Cerpen T Agus Khaidir (Media Indonesia, 19 Juni 2022)
CIK Munah meninggal dunia dan Wak Zainuddin Tambi menerimakan ucapan belasungkawa dari para kerabat dan tetangga dengan tampang lusuh. Wajahnya yang legam bertambah kusam dan kepada tiap-tiap yang datang dia menyesalkan kematian istrinya.
“Begini jadinya kalau kurang ilmu dan rendah iman. Dalam agama sudah terang. Orang mati lantaran bunuh diri, Allah tutup pintu surga untuk dia.”
***
Cik Munah tidak tahu persis berapa usianya. Ia pernah bilang, menurut ibunya, persis di hari kelahirannya, masjid di sebelah rumah mereka sedang ramai oleh warga yang menggelar pengajian 1 Muharam. Petunjuk lain, Cik Munah ingat, saat radio transistor di kedai kopi yang terletak persis bermuka-muka dengan lapak berjualan ibunya menyiarkan kabar bahwa di Jakarta telah terjadi upaya kudeta yang gagal, dia sedang bermain Alip Cendong dengan sejumlah kawannya. Masih seru sekali, dan tiba gilirannya bersembunyi. Namun, permainan bubar lantaran ibunya buru-buru menutup kedai dan mengajaknya pulang.
Kepada kami, Cik Munah bilang waktu itu ia baru kelas satu atau mungkin kelas dua sekolah dasar. Belum mengerti kenapa setelah kabar tersiar banyak orang yang tidak dikenalnya datang ke rumah mereka mencari paman dan bibinya sembari berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Sama sekali belum paham perihal ‘P’, ‘K’, ‘I’, dan kenapa tiga huruf serangkai ini tiba-tiba jadi menakutkan bagi banyak orang, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.
Sampai di sini gambaran tahun sudah mulai terang. Jika pada gonjang-ganjing 1965 Cik Munah duduk di kelas satu, atau kelas dua, mungkin ia lahir 1958 atau 1959. Tanggalnya? Agak sulit lantaran peringatan Tahun Baru Islam tak selalu diselenggarakan bertepatan dengan jatuh harinya. Begitu pun Cik Munah akhirnya mendapatkan angka-angka itu untuk kepentingan data kependudukan. Angka-angka kompromi: 17 Agustus 1960.
Tiap ada yang bertanya, Cik Munah selalu tertawa.
“Ah, pandai-pandai orang kelurahan. Supaya gampang. Apalah juga artinya angka-angka itu, kan? Daripada tak dapat KTP,” ujarnya.
Jadi, katakan sajalah begitu. Dengan demikian, sampai saat ditemukan tergantung dengan leher terjerat tali timba yang disangkutkan di langit-langit kamarnya, usia Cik Munah 60 jalan 61. Kira-kira enam bulan sebelumnya dia mengadu kepada ibuku. Cik Munah hamil, dan di rumahnya, kabar yang seharusnya membahagiakan ini justru disambut sebaliknya.
“Suamiku marah, Kak. Dia malu dan salahkan aku. Sudah bercucu, kok, masih beranak kecil. Dia tanya kenapa aku bisa hamil. Eh, manalah aku tahu. Kau tanyalah sama Tuhan, kubilang. Kalau Tuhan mau, jangankan aku, dia pun bisa hamil,” ucap Cik Munah.
Ibuku tertawa. Aku juga. Pun sejumlah orang yang sedang berbelanja di kedai kami saat itu. Apa boleh buat. Lidah cadel Cik Munah membuat dia tak sempurna melafalkan beberapa huruf, terutama sekali ‘r’ dan ‘s’. Huruf ‘r’ akan selalu terdengar seperti ‘el’ atau ‘els’, atau kadang-kadang malah ‘erk’, mirip suara orang tercekik. Adapun ‘s’ lebih kedengaran sebagai ‘ets’, atau ‘tse’. Selain itu, tempo bicara Cik Munah cenderung cepat.
Andai kami tahu kehamilan betul-betul menyiksanya, tentu kami tak akan tertawa. Tentu kami akan menghiburnya, atau memberi nasihat-nasihat yang melegakan hatinya.
Belakangan kami juga tahu, bukan cuma Wak Zainuddin, keempat anak Cik Munah pun bersikap serupa. Ini yang membuatnya makin terpukul.
