Cerpen, Republika, Risda Nur Widia

Aroma Bunga Semanggi

Aroma Bunga Semanggi - Cerpen Risda Nur Widia

Aroma Bunga Semanggi ilustrasi Rendra Purnama/Republika

4
(5)

Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 12 Juni 2022)

AKHIR-AKHIR ini, bayangan Ibu sering berkelindan saat aku sedang menatap taman bunga kecil di belakang rumah. Titik-titik gerimis yang ditumpahkan langit itu bergelantung bening di antara rimbun bunga telang dan sepatu yang aku tanam dari bibit pemberian Ibu dulu. Bila demikian, aku akan segera termenung dengan ingatanku yang menggiring pada sebuah rumah di masa kecilku.

Aku lupa terakhir bertemu Ibu. Mungkin aku bertemu dua tahun lalu, sebelum ada pandemi Covid-19. Cuma, kepulanganku ke rumah saat itu hanya sebentar karena aku ke sana bukan untuk liburan. Aku pulang untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Hanya, kini rindu yang terpendam lama ternyata dapat membuat orang tersiksa. Aku melenguh dengan membuang napas, syahdan menempelkan keningku pada keyboard yang tidak aku sentuh sejak setengah jam lalu.

Istriku yang sempat mengamati gelagatku mendekat dengan perut buncitnya. Ia sedang mengandung anak pertama kami.

“Apa yang sedang kaupikirkan, Mas?” tanya istriku. “Kau terlihat gelisah.”

“Tiba-tiba aku rindu ibu,” balasku singkat.

“Aku juga, Mas.” Istriku menambahi serupa. “Kok perasaan kita bisa sama ya?”

Aku memegang perut istriku yang menggembung. Aku kemudian menciumnya seraya melirik sudut mata istriku. Ia melepaskan sebersit senyum manis dan selalu membuatku jatuh cinta.

“Aku juga rindu menyantap pecel daun semanggi buatan Ibu,” ucap istriku menatap gerimis. “Terasa sangat nikmat walau hanya sederhana ya, Mas.”

Aku mengangguk sepakat. Pecel daun semanggi buatan Ibu di rumah sangat nikmat untuk dilewatkan.

Sepasang tangan ibu memang ajaib, batinku setiap kali mengenang pecel buatannya. Ibu seperti pesulap yang dapat membuat setiap orang terpesona saat sepuluh jarinya membuat pecel daun semanggi. Makanan itu bahkan dahulu menjadi andalan agar kami berkumpul mengelilingi meja sebagai keluarga yang rukun.

“Ibu pasti menaruh sihir kan di pecel ini?” kata kakakku setiap kali selesai memakannya. “Rasanya bisa lebih enak dari makanan mahal apa pun di kota ini.”

“Benar,” jawabku setuju. “Ibu belajar sihir dari mana?”

“Tidak ada sihir.” Ibu lembut menjewer kuping kakakku. “Ibu memasaknya seperti orang lain membuatnya.”

“Tapi, kenapa bisa sangat enak?” tanyaku lagi. “Ibu jangan bohong.”

“Ibumu memasaknya pakai kasih sayang.” Ayah membela Ibu. “Di setiap piring pecelmu itu, ada cinta yang dibuat untuk kalian.”

Aku dan kakak menyeringai tidak percaya. Kami lebih memercayai kalau di pecel daun semanggi Ibu ini terdapat sihir. Buktinya, ayah selalu mendapat ilham baru untuk menulis setelah memakan pecel daun semanggi Ibu.

Baca juga  Nyai Sobir

“Pecel buatanmu selalu menolongku,” tandas Ayah girang memuji Ibu saat mendapatkan hal yang dicarinya selama berjam-jam di perpustakaan. “Aku mendapatkan ide-ide baru setelah menyantap pencel daun semanggimu.”

Ibu pun tersipu mendengar pujian ayah tersebut. Ibu sangat bahagia bisa menolong pekerjaan ayah sebagai seorang penulis novel.

“Itu bukan karena makanan ini,” kata Ibu rendah hati. “Bapak sendiri yang menemukannya.”

Antara pecel daun semanggi dan sikap ibu memang menunjukkan kesederhanaan yang sama. Pecel daun semanggi Ibu bagai cermin atas ketulusan cinta, kasih sayang, dan kelembutan wanita kepada keluarga yang disiratkan dalam sayur-mayur, ulekan kacang tanah, duan semanggi, dan kerupuk puli [1]. Jadi, tidak terlalu aneh pecel daun semanggi ibu lebih enak dari makanan apa pun di luar sana.

