Cerpen Fachri Syauqii (Waspada, 12 Juni 2022)
SIANG hari, hujan deras disertai dengan petir yang menggelegar membasahi Kota Medan. Sudah satu minggu ini hujan terus turun tanpa henti, membuat Dewi tidak bisa pergi ke perpustakaan. Ada beberapa tugas kuliah yang harus diselesaikan oleh Dewi mengenai sejarah dan sudah hampir deadline. Dewi kesal dengan dosennya yang memberikan tugas terlalu banyak.
Dewi sangat mager dan bawaannya ingin tidur saja, tetapi kalau tugasnya tidak diselesaikan, maka ia tidak akan lulus mata kuliah sejarah lokal. Akhirnya, Dewi memaksakan diri untuk pergi ke perpustakaan tersebut dengan mengenakan jas hujan agar bisa melindungi dirinya serta laptopnya tidak basah.
Sepanjang perjalanan, banjir sudah mengepung jalan-jalan yang ada di Kota Medan. Beberapa kendaraan ada yang mogok akibat mesinnya yang kemasukan air. Dewi yang terus melaju, percaya bisa melewati rintangan banjir ini. Hampir saja sepeda motornya mogok, ketika sudah sampai di persimpangan jalan, banjirnya sudah tidak terlalu tinggi. Akhirnya Dewi melesat dengan sepeda motornya.
Sesampainya Dewi di depan parkiran perpustakaan, hanya tiga sepada motor yang terparkir, termasuk sepeda motornya Dewi. Hujan yang lebat kemungkinan membuat pengunjung malas untuk ke perpustakaan. Ia pun langsung memasuki ruang perpustakaan. Ia mulai mencari referensi mengenai peristiwa di tahun 1946.
Dewi membuka dan membaca lembaran demi lembaran, menyusuri serta mencatat data-data dan fakta-fakta yang ia temukan. Suasana di ruangan perpustakaan tersebut sejuk sekali, rasa kantuk pun mulai mendatangi Dewi. Kepalanya perlahan mulai menunduk ke meja. Ia pun tertidur.
***
Alunan musik Eropa mulai mengiringi istana kesultanan. Orang-orang berdatangan menghadiri pesta ulang tahun putri sang sultan. Kebanyakan para hadirin yang datang memakai stelan jas ala Barat dengan dasi kupu-kupu. Termasuk seorang tamu terhormat yang hadir adalah Mr. van Dijn bersama istri dan anaknya. Ia merupakan mantan pejabat Belanda di Sumatera, tepatnya sebagai kontrolir. Sultan menyambut hangat kedatangan mereka.
“Selamat datang Mr. van Dijn. Silakan nikmati pestanya.” Sambut sang Sultan.
“Terima kasih, Tuanku.”
“Wah, saya tidak menyangka Mr. van Dijn cepat menguasai Bahasa Indonesia.”
“Tidak sulit mempelajari bahasa kalian, apalagi saya sudah 3 tahun di sini.” Balas Mr. van Dijn dengan senyum sinis.
Sultan dan Mr. Van Dijn pun memasuki istana Kesultanan. Bangunan istana yang begitu megah dengan gaya arsitektur Melayu, Belanda dan Jerman. Konon, sang Sultan mendatangkan arsiteknya langsung dari Eropa. Langit-langit istana yang dihiasi dengan lampu-lampu sangat memanjakan mata yang melihat, dihiasi ukiran-ukiran khas Eropa, ditambah warna kuning dari istana tersebut yang mencitrakan jati diri bangsa Melayu. Terlihat berbagai tamu yang asyik berdansa ala kerajaan dan sebagian lagi ada yang mencicipi makanan yang dihidangkan, baik itu hidangan khas Eropa atau Melayu.
“Silakan duduk Mr dan Ny van Dijn, dan van Dijn jr.”
“Terima kasih Tuanku atas sambutan yang luar biasa ini.”
“Sama-sama mister.”
“Tuanku, tentunya engkau tidak lupa maksud kedatangan saya kemari.”
“Tentu saya tidak lupa mister. Sebentar lagi ia akan keluar.”
