Bhirawa, Cerpen, Dody Widianto

Di Mana Om Kelik?

Di Mana Om Kelik? - Cerpen Dody Widianto

Di Mana Om Kelik? ilustrasi Bhirawa

5
(2)

Cerpen Dody Widianto (Bhirawa, 10 Juni 2022)

ENAM minggu lalu relawan sengaja memasang spanduk dan baliho di sepanjang jalan utama yang membelah desa. Foto dengan senyum yang kubuat semanis mungkin tanpa aspartam, pemanis buatan, berdiri gagah, diusung dari jalur incumbent.

Ini kedua kalinya aku akan menjabat sebagai kepala desa jika masyarakat masih percaya denganku. Jalur petahana memang punya peluang besar menang lagi. Namun, ibu pernah berkata, “Tuhan tak pernah bermain dadu, hanya kejujuran yang akan menampakkan secara nyata siapa dirimu sebenarnya.”

Sejujurnya aku tak begitu percaya ucapan terakhirnya. Di negeri ini, uang mewakili kosakata dalam semua birokrasi. Nanti aku buktikan asumsiku tak pernah salah.

Istriku tiba-tiba datang mengelus pundak. Dari kaca lemari di sebelah ranjang, aku melihat wajahnya yang cantik seolah menyimpan keraguan. Kuharap ia tak ingin bercerita lagi tentang mimpi konyolnya akhir-akhir ini. Bagaimana tubuhku katanya jadi bulan-bulanan para algojo hingga membiru di dalam jeruji besi. Dan mimpi itu terus saja berulang.

Ia masih berdiri mematung di belakangku ketika tanganku sibuk merapikan jas. Menyemprot minyak wangi ke kerah baju dan dadaku. Menyisir ulang rambutku yang sudah rapi. Di saat seperti ini aku harus tampil prima di depan semua orang. Sama seperti bagaimana rapi dan wanginya aku saat ‘dipaksa’ olehnya berkunjung ke rumah Tuhan.

Ia selalu memaksaku bangun pagi tepat saat jam empat berdentang, bahkan saat kunang-kunang belum selesai gosok gigi. Karena baginya, waktu sebelum subuh adalah waktu yang tepat memiliki lebih dari semesta dan seisinya.

Begitulah, dalam beberapa hal, atas nama kebaikan dan kebenaran istriku selalu menasihatiku. Mirip ibuku. Bahkan setelah menghadiahiku sepasang jagoan lucu yang serupa, ia tetap cantik, ramping, dan cerewetnya masih sama seperti dulu.

Namun, untuk kali ini raut wajahnya benar-benar berbeda. Di balik api semangat yang tersirat dalam wajahnya, aku melihat ada kesedihan dan keraguan di sana. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.

Sesaat ia mendekat, merapikan ikat pinggangku yang agak melorot. Entah kenapa akhir-akhir ini perutku terus bergerak maju. Membuatku sedikit susah bernapas. Di sampingku, walau terlihat dipaksakan, senyumnya menyembul. Ia mencubit genit ujung lemak di pingganggku, seolah ingin berkata, ‘kamu gendut sekarang’. Aku tersenyum tipis. Paham dari sorot matanya yang seolah berbicara.

“Pak Kelik kemarin datang, mungkin masalah pembangunan pabrik baru di kawasan. Orang perwakilan perusahaan juga datang. Aku bilang Mas sedang tidak di rumah. Apa ada telepon?”

Baca juga  Seribu Cahaya di Langit Muram

“Sudah selesai kemarin malam. Tinggal tanda tangan kesepakatan.”

“Mas ingat pesan ibu ‘kan?”

Aku mengangguk. Ia tahu hidup memang selalu diliputi pilihan-pilihan. Seperti perjudian, kita diharuskan membaca peluang. Dan setiap pilihan selalu mengandung risiko. Aku hanya ingin berusaha melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.

Proposal pembangunan kawasan industri baru itu rencana akan memakan sebagian lahan pertanian warga. Bukan hanya itu, ada puluhan rumah di pinggir jalan yang akan ikut tergusur. Penggantian hak tanah dan rumah kemarin berjalan agak alot. Belum ada kesepakatan tentang harga ganti rugi.

