Cerpen, Dody Widianto, Radar Kediri

Semerah Cinta, Sebiru Rindu, Sehijau Namamu

Semerah Cinta, Sebiru Rindu, Sehijau Namamu - Cerpen Dody Widianto

Semerah Cinta, Sebiru Rindu, Sehijau Namamu ilustrasi Afrizal Saiful Mahbub/Radar Kediri

3.3
(4)

Cerpen Dody Widianto (Radar Kediri, 12 Juni 2022)

IA baru saja selesai melakukan sembahyang Tri Sandhya ketika sepasang mata di kejauhan terus memerhatikan gerak-geriknya. Berusaha membersihkan bagian depan pura dari dedauan dan bunga kamboja kering yang bergelimpangan dengan sapu lidi di tangannya.

Seperti arti namanya, perempuan yang ditakdirkan mendapatkan kelimpahan rezeki dan berkat dari Bathara Sri itu awalnya merasa risih dengan pandangan yang terus menatapnya curiga.

Seorang lelaki dengan celana panjang abu-abu yang senada warnanya dengan kemeja yang dikenakannya telah berdiri di depannya dengan tiba-tiba. Rambut klimis tersisir rapi dengan dagu yang terlihat kaku.

“Sudah sebulan saya mengajar di sini dan baru bertemu denganmu. Terkadang saya juga mengajar menari di sekitaran pura tempat ini. Namun, rasa-rasanya kita baru berjumpa. Siapa namamu?”

Perempuan di depannya menatapnya lugu, terdiam malu.

“Oh, maafkan kelancangan saya. Perkenalkan, saya Soekemi. Saya dari Kediri. Kebetulan Dewan Pengajaran dari Sekolah Gubernemen meminta saya untuk mengajar di sini. Saya malah baru tahu keindahan tanah para Dewata baru-baru ini. Sekali lagi mohon maaf. Siapa namamu?”

Uluran tangan lelaki di depannya dibalas dengan anggukan santun. Buru-buru dua telapak tangan ia satukan di dada. Gemetar membuatnya menjatuhkan sapu lidi. Sigap, mereka berdua buru-buru menunduk, berjongkok, lalu dua tangan memegang sapu lidi yang sama. Pandang empat mata tiba-tiba saling menembus dalam dada ketika perlahan mereka berdua bangkit.

“Saya Ida Ayu. Rumah saya tak jauh dari sini. Di belakang pura ini, kelewat dua rumah, anak Nyoman Pasek.”

Soekemi malah terdiam. Hatinya bergejolak. Darah mudanya memberontak. Belum pernah sekali pun ia bertemu wanita yang bisa meruntuhkan dinding hatinya.

Dulu, ia pernah dipertemukan temannya seorang perempuan anak Demang. Namun, ia tak punya rasa apa-apa. Kali ini, entah kenapa perempuan di depannya begitu berbeda. Paras ayu alami dengan senyum sesejuk embun pagi. Perempuan lugu yang tiba-tiba membuatnya jatuh hati.

Baca juga  Pohon Matoa Itu Pemberian Bupati

Pertemuan awal yang sederhana itu membuat Soekemi selalu datang ke pura setiap sore sepulang mengajar di sekolah. Duduk di depan pura sambil berbincang ringan menemani Ida Ayu membersihkan halaman depan tempat sembahyang.

Melihat wajah Ida Ayu dari jarak lima langkah begitu memesona terkena bias jingga sinar senja di antara bayangan menara-menara pura. Ida Ayu malah terlihat malu dan terus menyembunyikan wajahnya dengan memunggungi Soekemi. Ia terus saja salah tingkah.

Awalnya Ida Ayu sempat ragu mengingat Soekemi adalah orang Jawa. Baru datang ke pulau ini dan belum tahu seperti apa keluarganya dan di mana rimbanya.

Ida Ayu paham betul dirinya adalah gadis pura. Selayaknya menjaga adab di depan lelaki yang baru dikenalnya. Namun, melihat kepribadiannya yang santun dan ramah, diam-diam Ida Ayu juga menaruh rasa yang sama dalam dada.

Ketika dua manusia remaja berlainan jenis bertemu dan merasakan hal yang sama, apalagi kalau bukan bernama cinta. Gayung pun bersambut dan gerbang pernikahan adalah muaranya.

Soekemi meminta izin ke orang tua Ida Ayu untuk meminta restu, tetapi jatuh cinta memang tidak selalu berjalan sempurna. Ida Ayu adalah keturunan ningrat kasta Brahmana. Soekemi bukanlah orang yang tepat. Orang tua Ida Ayu meminta maaf dan tak bisa menerima pinangan Soekemi. Dada Soekemi terasa sesak. Ia pulang sambil berusaha menahan kekecewaanya.