Terlihat seorang gadis yang berjalan perlahan dari lantai atas. Parasnya begitu cantik dan jelita apalagi dengan gaunnya yang indah membuatnya begitu anggun. Lekukan wajahnya dengan matanya yang bulat dan pupilnya berwarna coklat disertai alis yang tidak tebal juga tidak tipis membuat Erick van Dijn terpesona melihatnya. Erick yang merupakan anak dari mantan pejabat Belanda itu terus menatapnya turun dengan perlahan dan menuju ke meja Mr. van Dijn.
“Tuan, nyonya dan Mr. van Dijn, perkenalkan ini anak saya bernama Kemuning.”
“Salam Kenal Mr. van Dijn. Semoga anda menikmati jamuan kami.” Sahut Kemuning.
“Ah, ya. Terima kasih. Perkenalkan juga ini anak saya.” Jawab Mr. van Dijn dengan takjub. Mereka berdua bersalaman dan saling menyapa dengan memperkenalkan nama.
“Kapan bisa kita adakan acara pernikahan mereka Tuanku.” Ujar Mr. van Dijn yang sudah tidak sabar untuk membahas topik ini.
“Akan kita segerakan mister. Namun, ada baiknya jika mereka berkenalan lebih dulu untuk beberapa hari. Masalah acara pernikahan, biarlah mereka berdua yang mengambil keputusan.”
“Haha, ide bagus, Tuanku. Kalian cepatlah saling akrab, jangan lama-lama. Saya juga sudah tidak sabar menantikan cucu.”
Sultan dan Mr. van Dijn pun tertawa lepas, seakan mereka adalah orang yang paling bahagia di muka bumi.
“Ayo, Tuanku, kita tos.” Sambut Mr. van Dijn.
Keduanya mengadukan gelas kaca yang mengeluarkan bunyi ‘ting’.
***
Malam yang gelap gulita diiringi dengan suara jangkrik. Beberapa orang pemuda sedang berkumpul di salah satu gubuk reyot yang sudah tidak terpakai lagi. Sebelumnya mereka telah berjanji akan berkumpul di situ, tapi ada satu orang lagi yang harus mereka tunggu, Karyo. Pemuda ini sangat cerdas, bahkan ia digadang-gadang sebagai sosok yang mengikuti jejak Tan Malaka. Karena, kawan-kawannya menganggap ia sangat menentang kolonialis dan imperialis.
Beberapa menit kemudian, dari luar jendela kelihatan seorang yang berjalan di bawah sinar rembulan. Tinggi badannya yang standar orang Asia, dengan badan tegap langsung dikenal oleh kawan-kawannya yang lain bahwa ia adalah Karyo. Ia berjalan sambil menoleh kiri dan kanan, khawatir jika ada mata-mata yang sedang mengintainya. Sesampai di depan pintu gubuk, Sarimin membuka sedikit celah pada pintu dan mengatakan “kata sandinya, kamerad.” Lalu, Karyo segera menjawab “segerakan revolusi.” Pintu pun terbuka, Karyo masuk dan Sarimin segera menutup pintu.
“Bagaimana kawan-kawan? Apa persiapan kita sudah matang?” Karyo memulai pembicaraan sambil menyalakan sebatang rokok.
“Sudah, Bung, malah ketua dari pusat meminta kita semua untuk mempercepatnya. Karena informan kita mengabarkan bahwa target akan berkumpul pada satu perayaan pernikahan tuan putri.” Balas Gareng.
“Kemudian, Bung, kita juga memperluas jaringan kerja sama dengan Haji Waqiah. Beliau mendukung kita dengan massanya untuk segera melakukan revolusi.” Sambung Kosogoro.
“Haji Waqiah yang baru selesai belajar di Mekkah itu ya?” Sambung Karyo di sela-sela percakapan sambil menghisap rokoknya kemudian kepulan asap mengeluar dari hidung dan mulutnya.
“Ya, Bung. Beliau menganggap langkah kita ini sebagai jihad untuk membasmi para Belanda kafir.” Ujar Sarimin.
