Bagas Mahardika Purnomo, Cerita Remaja, Waspada

Yang Datang Setelah Hujan

Yang Datang Setelah Hujan - Cerpen Bagas Mahardika Purnomo

Yang Datang Setelah Hujan ilustrasi Denny Adil/Waspada

4.3
(3)

Cerpen Bagas Mahardika Purnomo (Waspada, 12 Juni 2022)

“TAHUKAH kau apa yang datang setelah hujan turun?”

“Banjir?”

“Kau terlalu lurus. Bukan itu yang kumaksud.”

“Jangan terlalu mengada. Yang datang setelah hujan adalah banjir. Tidak ada yang lain. Yang datang setelah banjir adalah sampah yang berserakan. Dan yang datang setelah itu, bau yang tidak sedap.” Perempuan itu menjawab dengan kesal.

“Kau terlalu lurus Din. Kau terlalu lurus.”

Tentu pemuda itu tidak sedang bermaksud menanyakan hal yang sudah diketahui banyak orang kepada kekasihnya. Tentang kota yang semakin rentan dihiasi banjir. Kota yang yang semakin cengeng. Hujan sedikit, banjir. Bukan itu.

Terlalu naif bila dengan cepat harus menyalahkan pemerintah. Buru-buru mengatakan pemerintah tidak becus, pemerintah kurang perduli atau pemerintah yang ogah-ogahan mengurusi urusan banjir. Itu pernyataan yang tidak bijaksana.

“Katanya mau buat kota ini bersih, kota ini maju, kota ini bla bla bla. Omong kosong.” Kali ini Dina memulai percakapan dengan lebih berapi-api.

“Apa tidak ada pembicaraan lain yang bisa kita bahas di sini? Setiap saat yang kita bahas saat bertemu selalu hal yang sama. Bahkan saat-saat aku ingin merayumupun kau bahas banjir. Apa sudah habis rindu atau sejenisnya buatku?”

“Aku tidak bisa membahas yang lain. Dalam kepalaku hanya ada air yang menggenang saat hujan datang. Dan sampah-sampah yang berserakan. Dan semua omong kosong dari pemerintah.”

“Tidak sedikitpun ruang untukku?”

“Jangan seperti anak-anak, Bang. Kita sudah cukup berumur untuk membahas soal hal-hal remeh seperti itu. Kau sudah tentu tahu bagaimana perasaanku dan aku rasa aku tidak perlu mengulang-ngulang mengatakan hal itu.”

Baca juga  Menanti Temu

“Sama seperti kita kan?”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, kita juga sudah cukup berumur kan? Kita sudah sangat layak untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Seperti kota ini yang mudah banjir, seperti itu juga aku saat rindu hadir. Mudah sekali banjir. Mudah sekali.”

“Maksud Abang rindumu dan cintamu itu banyak sampahnya?”

“Kenapa pemikiranmu bisa lari ke sana? Kau terlalu mengada Din. Kau jelas paham maksudku. Kapan aku bisa berjumpa dengan Ayahmu? Lupakan soal pemerintah dan banjir. Kali ini aku sedang serius.”

“Aku belum siap Bang.”

“Mau sampai kapan begini terus, Din? Mau sampai kapan? Usia kita sudah tidak lagi remaja, dan kita juga tak lagi muda.”

“Aku belum siap. Masih banyak hal yang aku ingin lakukan.”

“Apalagi yang ingin kau lakukan Din? Apa tidak bisa kita lakukan hal-hal itu setelah kita menikah?”

“Tidak bisa, Bang. Menikah itu menyebalkan. Aku tak ingin dipenjara. Aku masih ingin terus seperti ini, bebas. Dan tak terikat.”

“Astaga, Din. Pemikiran konyol seperti apa yang merasuk ke kepalamu itu? Sejak kapan menikah menjadi penjara? Kau terlalu banyak mendengar hal[1]hal konyol di luar sana. Dan kau mulai tak masuk akal.”