***

Pecel daun semanggi Ibu sudah menjadi candu bagi keluarga. Pecel tersebut tidak boleh absen ketika kesedihan datang. Pecel daun semanggi Ibu bisa menjadi obat bagi hati yang sedang gundah atau bimbang. Aku pun seharusnya berterima kasih kepada Ibu dan pecelnya karena menyelamatkanku dari kebimbangan hati saat melamar Gita, calon istriku dulu.

Tapi, kasih sayang ibu dalam kudapan pecel terasa mengabur karena jarak dan situasi. Virus korona yang memaksa manusia berjaga jarak dan pekerjaan yang menuntutku merantau berhasil merenggut kedekatanku dengan Ibu. Siang itu, setelah sepanjang hari melihat gerimis dan taman bunga di belakang rumah, aku dan Gita tiba-tiba ingin menyantap pecel daun semanggi Ibu.

Istriku—juga sepertiku—adalah penggemar pecel daun semanggi buatan Ibu. Setiap pulang ke rumah Ibu, istriku selalu memintaku untuk membujuk Ibu membuatkannya. Cuma hati Ibu seperti memiliki telinga. Tanpa aku minta, Ibu selalu membuatkannya.

“Maafkan aku yang tidak bisa membuat masakan seenak ibumu, Mas.” Gita mendadak terlihat sedih di sampingku. “Jadi, kamu tidak bisa merasakan rumah dari masakan buatanku.”

Aku menatapnya beberapa jenak. Terlihat selembar kaca yang rapuh di matanya.

“Setiap tangan memiliki keajaibanya masing-masing,” balasku. “Kau tidak perlu sedih.”

Sejak lama aku berpikir setiap rumah memiliki makanan andalan masing-masing. Aku jatuh cinta dengan Gita bukan hanya karena kecantikan dan kemandiriannya. Hatiku tertambat padanya karena ia juga pandai memasak pelecing kangkung [2] .

“Aku ingin menyantap pecel daun semang gi, Mas,” cetus istriku. “Pasti sangat bahagia bayi kita dapat merasakan pecel daun semanggi Ibu.”

Mendengarkan keluhan istriku aku berpikir, apakah istriku sedang ngidam lagi? Aku mengamati wajahnya. Ia terlihat tidak bersemangat seperti biasanya.

Baca juga  Sawitri

“Aku bisa membuat pecel daun semanggi,” tandasku berusaha membuat bahagia istriku.

“Sejak kapan kamu bisa buat, Mas?” Istriku tampak kaget.

“Nanti coba aku buatkan ya.” Aku berjanji pada istriku. “Rasanya kurang lebih hampir sama.”

Istriku menatap mataku. Ia ingin menjajaki sesuatu di sana. Ia kemudian menguraikan senyum dan mengangguk. Sementara, aku sendiri berusaha untuk mengingat-ingat resep pecel daun semanggi yang dahulu pernah ibu ajarkan.

***

Sore harinya hujan mulai mereda. Aku mencoba mencari apa saja yang dibutuhkan untuk membuat pecel daun semanggi di swalayan. Sesampainya di rumah, aku mendadak mendengar bunyi ketukan pintu depan. Aku segera membukakannya, hingga aku tergeragap melihat ibu.

“Ibu?” Aku masih agak kaget dengan kedatangannya. “Kenapa Ibu tidak memberi kabar terlebih dahulu kalau mau datang.”

“Aku sengaja tidak memberikan kabar,” ucap ibu dengan tersenyum. “Nanti kalau Ibu memberi kabar, kamu pasti melarang ke sini.”

“Tapi Ibu datang sama siapa?” Aku segera membawa ibu masuk.

“Ibu datang sendiri,” balasnya singkat.

Ibu berjalan di depanku. Aku memandangi punggungnya yang kecil. Wangi parfumnya yang khas pun segera bercampur dengan aroma rungan rumahku.

“Ibu ingin menengok calon cucu kecilku,” lanjutnya lagi. “Di mana istrimu?”

“Tapi kan berbahaya pergi dalam situasi pandemi seperti ini.” Aku masih berusaha memprotes. “Lain kali berikan kabar ya, Ibu.”

Aku menatap wajah Ibu yang kelelahan. Jaket biru yang digunakannya sedikit basah karena sisa gerimis perjalanan. Aku pun segera meminta Gita untuk membuatkan teh hangat untuknya. Tapi, Ibu malah melarangnya dan pergi ke dapur.