Selanjutnya, Karyo menjelaskan strategi yang akan dilakukan ketika penyerangan tiba. Ia menjelaskan siapa-siapa saja targetnya, mereka adalah mantan kontrolir Belanda; Mr. van Dijn, mantan Gubernur Jenderal Sumatera; Mr. Groenevelt, termasuk juga sultan dan para pejabat-pejabat istana.
Karyo dan kawan-kawan meyakini bahwa sudah seharusnya kesultanan yang ada di Sumatera ikut bergabung dengan pemerintah pusat. Namun, sultan dan para pejabatnya telah mengkhianati kemerdekaan republik yang selama ini diperjuangkan oleh rakyat. Mereka menganggap tindakan sultan banyak menindas rakyat, seperti tetap memberikan beban pajak dua kali lipat kepada rakyat. Bahkan yang paling menyakiti hati mereka, sultan membuat acara meriah di istananya dan menari-nari dengan riang gembira bersama bangsa yang telah menjajah mereka selama ratusan tahun. Sementara rakyat mengalami penderitaan.
Bahkan ada rumor yang beredar, sultan menolak bergabung dengan pemerintah pusat karena takut seluruh harta kekayaannya diambil alih. Bukan hal yang mustahil kekayaan sultan berupa istananya yang megah, mobil buatan Eropa serta tanah kekuasaan yang luas, tidak akan dinikmati lagi oleh sultan. Alhasil, para sultan yang ada di Sumatera nantinya tidak akan memiliki kedudukan lagi di masyarakat karena mereka hanya sekedar lambang adat, bukan sebagai kepala pemerintahan.
Karena persiapan Karyo dan kawan-kawan yang lain telah matang, mereka cukupi perkumpulan pada malam itu dan kembali ke rumah.
***
Hari yang dinanti telah tiba. Semua menyambut hari ini dengan gembira. Karena ini merupakan hari dimana Kemuning dan Erick van Dijn melangsungkan acara pernikahan. Istana dihias seindah mungkin. Para tamu yang datang tampak begitu antusias, mereka ingin melihat acara akad antara putri dari sang sultan dan putra dari mantan kontrolir Belanda. Acara akad dipimpin bapak penghulu yang dihadirkan oleh sang sultan, dia adalah Haji Moqsit.
Menurut isu yang beredar, Haji Moqsit terkenal dengan sikapnya yang toleran. Bahkan kebanyakan kawannya adalah para pejabat istana. Ia tidak terlalu dekat dengan rakyat karena menurutnya rakyat telah terpengaruh oleh Haji Waqiah yang terlalu ekstrimis. Tapi, ia tidak terlalu ambil pusing asalkan selalu berada di pihak sultan.
Akad pernikahan tersebut berjalan dengan sangat sakral dibawah panduan Haji Moqsit. Setelahnya, barulah para tamu menyantap hidangan dan menari dengan riang gembira. Namun di balik itu semua, mereka tidak tahu ada ancaman yang akan datang. Para laskar pemuda yang dipimpin oleh Karyo mulai bergerak.
Dari luar istana terlihat segerombolan laskar pemuda yang menggunakan kelewang mulai menerobos masuk acara tersebut. Sontak membuat para tamu panik ketakutan. Sebagian ada yang lari dan sebagian lagi mencoba berlindung. Target pertama laskar pemuda adalah keluarga dari mantan kontrolir Belanda, Mr. van Dijn. Dengan kelewangnya, para laskar menyabet Mr. van Dijn dan berseru “mati kau, Belanda.”
Sementara Erick dan Kemuning mencoba menghindar, namun sayangnya mereka telah dikepung. Laskar pemuda memisahkan Ercik dan Kemuning. Ia diseret keluar istana. Kemuning yang melihat pun meneteskan air mata karena Erick dimutilasi oleh para laskar pemuda. Kemuning pun segera mencari ayahnya. Ia melihat seisi istana yang sudah porak-poranda ulah laskar pemuda. Lalu, ia melihat ayahnya juga diseret. Sontak membuatnya kaget.
Haji Moqsit yang dikeroyok oleh para laskar coba untuk melawan. Kemudian, ia paksakan untuk berteriak “apa ini yang diajarkan oleh agama kalian. Membantai manusia. Islam mengajarkan kedamaian.” Kemudian, Haji Waqiah yang mendengar pun menimpali “dasar munafik, anteknya Belanda.”