Ia tahu jatuh cinta memang butuh perjuangan, tetapi perbedaan adat ini sempat membuat putus asa Soekemi. Beruntung ia punya seorang sahabat yang selalu menasihatinya.

Seperti tradisi yang sudah-sudah, sahabat baik Soekemi menyarankannya untuk kawin lari. Awalnya ia ragu menerima saran ini. Takut jika apa yang dilakukannya malah menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari. Namun, jika Ida Ayu benar-benar mencintai Soekemi, upacara Gandarwa Wiwaha bisa saja dilakukan jika pernikahan itu memang berlandaskan cinta dan mengharap kebaikan. Begitu kata sahabatnya terus meyakinkan.

Baca juga  Teror Kenapa

Ida Ayu dan Soekemi akhirnya melangsungkan pernikahan di rumah sahabatnya. Satu orang perwakilan diutus untuk memberitahukan pernikahan mereka kepada orang tua Ida Ayu.

Mendengar berita itu, warga di sepanjang pesisir Buleleng gempar. Orang tua Ida Ayu memastikan kebenaran dan buru-buru mendatangi rumah sahabat Soekemi dan bermaksud mengambil anak perempuannya.

Sahabat Soekemi yang juga seorang polisi melarangnya. Alasannya, Ida Ayu dan Soekemi sudah dalam perlindungannya. Mereka telah menikah atas dasar rasa cinta dan tak layak diambil paksa.

Buntut panjang dari permasalahan itu akhirnya dibawa ke pengadilan. Ida Ayu terus diinterogasi perihal Soekemi. Berkali-kali ia bilang jika ia menikah tanpa paksaan dari Soekemi dan murni dari rasa cinta.

Akhir dari perjuangan itu akhirnya Ida Ayu dipaksa membayar denda sejumlah yang tertera. Ia terpaksa melepas kasta Brahmana. Ia dianggap telah melawan dan tidak diperkenankan untuk membawa perhiasan atau pakaian dari pihak keluarganya.

Ada kepedihan mendalam yang dirasakan Ida Ayu saat itu. Namun, ia merasa bahwa semua yang terjadi atas karsa Hyang Widhi.

Beberapa hari setelah pernikahan itu berlangsung, Soekemi merasakan seperti mendapat perlakuan berbeda dari warga sekitar. Tutur kata yang sopan dan sikapnya yang seolah selalu ia jaga terasa luntur di mata warga setelah mereka tahu ia seperti seorang pencuri. Mengambil paksa gadis tanah Dewata dengan paras yang tak terkata-kata.

Ia merasa dibenci. Hal itu ia utarakan pada Ida Ayu dan bermaksud mengajaknya pindah ke Jawa.

Ida Ayu menurut. Sama saja baginya di mana pun berada asal bersama suaminya.

Di Surabaya awal mereka berpindah tempat, di situlah anak pertama mereka lahir. Seorang bayi laki-laki dengan tubuh bulat gempal sehat dan panjang di atas rata-rata.

Baca juga  Anak-Anak Rimba

Sepanjang masa tumbuh kembangnya, Ida Ayu sering menceritakan pada anak laki-laki tersayangnya tentang buyutnya yang pernah berjuang melawan penjajah di Puputan, tentang kisah cinta masa muda bersama ayahnya yang dianggap terlarang oleh keluarganya, juga tentang hiruk pikuk keadaan negeri tercinta saat itu. Tertatih melawan penjajah, banyaknya kemiskinan, dan susahnya mengentaskan kebodohan.

Dalam pangkuan, bocah yang baru berumur empat itu mendapatkan ciuman berulang di pipi kanan dan kiri. Sejatinya ia belum begitu paham perkataan ibunya, tetapi ia begitu antusias mendengarkan semua cerita lalu melihat pelupuk mata ibunya tiba-tiba menggenang.

“Engkau adalah anak suputra yang begitu kurindukan. Begitu dulu aku sering berdoa dan meminta pada Hyang Widhi saat kau masih dalam proses penciptaan. Bagaimanapun, aku dan ayahmu menjalin cinta yang suci dan berdasar atas kehendak Hyang Widhi. Besar nanti, aku ingin kau bisa mengabdi pada negeri. Buatlah semua manusia di negeri ini merasakan keadilan yang sama agar namamu selalu abadi. Lepaskan negara ini dari belenggu penjajah. Aku sangat berharap padamu, Soekarno. ***

.

.

Dody Widianto. Penulis lahir di Surabaya. Karya cerpennya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional. Bisa ditemui IG: @pa_lurah.

.

Semerah Cinta, Sebiru Rindu, Sehijau Namamu

Semerah Cinta, Sebiru Rindu, Sehijau Namamu

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. raf

    kalau ini benar mengarah ke riwayat Bung Karno, perlu diluruskan beliau bukan anak pertama Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai. Bung Karno punya seorang kakak yang bernama Soekarmini

Leave a Reply

error: Content is protected !!