Cerita Remaja, Khoirunnisa Habib, Waspada

Stasiun Terakhir (2)

Stasiun Terakhir (2) - Cerpen Khoirunnisa Habib

Stasiun Terakhir (2) ilustrasi Istimewa

3
(1)

Cerpen Khoirunnisa Habib (Waspada, 12 Juni 2022)

ALARM pagi ini berdering seakan ingin membangunkanku dari mimpi tentang masa lalu.

Pada tahun lalu dimana kami masih sering bertegur sapa baik secara online maupun offline, setiap harinya tak jenuh-jenuh menampakkan muka satu sama lainnya.

Pada waktu itu tepat pukul 06.00 WIB, ponsel ku berdering menandakan panggilan masuk darinya yang tak bosan mengganggu dan bertanya setiap aktivitas yang kulakukan.

“Halo, iya ada apa?” Tanyaku ketus karena kesal pagi-pagi sudah ada saja yang mengganggu.

“Assalamualaikum terlebih dahulu lah, Nasya sudah bangun? Apa sudah makan? Pagi-pagi begini mukamu kok lesu gitu?”Jawabnya melihat layar kamera mencoba menggodaku.

“Waalaikumsalam. Ya, udah bangunlah makanya bisa angkat telepon, gimana mau makan, pagi-pagi udah ada aja yang mengganggu,” kujawab dengan santai tanpa belas kasihan.

“Astaghfirullah, awak dibilang pengganggu ya? Ya sudah cepatan mandi sana kalau tidak sempat makan nanti kubelikan saja di kantin depan kampus, masih ingat ‘kan hari ini kita satu kelas ada agenda menjenguk dosen favorit kita ke Binjai. Ayo cepatan perginya biar tidak kemalaman kita pulangnya,” sambutnya dengan kelembutan membalas sikapku yang cuek.

Pada hari itu aku dan kawan satu kelas ada agenda menjenguk dosen favorit kami yang mengalami kecelakaan hebat di jalan Binjai tak jauh dari rumahnya. Kala itu pertama kalinya aku berpergian jauh tanpa orang terdekat yang kukenal.

Di waktu itu aku masih baru beradaptasi dengan teman-teman kampus dikarenakan baru beberapa bulan kami bersama.

Dengan keberangkatan pukul 13.15 WIB menggunakan KA. Sri Lelawangsa Medan-Binjai. Aku, dia, dan teman-teman yang lain duduk saling berhadapan. Tidak terasa pukul 13.47 WIB menunjukkan waktu pemberhentian kami dan akhirnya kereta api pun berhenti di stasiun bersejarah itu.

Baca juga  Lemari Tua

Di ujung jalan ada tempat bermain anak-anak, aku melihat ada seorang anak kecil merengek pada kakaknya untuk mendorong ayunan yang digunakan.Aku berniat untuk menghampiri dan membantu anak kecil tersebut. Berhubung aku sangat suka dengan anak kecil. Jadi sembari menunggu teman-teman lainnya yang menggunakan sepeda motor datang, kami pun istirahat di sana.

Aku menggendong anak kecil tadi lalu meletakkannya di pundak, namun anak itu nyaris terjatuh, dia tiba-tiba datang dengan sigap menunggu di bawah lalu menggendong anak itu supaya tidak jatuh ke tanah. Tanpa disadari sedari tadi kami menjadi bahan perhatian teman-teman lainnya.

***

Setelah makan dan shalat bersama di Masjid Agung Binjai kami pun melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 14.30 kami sampai di rumah dosen tersebut. Setelah bersilaturahmi dan mendengarkan kronologi dari kecelakaan yang beliau alami, tepat pukul 16.40 kami meminta izin untuk pulang mengingat ada jadwal keberangkatan kereta Binjai-Medan yang harus kami kejar agar tidak kemalaman pulang.

Di stasiun kereta api semua rombongan sudah mulai berjalan dengan cepat, tetapi tiba-tiba ada yang menarik tasku hingga aku terdorong ke belakang. Sehingga hal tersebut membuatku jengkel.

“Siapa yang menarik tasku!” Tegasku sambil menoreh ke belakang, tetapi yang kutemui hanya dia dan Melati temanku.

Melati menggunakan isyarat menunjuk pelakunya adalah dia. Aku pun semakin kesal, maka langsung ingin kubicarakan dengan lantang, tapi sebelum mulutku terbuka dia menyela perkataanku.

“Aku yang menariknya, udah pelan-pelan saja kita jalannya, nanti tersungkur kalau jalannya cepat-cepat,” selanya memberi alasan.