Aku berusaha meyakinkan warga bahwa sesuatu yang baik kadang harus ada yang dikorbankan, berdalih bahwa semua untuk kemaslahatan umat. Peningkatan ekonomi, peningkatan pembangunan, juga lapangan kerja, semua telah ada dalam benakku. Tentu ada dampak buruk selain itu. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku yakin masyarakat masih percaya dan kembali memilihku untuk memimpin desa ini.

“Apa pun yang Mas lakukan, kuharap itu bukan hanya datang dari sini, tetapi juga dari sini,” ujung jarinya menunjuk pelipisku lalu turun ke dadaku.

“Hati punya akalnya sendiri,” ucapnya lirih.

“Kemarin perwakilan dari KLHK dan WALHI sudah datang, masih dikaji lagi nanti dampaknya bagi masyarakat. Aku putuskan pembuangan limbah jangan sampai mencemari lingkungan pertanian sekitar.” Aku duduk di tepi ranjang, istriku mengikuti. “Kau masih percaya padaku ‘kan?”

Sorot matanya ragu, tetapi seolah ada dorongan yang kuat di sana. “Aku mendukungmu,” begitu jawabnya.

Beberapa detik setelah itu, pintu depan diketuk tamu. Dua anak kembarku yang masih kelas satu SD berlarian ke pintu.

“Ayah, ada Om Kelik,” teriak salah satu dari mereka.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Pak Kelik berhasil membawaku keluar rumah lewat izin istriku dan kecupan pipi kiri dan kanan anak-anakku. Banyak yang harus kuselesaikan sekarang sebelum acara pemilihan lurah digelar. Hanya yang membuatku sedih adalah ketika salah satu dari mereka berkata ke telinga istriku, “Kenapa Ayah sekarang jarang di rumah?”

Kelik adalah partner kerja sekaligus sahabat terbaikku. Kami tak punya hubungan darah. Dulu ia tinggal bersama kedua orangtuanya di pusat kota Sidoarjo. Ia pindah ke sini atas permintaan kakeknya yang tuan tanah. Mungkin hanya ia satu-satunya cucu yang bisa dipercaya.

Ia memang orang yang bisa diandalkan. Semua agenda desa dan kepengurusan ke kantor kecamatan dan pusat ia yang tangani. Dari bujang dulu, ia terbiasa ikut karang taruna dan selalu aktif urusan yang biasa ada di desa. Ronda, kerja bakti, lomba kemerdekaan, sampai menjadi kepala dewan masjid. Wajar jika masyarakat memilihnya sebagai Sekretaris Desa.

Baca juga  Kepulangan yang Tak Ditunggu

Kalau boleh jujur aku sangat berbeda dengannya. Aku kutu buku. Manusia rumahan layaknya kucing Persia. Otakku hanya berisi algoritma dan rumus aljabar. Bahkan teori Einstein beserta rumus rumitnya aku hafal di luar kepala. Namun, ia menyadarkanku. Hidup tak selamanya bergantung teori. Aku pun berubah dan mulai percaya, ia lebih hebat dariku. Sayang, sampai usianya hampir kepala 4 ia belum juga mau menikah. Itu sebab anak-anakku sering memanggilnya “Om”.

Dulu ia pernah terlibat cinta dengan gadis cantik tetangga kampung. Sayang, perbedaan agama jadi kendala. Dan setahuku aku dengar kabar gadis itu meninggal setelah kecelakaan di rel KA tanpa palang pintu. Entah bunuh diri atau kemalangan aku tak tahu.

Cintanya terlalu mendalam sampai ia trauma untuk jatuh cinta lagi. Sebagai gantinya, ia kadang menginap di rumahku atas permintaan anak-anakku. Istriku tak pernah keberatan dan membuang jauh-jauh rasa curiga. Sudah kukatakan, ia benar-benar seperti saudara. Bahkan kadang ia sering ‘meminjam’ anak-anakku untuk sekadar menghilangkan kesepiannya. Membawa dua jagoanku yang serupa ke rumahnya. Orangtua Kelik sudah tiada. Ia hanya bersama kakenya di rumah.