Haji Moqsit akhirnya disabet oleh para laskar, tubuhnya disabet kelewang kemudian jatuh tersungkur. Bagi Haji Waqiah, siapa saja yang bekerja sama dengan Belanda merupakan anjing penjilat yang juga harus dibinasakan.
Setelah semua laki-laki mereka habisi. Para wanita mereka seret ke sebuah tempat. Para laskar melucuti baju mereka satu per satu. Hal yang tidak diingankan pun terjadi, para laskar pemuda memperkosa wanita-wanita tersebut. Termasuk Karyo yang melihat Kemuning, hasrat seksualnya seketika naik melihat gadis cantik itu.
Karyo pun menyetubuhinya, namun Kemuning bukan tanpa perlawanan. Ia sebisa mungkin menghindarinya, tetapi ia kalah dengan kuatnya Karyo. Karyo merasakan kepuasaan tiada tara seakan melayang ke kayangan karena sudah lama sekali ia tidak melakukannya semenjak istrinya meninggal.
Kemuning pun digilir oleh para laskar pemuda yang lain. Ia mencoba meminta tolong dengan orang-orang yang ada di sekitar, namun semua sibuk untuk menyelamatkan diri. Kemuning tidak berdaya di hadapan para laskar, ia hanya pasrah dengan keadaan di balik tangisannya yang tiada henti.
***
Petir tiba-tiba saja menggelegar dengan begitu kuat, membuat Dewi terbangun dari tidurnya. Setelah membaca beberapa halaman dari buku itu, ia langsung mengetik di laptopnya dalam bentuk laporan penelitian. Ketika perjalanan pulang, Dewi masih saja terbayang dengan mimpinya percis seperti dalam buku yang dibacanya.
Di rumah, Dewi membuka laptop dan menuangkan semua ide yang ada di pikirannya. Apa yang ada didapat harus diungkapkan secara apa adanya. Ia ingat mengenai kata-kata dari dosennya agar menjadi seorang sejarawan jujur, apabila ada kesalahan maka jangan ditutupi, juga apabila ada kebenaran harus diungkapkan.
Dewi sedikit merenung mengenai peristiwa itu dan agak setuju mengenai pergerakan laskar pemuda dalam hal revolusi, tapi di sisi lain, ia tidak setuju dengan tindakan biadab mereka. Sedangkan sultan hanya bisa bersenang-senang dengan kawan Belandanya yang menurut Dewi seharusnya sultan harus berpihak kepada rakyat.
Ia juga menuliskan rasa kekecewaannya terhadap laskar pemuda yang menghancurkan istana-istana kesultanan yang ada di Sumatera. Menurutnya hal tersebut bisa menghilangkan bukti-bukti sejarah. Para generasi yang akan datang pun juga tidak bisa lagi melihatnya, mereka nantinya hanya sebatas mendengar cerita dari para orang tua saja.
Ternyata di balik rasa keterpaksaannya mengerjakan tugas dari dosen, Dewi sadar dan baru mengetahui mengenai tragedi tersebut. Ia berkeyakinan bahwa seharusnya pelajaran sejarah itu seharusnya tidak diperpendek jamnya atau dihapuskan. Ia semakin meresapi kata-kata dari bung Karno “jasmerah” yaitu jangan sekali-kali melupakan sejarah.
“Dewi, makan malam sudah siap,” teriak ibunya dari luar kamar Dewi.
“Iya bu, sedikit lagi.”
Dewi masih ingin melanjutkan penelitiannya mengenai peristiwa yang terjadi di kesultanan. Ia tertarik untuk mewawancarai korban yang tersisa dari tragedi 1946, tentunya akan direncanakan terlebih dahulu. Tentu bukanlah hal yang mudah, mengingat mereka pasti terkena traumatik yang kemungkinan berjangka panjang.
Lalu, ia menghela nafas panjang dan menutup laptopnya. ***
.
1946. 1946. 1946. 1946. 1946. 1946. 1946. 1946.
Leave a Reply