Ketika kami berbicara, obrolannya selalu berhasil membuatku tertawa lepas dan tidak menyadari bahwa sudah ketinggalan jauh dari teman-teman lainnya. Hanya saja masih terngiang di imajiku perkataan di hari itu di tengah stasiun kereta api. Ketika dari kejauhan sudah mulai terdengar peluit lokomotif.

Baca juga  Bambu-Bambu Menghilir

“Nasya lihat ke sini!” Serunya memanggilku yang tepat di belakangnya.

Ckrek!

Dia memotret diriku tertawa lepas akibat perilakunya. Aku sontak berucap, “Eh apaan dirimu memotretku tanpa izin.”

“Kamu dengar tidak suara peluit lokomotif itu, bentar lagi kereta api mau berangkat. Lihatlah yang lain sudah pada sampai di stasiun. Aku tinggal kamu ya!”

“Jangan tinggalkan aku, Nas. Aku tak mau jauh darimu, aku masih ingin selalu melihatmu tersenyum dan tertawa seperti tadi,” jawabnya sambil berlari mengejarku.

Sontak perkataannya membuatku terdiam, tapi dengan sigap ditariknya tanganku berlari karena tepat di belakang kami sudah ada kereta api menampakkan wajahnya untuk berhenti dan beristirahat.

Sejak hari itulah aku dan dia dekat tapi tidak ada ikatan. Dia selalu setia mengganggu hari-hari ku, memberiku bantuan jika butuh, memberikan sebuah lagu, sholawat, dan bacaan Al Quran yang dibacanya sendiri di dalam voice note WhatsApp sebelum tidur.

Namun, beberapa bulan kemudian pesan masuk darinya di hari itu membuat hatiku bercampur lebur. Ketika kubaca dia akan jauh dariku, dia tak akan bisa melakukan ritual-ritual unik yang selama ini dilakukannya beberapa bulannya.

“Nasya aku mohon maaf ya jika selama ini selalu membuatmu terganggu, jika selama ini membuatmu marah dan kecewa padaku. Tapi Alhamdulilah mulai dari sekarang mungkin aku tidak bisa menggangumu lagi,” ucapnya.

“Kenapa? Emangnya kamu mau kemana? Ke alam kubur ya?” Jawabku sambil bercanda.

“Aku serius, Nas. Aku disuruh orang tuaku melanjutkan studi ke Mesir, jadi aku harus mempersiapkan diri dengan mondok di Yogyakarta. Jadi mulai besok kayaknya aku sudah tidak bisa bertemu dengan kalian lagi. Jaga dirimu baik-baik ya, Nas dan jangan lupa selalu bahagia. Oh iya ada kado kecil untukmu di laci tempat biasa kamu duduk. Semoga kamu suka dan ingat padaku ya, Nas. Assalamualaikum salam hangat dariku yang menginginkan senyum indah di wajah mu,” pesan terakhirnya meruntuhkan segala suasanaku hari itu.

Baca juga  Preman Simpang Amaliun

“Waalaikumsalam. Jaga dirimu baik-baik ya! Aku akan selalu merindukanmu.”

Aku membalas pesan voice note WhatsApp-nya dengan suara parau. Lalu kuambil bantal dan guling untuk menutupi tangisan.

Aku sudah mulai nyaman dengan keberadaan, perilaku, dan suaranya untuk pengantar tidurku. Mengapa harus tiba-tiba berpisah? Tanpa ada perjumpaan terakhir, aku sudah terlalu keras dengannya. Aku ingin bicara bahwa aku udah terlanjur nyaman. Kenapa langsung ditinggal? Tidak lama setelah itu ponselku berdering. Pesannya masuk berupa foto. Ya foto waktu kami berdua di stasiun kereta api kala itu. Hanya itu dan kado kecilnya yang dia tinggalkan menjadi kenangan indah untukku.

Kini hidupku berjalan dengan apa adanya, tanpa canda dan tawa seperti dulu. Lukaku perlahan-lahan sembuh lewat waktu dan dukungan keluarga. Mungkin dia ingin bertemu ketika kami sudah sama-sama sukses. Hanya saja hatiku masih tetap tidak bisa menerima kedatangan kembali bagi siapa saja setelah kepergiannya.

Selamat jalan teman. Semoga apa yang kamu cita-citakan bisa tercapai semuanya.

Hanya itu doa yang kukirimkan kepadamu lewat angin yang melintas syahdu. Lewat hujan kutitipkan rindu akan kehadiranmu. ***

.

.

Khoirunnisa Habib. Penulis merupakan Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU). Berliterasi lewat Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Medan.

.

Stasiun Terakhir (2). Stasiun Terakhir (2). Stasiun Terakhir (2). Stasiun Terakhir (2).

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!