Cerpen, Dody Widianto, Radar Banyuwangi, Zulan Ismoro SH

Surga dalam Secangkir Kopi

Surga dalam Secangkir Kopi - Cerpen Dody Widianto dan Zulan Ismoro SH

Surga dalam Secangkir Kopi ilustrasi Reza Fairuz/Radar Banyuwangi

4.5
(11)

Cerpen Dody Widianto dan Zulan Ismoro SH (Radar Banyuwangi, 04 Juni 2022)

SEJUJURNYA ada yang lebih pahit dari secangkir kopi pekat yang kusesap saat ini. Aku meletakkan cangkirku di sebelah paha. Isinya berkurang setengah. Di sebelahku, bangku-bangku taman mulai kosong. Hanya aku yang masih terduduk di situ. Di salah satu bangku tepat di bawah pohon akasia dengan sulur dedaunan hampir mencapai kepalaku.

Pandanganku terhenti dalam kepak sayap puluhan angsa di tengah rawa. Bulu mereka berubah putih tembaga. Diorama senja memang selalu membuatku rindu. Namun, entah kenapa tanganku belum ingin berhenti menulis. Tentang nama-nama yang telah bergelayut dalam lembar-lembar ingatan dan tersimpan rapi di kaki langit. Menyelinap dalam satu ketetapan. Sebuah takdir.

Nama-nama itu hadir kembali. Membawa jemariku menari di atas papan ketik. Dengan raut kepolosan. Dengan tatap sendu penuh keluguan. Saat kita masih sama-sama belum tahu apa itu cinta. Saat kita masih sama-sama mengisap manis gula-gula kapas gulali di bawah pohon yang sama.

“Ada titipan untukmu. Namanya Bintang.”

Gadis kecil itu menerimanya. Sedikit mengerutkan dahi. Jujur saja saat itu aku sengaja menyelipkan selembar senyum ke dalam surat yang kutitipkan padanya. Berharap sewaktu-waktu ia menemukan senyumku yang tertinggal di sana. Walau aku tahu, Bintang juga sahabat baikku.

Dan entah kenapa, tanganku belum ingin berhenti menulis ….

***

Di depan pintu kamar, raut wajah seorang laki-laki paruh baya semerah darah. Teriakannya parau. Nadanya bergetar murka. Seolah aliran deras air bah telah menjebol tanggul kesabarannya.

Seorang perempuan tiba-tiba datang memeluk dan mengelus rambutnya. Ia paham, hati siapa yang tak luka mendengar jawaban dari apa yang diinginkannya jauh dari harapan. Wanita itu membawanya pergi. Bersembunyi di dalam kamar. Menenangkan hati anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Dalam tangis itu, perempuan itu seakan ingin segera pergi. Ia tahu, kejujuran selalu bersembunyi.

“Maafkan bapakmu, Nduk. Kamu masih sering bertemu Bintang?”

Ia mengangguk. Sungguh, ia tak percaya dengan semua takhayul atau mitos yang ia dengar dari bapaknya. Ketetapan jodoh dan mati ada yang lebih kuasa mengatur segalanya untuk itu. Ia memandang ibunya dengan tatap hampa.

“Ibu tak memaksamu percaya dengan apa yang diucapkan bapakmu. Orang Jawa terkadang pantang melanggar tradisi. Namun, kamu sudah ibu persiapkan jadi orang dengan banyak cita-cita dan berpikir lebih maju. Apalagi keluarga kekasihmu. Mereka pasti tak percaya tentang cerita ini. Mereka orang berpendidikan. Teruslah berdoa. Jika kau ditakdirkan bersama, tak pernah ada yang akan menghalanginya.”

Baca juga  Suatu Pagi di Kuburan

Ucapan ibunya begitu teduh. Pada akhirnya ia percaya jika cinta hanya bisa dipisahkan oleh takdir kematian. Bukan hal-hal di luar nalar yang beberapa orang menganggap tak ada dan sebagian memercayainya. Tekadnya bulat. Ia yakin dengan apa yang akan dipilihnya.