“Itu bukan pemikiran konyol, Bang. Itu kenyataan. Banyak dari teman-temanku yang setelah menikah, mereka tak lagi bisa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Ia tidak lagi bisa menyampaikan keberatannya pada pemerintah yang kurang jeli pada pendidikan, kemiskinan, dan banjir yang kian hari kian meresahkan. Apa itu bukan penjara? Mereka tidak lagi bisa melakukan hal-hal yang dahulu sering mereka lakukan saat mereka belum menikah. Dan kau tahu alasannya, Bang? Mereka selalu bilang bahwa mereka tak mendapat ijin suami. Harus mengurusi anak dan banyak alasan tak masuk akal lainnya. Apa itu bukan penjara namanya?”

Baca juga  Sariman dan Malaikat

“Kau terlalu mengada, Din. Kau terlalu mengada.”

“Aku tidak mengada, Bang. Itu semua fakta. Kau bisa lihat jelas bukan? Pendidikan kita merosot, kemiskinan? Semakin tak terbendung. Dan urusan banjir? Semakin hari semakin meresahkan. Aku masih ingin memperjuangkan itu.”

“Kau bisa memperjuangkan itu, Din. Aku akan membersamaimu. Kita akan bersama-sama menyuarakan itu.”

“Kau bohong Bang. Kau tidak akan mungkin melakukan itu. Kau selalu membela mereka.”

“Aku membela mereka? Aku hanya menjadi orang yang tidak menuduh tanpa dasar. Dan menjadi orang yang selalu mencari-cari alasan dengan alasan konyol.”

“Maksudmu?”

“Kau selalu menyalahkan pemerintah karena banjir. Padahal itu hal yang kompleks. Kau lihat pemukiman di sekitaran sungai? Kau lihat masyarakat yang suka membuang sampah ke sungai? Kau juga tahu bahwa lahan hijau semakin sedikit bukan? Kau tak adil. Kalau pendidikan dan kemiskinan, itu baru PR pemerintah. Untuk banjir. Itu urusan kita bersama, Din.”

“Dan alasan menikah itu adalah penjara? Itu konyol, Din. Kau lihat Ida, Intan, Ika, Hilma, dan Suci? Mereka masih dan terus menyuarakan apa yang mereka lakukan sebelum menikah. Kau tahu suami mereka? Mereka mengijinkan mereka. Mereka tidak terpenjara seperti yang kau bilang Din.”

“Tapi, Bang.”

“Kau terlalu mengada, Din. Aku tahu kau masih trauma dengan perlakuan Ayahmu kepada Ibumu. Yang suka memukul dan mengekangnya saat di rumah. Dan saat ia harus dipukuli layaknya narapida karena kesalahan yang ia lakukan meski itu tidak sengaja. Dan ia harus meregang nyawa karenanya. Tapi tetap, Din. Kau terlalu mengada.”

Dina terus terdiam. Perlahan air matanya mengalir.

“Aku tahu ketakutanmu, Din. Aku tahu itu. Percayalah.”

Baca juga  Rumah Tak Berjendela

“Kalau Abang tahu, kenapa Abang selalu bertanya kapan Abang bisa bertemu dengan Ayahku yang penjahat itu?”

“Aku ingin kau jujur, Din. Aku ingin kau yang mengatakan langsung hal itu. Aku ingin kau yang jujur tetang itu.”

“Kau jahat, Bang. Itu cara yang mengerikan untuk membuatku jujur.”

“Maafkan aku, Din. Tapi kau harus bangkit. Kau harus membuat ibumu tersenyum di sana.”

“Kau jahat, Bang.”

“Kau tak perlu takut, Din. Setelah menikah, kau bisa terus menyuarakan apa yang ingin kau suarakan. Pendidikan? Kemiskinan? Banjir? Kita akan suarakan bersama. Kau tak perlu takut.”

Dina menatap lekat lelaki yang berada di hadapannya. Ia menatap dengan tatapan yang tak lagi sama seperti biasanya. Kali ini ada keyakinan yang muncul dalam dirinya. Ketakutan akan masa lalu yang mengerikan mulai hilang dalam benaknya.

“Maukah kau menikah denganku, Din?”

Tak ada suara. Hanya anggukan kepala.

***

“Tahukah kau apa yang datang setelah hujan turun?”

“Banjir?”

“Kau terlalu lurus, Din.”

“Jadi apa?”

“Pelangi Cinta.”

“Gombal.” ***

.

.

Bagas Mahardika Purnomo. Penulis aktif bergiat di Forum Lingkar Pena Medan.

.

.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!