Selain supel, ia orang yang tegar. Ia tak pernah cerita tentang kesedihannya. Hingga aku makin dekat dengannya dan memintaku mau jadi lurah di sini. Dalam waktu dekat, setelah jabatan kepala desa untuk masa enam tahun tahap kedua selesai, desa ini akan diubah jadi kelurahan. Kades akan diganti menjadi lurah. Semuanya sudah disetujui oleh pemerintah daerah dan pusat.

Kelik akan senang jika aku terpilih jadi lurahnya. Setidaknya itu yang ia harapkan dulu. Padahal aku yakin ia lebih berkompeten untuk itu. Bisa dibilang desa ini maju berkat kerja kerasnya. Penambaham pendapatan ekonomi dari lahan tani ke bidang industri dan jasa adalah atas jerih payahnya.

Aku selalu ingat bagaimana ia mengajariku menganyam tas dari limbah tali keramik. Sebenarnya aku ingin dia yang menggantikan posisiku. Sayang, dia hanya tamatan SMA. Syarat pendidikan minimal calon lurah harus S1, lain dengan kades yang boleh hanya tamatan SMP.

***

Segalanya jadi beku saat dari balik jeruji aku melihat penjaga menggiring anak-anak dan istriku masuk ke ruanganku. Bibirku kaku dan aku seolah tak ingin bicara sepatah kata pun pada orang yang telah memberiku cinta dan semangat. Bahkan sampai ia cerita kalau kakek Kelik terus datang ke rumahku untuk bertanya dan mencari cucunya yang tak pulang-pulang.

Baca juga  Dabbah

Begitulah, acapkali hujan deras datang sebelum payung dibentangkan. Semua terlambat. Dan hari ini di depan anak-anakku yang belum mengerti apa yang terjadi dengan ayahnya, istriku memintaku berkata sejujur-jujurnya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa aku sampai begini? Di mana Kelik sekarang?

“Kau benar, hati punya akalnya sendiri. Kuharap Kelik masih hidup.”

Istriku terperanjat, wajahnya merah padam. “Apa maksudmu?”

“Aku benar-benar minta maaf. Segalanya berubah sejak ada perwakilan dari developer untuk membangun proyek industri di desa kita. Demi memuluskan rencanaku untuk maju ke pemilihan lurah agar aku bisa lulus, semua sudah diatur.

Aku tinggal mengikuti rencana. Namun, Kelik berseberangan denganku. Ia orang yang baik, jujur. Ia mementingkan lahan pertanian dan industri UMKM warga daripada merelakan tanah sawah itu terus digerus arus zaman. Ia sangat tahu imbas limbah industri baru itu sangat tercemar.

Bahkan aku ikut bancakan, rebutan tanah ganjaran perangkat desa yang telah dikembalikan haknya ke pemerintah kota. Desa kita akan jadi kelurahan. Lebih dari sebulan yang lalu sebelum pengadilan memutuskan aku bersalah, aku sering adu argumen dengannya. Sekarang semuanya terlambat. Aku pun tak tahu di mana Kelik sekarang.”

Istriku terdiam melihat wajahku. Hatinya hancur bersama bulir-bulir bening yang tak sengaja meluncur ke pipinya. Ia buru-buru mengelapnya dengan tisu dari dalam tasnya. Menggeleng perlahan seolah tak percaya dengan apa yang telah kulakukan.

Aku menunduk. Bukan hanya malu, tetapi sedih mendengar sahabat yang juga kuanggap kakakku hilang entah ke mana. Aku harus bicara apa pada kakeknya.

Waktu cepat berlalu sampai tiba-tiba penjaga datang lagi ke tempatku. Istriku memberi kode ke anak-anak kalau sekarang waktunya pulang. Mereka berlarian berebut ke pangkuanku lalu menciumi semua bagian di kepalaku.

Dan pertanyaan itu tiba-tiba datang seperti belati yang mengiris pergelangan tanganku dan seolah membunuhku perlahan-lahan.

“Ayah, Om Kelik di mana?” ***

.

.

Dody Widianto. Lahir di Surabaya. Karya cerpennya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Fajar Makassar, Solo Pos, dll. Buku kumpulan cerpen terbarunya, “Daff, Ron, dan Seekor Capung yang Menyimpan Dialog Rindu Kita” (Airiz Publishing, Yogyakarta 2021). Akun IG: @pa_lurah.

.

Di Mana Om Kelik? Di Mana Om Kelik? Di Mana Om Kelik?

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!