***

Orang-orang berteriak. Berkerumun di tepi trotoar saat bising suara knalpot bercampur dengan pekat asap kendaraan. Seorang laki-laki terbentur dengan kepala berdarah. Motornya ringsek membentur marka jalan.

Seperti anaknya sendiri, seorang ibu yang merasa bersalah itu menopang kepala dan lehernya. Ia menangis. Berteriak minta pertolongan sambil sesenggukan. Ia tak sengaja melintas memotong jalan dengan tiba-tiba dan membuat laki-laki itu kaget, terjatuh, dan harus meregang nyawa. Ibu itu masih berharap nyawa laki-laki itu bisa ditolong segera.

***

Langit meredup, tetapi entah kenapa aku belum ingin berhenti menulis. Lampu-lampu taman mulai menyala. Selembar daun akasia jatuh tepat di atas papan ketikku. Aku memungutnya. Melihatnya masih hijau dan belum sepatutnya ia jatuh.

Aku sangat paham, tak ada kejadian secuil pun di dunia ini yang tidak tercatat. Bahkan, untuk sehelai daun yang gugur pun Tuhan telah mencatatnya dalam kitab langit yang begitu rahasia. Lauhul Mahfuz.

Bintang. Aku tak tahu jika malaikat maut lebih dulu menjemputmu kala itu. Kita memang hanya selisih umur setahun. Kau sahabat terbaik yang terus saja terbayang dalam ingatan.

Kau dulu begitu ingin jadi arsitek. Dalam selembar kertas dan pensil yang selalu tak lupa kaubawa, kau sering menggambar semua gedung-gedung pusat kota sepulang bermain saat langit memerah tembaga. Langit Kota Gandrung begitu indah saat senja, apalagi jika dilihat dari alun-alun pusat kota. Namun, di sudut kertas itu selalu ada gambar wajah bulatan kecil dengan senyum sabit terbalik. Wajahmu selalu murung setelahnya.

“Kau pantas jadi arsitek.”

“Tetapi bapak ingin aku jadi polisi.”

Sejujurnya tak pernah ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya dalam derita. Aku tahu, kau begitu patuh pada orang tuamu. Hingga akhirnya kedewasaan memisahkan kita. Kau bersekolah di ibu kota, fokus mengejar cita-citamu.

Baca juga  Petir

Hingga hari ini, aku tak akan pernah lupa kenangan kita. Dan ketika langit perlahan benar-benar meredup, sehelai daun hijau yang aku tahu umurnya masih muda itu aku lihat kembali. Memilin di antara telunjuk dan ibu jari. Barangkali benar jika Tuhan tak pernah memilih usia untuk menghadap-Nya. Ketetapan yang pasti terpenuhi bahkan sebelum malaikat maut mengikat janji.

Bintang. Andai kau bisa, tentu kau akan melawan apa yang ada. Ibu-ibu yang tak sengaja membuatmu celaka itu menitip sebuah pesan. Waktu itu ia begitu susah menemukan alamat yang tertera dalam sertifikat yang terbungkus pada sebuah cincin.

Aku paham itu untuk siapa. Kau sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk melamar kekasih hatimu, Sinta. Ibu itu lalu meneleponku. Beruntung kau menamai kontakku di ponselmu dengan “sahabat hingga akhir zaman”.

Sahabat yang selalu menitip pesan padaku untuk tidak pernah melewatkan lima waktuku. Untuk tidak pernah meninggalkan subuhku agar semua cita-citaku cepat terkabul. Ibu itu menitip cincin padaku. Tentu kau sudah tahu pada siapa aku harus memberikannya.

Masih kuingat belasan tahun lalu, di kaki langit yang sama, di bawah pohon yang sama, kau berkata ingin sekali bertemu Sinta. Mengucap apa yang ada dalam hatimu walau saat itu kita belum begitu mengenal cinta. Hanya sebatas suka.