“Kalian pasti kangen pecel daun semanggi kan?” Ibu seakan bisa menebak apa yang sedang berkeliaran di kepalaku dan istriku. “Ibu datang juga karena ingin membuatkan itu untuk kalian. Pohon semanggi di belakang rumah masih tumbuh kan?”

Ibu menatap ke arah belakang rumah. Di sana aku dahulu menanam pohon semanggi pemberian ayah.

“Bisa kan kamu petikkan beberapa bunganya untuk ibu?” pinta ibu kepadaku.

“Lebih baik Ibu istrirahat dulu,” pinta istriku. “Gita akan segera siapkan ruangan untuk Ibu, ya.”

“Sudah tidak ada waktu,” kata ibu singkat.

“Tidak ada waktu?” Aku merasa bingung. “Maksudnya?”

“Oh, cucuku pasti sangat ingin menyantap pecel daun semanggi buatanku. Jadi sudah tidak ada waktu lagi.”

Ibu pun pergi ke dapur. Ia terlihat tidak mau diganggu saat memasak.

Aku dan istriku sendiri merasa tidak tenang mengawasinya bekerja. Sesekali kami juga mencium aroma wangi yang terasa ganjil. Aroma yang tidak pernah kami temukan saat bertemu Ibu.

Baca juga  Mudik ke Kampung Majikan

Demikianlah pecel itu selesai dibuat. Aroma wangi yang kami cium itu ternyata aroma bunga semanggi yang Ibu campurkan di pecelnya.

***

Setelah menghabiskan pecel Ibu, aku dan Gita merasa lebih baik. Semua gundah lenyap bersama rasa kenyang di perut. Makanan buatan Ibu sekali lagi dapat mengobati keriduan kami. Namun, aku masih khawatir ketika melihat wajah Ibu yang makin pucat. Aroma bunga semanggi pun makin tajam tercium dari tubuh Ibu.

Aku segera meminta Ibu untuk istirahat. Ibu kini menurutinya. Aku sendiri mencoba menghubungi ayah di rumah. Namun, sebelum aku selesai mencari nama ayah di handphone, pria itu sudah meneleponku.

“Tarno,” katanya terbata-bata. “Ibu… Ibu… Tarno…”

“Kenapa Ibu?” Aku mengerling ke arah ruangannya istirahat. “Sekarang Ibu…”

“Dia…” Ayah cepat memotong penjelasanku dengan menahan isak. “Ibu baru saja meninggal. Baru saja ia masuk rumah sakit karena mendadak pingsan. Dokter mengatakan: Ibu terkena serangan jantung.”

Aku tergeragap tak percaya. Aku mencoba menjelaskan situasi Ibu di rumahku saat ini. Cuma Ayah malah merasa bingung.

“Ayah tidak sedang bercanda,” tegasnya lagi.

Aku pun bertambah bingung. Aku segera meninggalkan panggilan itu untuk menyusul Ibu di kamar. Ibu ternyata sudah tidak ada di sana.

“Ibu?” panggilku beberapa kali.

“Ibu?”

“Ada apa, Mas?” Gita datang.

“Ibu di mana?”

Gita tampak bingung di depanku. Aku sendiri termenung dengan kepala hampir pecah. Angin pun berembus mengantarkan wangi bunga semanggi yang dari tadi melekat di tubuh ibu. ***

.

.

Catatan:

[1] Kerupuk puli merupakan makanan khas asli Kota Madiun. Terbuat dari beras ketan yang ditambahkan garam dan bumbu sehingga rasanya sangat nikmat.

[2] Pelecing kangkung adalah masakan khas Indonesia yang berasal dari Lombok dan Bali. Plecing kangkung terdiri atas kangkung yang direbus dan disajikan dalam keadaan dingin dan segar dengan sambal tomat yang dibuat dari cabai rawit, garam, terasi, dan tomat, dan kadang kala diberi tetesan jeruk limau.

.

.

Risda Nur Widia adalah alumnus Pascasarjana PBSI Universitas Negeri Yogyakarta. Karyanya sudah dimuat di media lokal dan nasional. Buku tunggalnya: Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).

.

Aroma Bunga Semanggi. Aroma Bunga Semanggi. Aroma Bunga Semanggi.

 969 total views,  1 views today

Average rating 4 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Siti

    Aku lupa terakhir bertemu ibu,

    Si “aku” tokoh apa “sakit” kok, sampai LUPA. 😀

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: