Cerpen, Radar Mojokerto, Zeliee Aery

Harapan Nenek

Harapan Nenek - Cerpen Zeliee Aery

Harapan Nenek ilustrasi Radar Mojokerto

3
(6)

Cerpen Zeliee Aery (Radar Mojokerto, 12 Juni 2022)

DI pertengahan video, aku beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman. Saat menuruni anak tangga, terlihat ayah dan ibu sedang duduk di ruang tamu. Suasananya suram, terdengar samar suara ritihan wanita. Karena penasaran aku pun menghampiri mereka, hendak bertanya apa yang sedang terjadi.

Ketika duduk di samping ibu, dia tiba-tiba merangkul dan tangisannya menjadi-jadi. Melihatnya menangis membuatku sedih.

“Ada apa, Bu? Kenapa ibu menangis?”

“Nenekmu Jess. Nenekmu sudah tiada!”

Mendengar hal itu, aku hanya bisa terdiam membeku. Banyak pertanyaan yang muncul dibenakku.

Seketika ingatan bersama nenek terputar kembali, membuatku tak kuat menahan tangis.

***

Paginya kami sekeluarga bersiap-siap pergi melayat dan berencana menginap beberapa hari. Tiga jam perjalanan tak terasa sudah sampai desa. Jalan desa sangat sempit hanya bisa dilewati satu mobil. Terlihat becek sepertinya kemarin malam hujan deras.

Di pemakaman banyak sekali warga mengerumuni makam nenek. Nenek, kepala desa di sini, tak heran banyak warga yang datang member penghormatan terakhir. Di sisi lain terlihat ibuku sedang menangis histeris, ia terus mengucapkan kata, “Emak!”

Tak tega melihatnya menangis, aku dan adikku berusaha menenangkan. Rian dengan lembut mengusap air mata ibu dan berkata agar mengikhlaskan kepergian nenek, padahal ia sendiri tak kuat menahan kesedihan.

Seusai pemakaman kami kembali ke rumah nenek. Sesampainya di sana, tiba-tiba ada yang ingin kakek sampaikan. Ia pun mengambil secarik kertas di dalam saku dan memberikannya pada ayah.

Lalu lelaki itu membacakan isi surat.

.

Teruntuk: anakku tercinta,
Emak merasa tidak memiliki waktu lama lagi, dengan ini emak minta satu hal padamu. Desa ini butuh pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab, jadi kurasa ada satu orang yang cocok untuk menjadi penerusku. Cucu pertamaku Jessie adalah orang yang tepat dalam hal ini. Aku berharap dia bias melanjutkan perjuanganku menjadi kepala desa yang baik dan bijak.
Dari emakmu, Tiana.

.

Dengan spontan aku menjawab;

Baca juga  Mei 1998

“Nggak! Aku nggak mau jadi kepala desa! Kenapa nggak Rian aja sih? Dia kan laki-laki!”

“Tapi ini wasiat nenekmu, Nak! Apa kamu mau dia nggak tenang di atas sana?” jelas Ibu.

“Pokoknya nggak mau! Semua temanku ada di kota, aku nggak mau meninggalkan mereka!”

“Kak, soal teman bisa dicari. Nenek hanya ingin satu hal dari kita. Apa kakak nggak mau memenuhi permintaan terakhirnya? Kasihan nenek, Kak. Dia sangat percaya padamu!” jawab Rian.

Sampai di sini pikiranku mulai kacau, aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku bingung harus bicara apa. Aku tidak bisa mengurus desa ini, aku hanya akan merusak segalanya dan mencemari nama baik nenek.

“Kalian nggak akan tau apa yang aku rasakan. Semuanya nggak pernah ngertiin perasaanku! Aku pergi aja!”

“Hei! Jessie! Kamu mau kemana! Jangan kabur!” teriak ibu.

“Shh…sudahlah, Nak. Nanti dia juga akan kembali. Dia masih remaja, dia butuh waktu untuk memikirkannya.”

***

Aku berlari kencang tanpa arah, air mulai mengalir dari mataku. Perasaanku campur aduk, sedih kecewa dan marah. Aku merasa bersalah telah membentak ibu, tapi aku tidak ingin pulang.

Saat sampai di dekat pendopo desa, aku menabrak salah satu gadis hingga dia terjatuh.

“Maaf! Aku tidak sengaja,” ucapku sambil mengulurkan tangan.

“Iya nggak apa-apa kok,” jawabnya meraih tanganku.

“Eh, kamu kenapa? Kamu habis menangis?”

Warga sekitar mulai melihatku, tatapan mereka benar-benar mengintimidasi. Aku hanya bisa menghapus air mataku. Melihatku menangis, gadis itu dengan cepat meraih tanganku dan mulai berlari. Aku sudah bertanya berkali-kali tapi tak dijawab.

Gadis itu membawaku ke atas bukit, dari sana terlihat pemandangan desa nenek dan matahari terbenam. Ada sebuah karpet berwarna hijau di tanah bukit, tempat bersemadi atau berkumpul, kami pun duduk di atasnya.

Baca juga  Kota Livia

“Ini adalah tempat kesukaanku, kamu bisa mengeluarkan seluruh kesedihanmu di sini. Tidak akan ada yang tahu tempat ini kecuali kita berdua,” ucapnya.

Aku hanya bengong, tak bersuara sama sekali. Aku mengingat tatapan warga desa, aku benar-benar takut dipandang buruk oleh orang lain. Tiba-tiba gadis itu menyanyikan lagu khas desa ini yang biasanya nenek nyanyikan untukku. Suaranya merdu sekali membuat kesedihanku menguap.

Selesai menyanyikan beberapa lagu, dia pun terdiam sejenak. “Aku dulu juga begini, merasa seluruh orang tidak adil padaku. Rasanya sakit, ya,” ucapnya.

Aku kaget bukan main. Bagaimana dia bisa tahu masalah yang sedang kuhadapi?

“Tapi aku tahu kamu itu kuat, Jess, maka dari itu aku memilihmu.”

Suara yang tadinya kecil tiba-tiba menjadi agak serak. Kabut pun menyelimutinya, seketika muncul nenek tua di balik kabut itu yang tak lain dan tak bukan adalah nenekku

“Seingatku kamu tidak cenggeng. Apa ini terlalu berat untukmu?” ucap nenek.

“Nenek! Jessie nggak tau apa yang harus Jessie lakukan. Mengapa nenek memilih Jessie bukan Rian? Nenek kan tahu, sifatku lebih buruk darinya,” kataku tersedu-sedu.

“Apa kamu pikir nenek akan membiarkan desa ini hancur? Kamu adalah orang yang tepat Jess, desa kita butuh orang yang berpendirian teguh.”

“Kamu pasti mau desa ini jadi lebih baik, aku tahu itu. Dari kecil kau tertarik dengan kebudayaan desa ini, aku yakin jika kamu yang memimpin, maka desa kita akan jauh lebih sejahtera,” lanjutnya.

Kata-kata nenek membuat semangatku menyala, ada kemauan untuk memajukan desa ini, mengingat banyak hal menyenangkan yang diberikan desa ini termasuk kenangan indah. Keputusanku jadi bulat, aku ingin membina desa ini ke jalan yang benar dan menjadi pemimpin sekeren nenek.

Baca juga  Nelayan Muara

Aku memeluk nenek lalu berlari menuju ke rumah. Wanita itu hanya tersenyum dan melambaikan tangan sambil perlahan memudar, saat aku menoleh ke belakang.

***

Rumah itu memang agak jauh dari bukit tadi, letaknya di dekat hutan dan di samping tempat berdoa kepada leluhur. Warna biru dongker terlihat dari kejauhan.

Semuanya sudah menunggu dan menyambut kedatanganku dengan bahagia. Aku pun memeluk mereka, menangis histeris dan berkata;

“Maafkan aku semua, telah membentak kalian. Aku bersalah. Tadi aku salah paham ke kalian semua. Aku tidak ada niat untuk membentak kalian dan membuat kalian khawatir,” ucapku tersedu-sedu.

“Iya nggak papa Jess, maaf ya ibu sudah memaksamu jadi kepala desa.”

“Nggak apa-apa kok, Bu, aku sudah membuat keputusan. Aku akan menjadi kepala desa terbaik yang pernah ada,” jawabku sambil tersenyum.

“Nah gitu dong, Kak, senyum. Jangan nangis mulu, nanti cantiknya hilang loh,” goda Rian.

“Ah, kamu bisa aja, Yan.”

Kami sekeluarga pun tertawa dan bahagia bersama. ***

.

.

Tarik, 27 Januari 2022

ZELIEE AERY. Siswa SMPN 9 Mojokerto, suka menulis dan membaca cerita fantasi, supranatural, komedi. Suka menggambar karakter fiktif. Pernah mengikuti lomba menulis cerpen kategori SMP “U-Fest” yang diadakan Ubaya.

.

Harapan Nenek. Harapan Nenek. Harapan Nenek. Harapan Nenek.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!