Aku tahu kepada siapa aku harus memberikannya. Tetapi bagaimana aku menjelaskannya jika aku merasa separuh hatiku juga pernah dimilikinya. Kau sahabatku, ia kekasihmu, tetapi aku tak akan pernah bisa membohongi perasaanku.

Gadis kecil yang dulu kausukai itu sekarang telah menjelma perempuan tangguh dan luar biasa. Ia telah memiliki beberapa gerai butik meneruskan usaha ayah dan ibunya. Sampai saat ini pun ia masih tak percaya jika kau sudah pergi. Selamanya.

Dari dulu ia sangat menentang kepercayaan kolot ayahnya jika seorang laki-laki menyukai gadis, lalu orang tua dari kedua calon pengantin ada yang terlahir dan tinggal di kampung yang sama, maka petaka akan menimpa keluarganya. Ayahnya terus saja menjelaskan padanya petaka kebo mbalik kandang. Padahal tentu saja, semua yang terjadi di dunia ini telah diatur oleh Maha Pengendali, bukan dari yang lainnya.

Hingga sekarang ia lebih yakin jika kematianmu adalah ketetapan takdir. Kemarin, sebuah pesan darimu yang masih terbungkus rapi itu telah aku berikan padanya. Sebuah cincin yang mengukir namanya. Kau tentu akan sangat bersedih jika melihatnya.

Baca juga  Segara

Sejak tahu kabar kepergianmu, Sinta benar-benar berubah. Tatapannya hampa. Hatinya kosong. Seolah semua suara adalah sunyi yang mencoba menyembunyikan suara hati. Raganya luruh. Jiwanya benar-benar rapuh.

Aku tak sanggup melihatnya. Bahkan, untuk menceritakan padamu jika ia juga ikut menyusulmu ke surga. Seminggu yang lalu, ketika sajadah dan mukenanya yang basah oleh air mata jadi saksi kepergiannya.

***

Ada yang lebih pahit dari secangkir kopi pekat yang kusesap pagi ini. Aku membuka tirai jendela. Melihat lalu-lalang kendaraan di bawah sana. Beberapa lampu taman masih menyala. Beruntung, kamar apartemenku di lantai tujuh. Aku bisa melihat pemandangan langit ibu kota saat hari baru dimulai. Saat cahaya warna merah jambu tiba-tiba mengetuk pintu dan jendela.

Kopiku berkurang setengah. Sebagai seseorang yang dipercaya memberi bantuan hukum pada sesama, aku harus selalu mempersiapkan pagiku dengan sempurna. Sudah kulalui berbagai cerita tentang masalah-masalah kehidupan. Perceraian, pertikaian, perebutan warisan, bahkan pembunuhan. Jika waktu senggang, kusempatkan memandangi layar laptop lalu pelan meletakkan jemariku di atas papan ketik. Anganku mengembara setelahnya.

“Mas, ini sudah siang. Katanya ada janji ketemu klien?”

Istriku di belakang tiba-tiba memijit pundak. Aku mengangguk. Bahkan, ia tak tahu jika semalaman suaminya tak tidur hanya untuk terus menulis. Sejujurnya, surat balasan dari Sinta untuk Bintang masih tersembunyi rapi tanpa siapa pun tahu, termasuk istriku. Bukankah setiap orang berhak punya masa lalu?

Dan entah bagaimana, hingga matahari tiba-tiba muncul dari balik tirai jendela, aku belum ingin berhenti menulis. Di sebelah lampu meja, kopiku masih tersisa setengah. Aku melihatnya dan dalam kepekatan kopi itu, sesuatu tiba-tiba membayang di dalamnya. Wajah-wajah yang kini telah disembunyikan Tuhan di surga. ***

.

Surga dalam Secangkir Kopi. Surga dalam Secangkir Kopi. Surga dalam Secangkir Kopi. Surga dalam Secangkir Kopi.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 11

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Siyuk Sie

    Keren banget, kapan bisa nulis seepik ini aku?

Leave a Reply

error: Content is protected !!