan tertentu dalam diri mereka sehingga mereka merasa segan: orang yang wafat selalu adalah orang yang baik, orang-orang yang hidup bersaksi untuk itu. Mantan presiden itu adalah pemimpin yang baik, begitu ucap mereka dalam lisan, maupun dalam hati. Namun, kata “baik” itu selalu terdengar meragukan di telinga mereka masing-masing. Mereka tak tahu kenapa bisa begitu.

Baca juga  Mata Gunting dan Jiwa Rambut yang Dicukur

Di masa itulah Ona tiba dan, sekitar sebulan kemudian, mulai melaksanakan upacaranya. Tak ada yang sungguh-sungguh tahu dari mana Ona berasal. Namun, Tok Beko, suami si pemilik warung kopi, yang digaji untuk membantu mengurus keperluan harian Ona, selalu bilang: Ona orang Jakarta.

Perhimpunan marga yang mengelola pekuburan khusus tempat Ona melaksanakan upacaranya pernah memanggil Ona untuk diajak bicara. Tok Beko menduga, perhimpunan marga itu terganggu oleh upacara Ona, sebab apabila kebetulan ada upacara pemakaman di hari Kamis, Ona akan tetap melaksanakan upacaranya. Namun, dugaan Tok Beko tak terbukti. Perhimpunan marga itu tak terganggu. Warga di sekitar pekuburan juga tak merasa terganggu, meski mereka penasaran akan satu pertanyaan yang tak bisa mereka jawab: apa agama yang dianut Ona?

Tentu saja, merujuk di mana Ona bekerja, orang berpikir ia beragama Katolik. Namun, Tok Beko telah bersaksi bahwa ia pernah melihat Ona melaksanakan shalat. Bahkan pada bulan Ramadhan, Tok Beko diminta tak mengantar makan siang saat Ona melaksanakan upacaranya. “Lihat saja,” ujar Tok Beko suatu saat, “di payung hijaunya itu ada gambar Kabah!”

Orang-orang mulai memperhatikan dengan lebih teliti penampilan Ona. Pengakuan-pengakuan mereka kadang tak masuk akal. Ada yang bilang, tali sepatu flats Ona sengaja diikat sedemikian rupa sehingga ujung-ujungnya runcing, seperti tanduk banteng. Ada juga yang bilang, setiap kali Ona melintasi pohon beringin di dekat pekuburan, pohon beringin itu seperti masuk dan membayang di terusan kuning terangnya. Pengakuan-pengakuan itu lama-lama disampaikan dengan rasa kikuk, sebab terasa seakan-akan Ona telah berbuat kejahatan. Sementara, meskipun Ona masih hidup, semua orang akan berani bersaksi, apabila diminta, bahwa Ona adalah orang baik. Ia memberi upah yang tinggi untuk Tok Beko. Setiap awal bulan ia juga menyumbang untuk rumah ibadah dan panti asuhan. Ia memberi tambahan modal bagi tukang tambal ban sehingga tukang itu bisa membeli mesin isi angin yang besar.

Karena Ona sudah dianggap orang baik, upacaranya, yang meskipun tak mengganggu tapi tetap dianggap ganjil, ibarat kerikil kecil dalam sekantung beras. Orang tak akan berkomentar soal kerikil itu sebab sekantung beras telah membahagiakan mereka.

Hari ini Kamis. Kemarin, telah diadakan pemilihan umum: pemilihan presiden dan wakil presiden untuk menggantikan petahana yang tak boleh maju lagi sebab undang-undang melarang. Presiden baru akan terpilih, dan hampir semua orang di Ampenan sibuk membicarakannya. Mereka terlibat dalam perdebatan, bahkan turut menghitung suara dengan dada berdebar-debar. Tok Beko ikut membantu di tempat pemungutan suara, karena itu ia tak bisa membawakan makan siang untuk Ona.

Baca juga  Sowan; Takdir Daun; Jula-juli Remah Roti; Abu George Bar Damaskus

Tanpa makan siang, Ona tetap berdiri, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Ia cemerlang di tengah kesuraman pekuburan. Tak ada yang melihatnya. Orang-orang masih sibuk di tempat-tempat pemungutan suara atau di depan televisi, menanti-nanti siapakah yang memenangi kontestasi. Namun, Ona tak sendirian. Orang-orang dari perhimpunan marga yang mengurusi pekuburan itu ikut datang. Mereka rata-rata berkulit susu dan bermata sipit. Mereka mengenakan pakaian yang serupa dengan yang dikenakan Ona. Mereka datang sedikit demi sedikit, seakan-akan di antara mereka tak ada perjanjian terlebih dahulu. Mereka berdiri di sekitar Ona, membentuk kerumunan. Mula-mula mereka tak bersuara, tapi kemudian, dengan riang dan lantang, turut menyanyikan lagu-lagu kebangsaan.

Jika saja ada orang yang mendengar dengan sungguh-sungguh, ia pasti dapat merasakan, betapa di dalam keriangan itu memantul-mantul cahaya kesedihan. ***

.

.

Kekalik, 2-3 April 2022

Kiki Sulistyo, lahir di kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017), Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018), dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2021 untuk Tuhan Padi (Halaman Indonesia/Akarpohon, 2021).

Setiyoko Hadi, sarjana seni rupa dari Institut Teknologi Bandung. Puluhan kali berpameran bersama, di antaranya pameran Pamesrani, Galeri Nasional Jakarta (1993); pameran Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, Taman Ismail Marzuki (1994); pameran bersama alumni Seni Rupa ITB berjudul Banjir, Gedung YPK Bandung (2018); pameran Biennale Jawa Barat, Thee Huis Gallery Bandung (2019); dan pameran virtual Art Quarantine Room #1-#3 (2020). Menyelenggarakan pameran tunggal berjudul Pulang di Galeri Pelita, UPH, Tangerang, pada tahun 2012. Berpengalaman mengajar sebagai guru seni rupa di Sentul, Porsea, Ngabang, dan Pekanbaru.

.

Upacara Ona. Upacara Ona. Upacara Ona.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 19

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!