“Sulungku mula-mula ketawa, Kak. Dipikirnya aku main-main. Namun, kemudian dia terdiam agak lama, terus bilang, ‘Kalau Mamak beranak lagi, berarti adikku akan lebih muda daripada anakku. Agak lucu juga, Mak, ditengok orang’. Intinya, dia sebenarnya malu juga, Kak, cuma agak dihaluskannya kata-katanya. Anakku yang lain pun begitu. Terutama si Sadat. Sampai menangis aku dia bikin,” kata Cik Munah.
Anwar Sadat, bungsu Cik Munah, memang bersuara lebih keras daripada abang dan kakak-kakaknya. Dia mendesak Mak Len menggugurkan kandungan.
“Sedih betul kurasa, Kak. Sampai hati dia bilang begitu. Bagaimanapun ini tetap adiknya, kan? Tapi, apa bisa kubuat? Semua sepakat menganggap kehamilanku ini aib keluarga.”
Cik Munah akhirnya mengalah. Dua bulan lalu dia datang kepada ibuku, minta ditemani ke rumah Mak Len, bidan yang diyakininya bersedia menggugurkan kandungannya. Selain masih bertalian saudara, bidan inilah juga yang membantu kelahiran anak-anaknya. Namun, perkiraannya keliru. Mak Len menolak. Janin dalam perut Cik Munah disebutnya sudah tumbuh, bahkan sudah bergerak, dan oleh sebab itu, menggugurkannya berarti sama dengan melakukan pembunuhan.
Cik Munah kesal. “Betul yang dibilangnya itu. Aku tahu. Aku bukan anak belasan tahun yang hamil luar nikah, Kak. Aku perempuan hampir tua beranak empat yang entah macam mana bisa hamil lagi,” ujarnya.
Cik Munah beralih ke dukun beranak. Dukun pertama menolak. Pun yang kedua dan ketiga. Dukun keempat, lelaki berjanggut pirang dikepang, berambut panjang, mengenakan anting di kedua telinga dan cincin akik besar-besar pada enam jarinya, memberi Cik Munah ramuan entah apa yang luar biasa busuk baunya untuk diminum satu gelas tiga kali sehari, yakni setelah kencing pertama di pagi hari, sebelum makan siang, dan menjelang tidur.
Ibuku sebenarnya sudah mewanti-wanti. Dukun ini bukan dukun beranak. Reputasinya buruk. Sejumlah koran pernah menerbitkan berita perihal tindak-tindak kriminal yang dilakukannya. Namun, Cik Munah agaknya sudah nekat. Ia tak peduli. Diminumnya ramuan itu sampai tandas. Hasilnya seperti sudah diperkirakan ibuku. Janin tak gugur, justru berat tubuhnya melorot. Dari 83 kg ke 61 kg. Sejak minum ramuan dia mengaku kehilangan selera makan.
Seiring dengan itu Cik Munah juga mendengarkan saran-saran. Diminumnya air tapai ketan, soda, dan santan durian. Ditelannya entah berapa banyak pil dan jamu terlambat datang bulan. Bahkan saran-saran aneh dan tolol, semisal makan semir sepatu merek tertentu atau tidur dalam posisi menelungkup, juga dilakukannya. Pendek kata, Cik Munah mendengar dan melaksanakan semua saran. Kecuali satu. Saran Pak Gelowo, pemilik kedai penyewaan buku di depan pasar yang kembang-kempis lantaran makin sepi pengunjung.
Pak Gelowo bercerita kepada Cik Munah tentang Aloysius dan Crystal Lil Binewski, pasangan pemilik sirkus keliling dalam novel berjudul Geek Love. Tatkala penonton pertunjukan mereka turun, Al dan Lil melakukan cara yang sungguh tak terbayangkan oleh siapa pun untuk mendapatkan bintang-bintang baru. Mereka memproduksinya sendiri.
Anak pertama, laki-laki, sebangsa amfibi bersirip. Anak kedua (dan ketiga) perempuan kembar siam jelita. Anak keempat bongkok albino dan kerdil—seorang perempuan yang diberi nama Olympia dan bertindak sebagai narator. Adapun si bungsu lelaki berwajah tampan dan punya kemampuan layaknya superhero komik.
Anak-anak ini, sebut Pak Gelowo, dilahirkan tak normal lantaran saat Lil mengandung, Al mencekokinya dengan ganja, heroin, larutan radioaktif, dan zat-zat kimia lain, bahkan oli kotor dan air yang telah tercemar oleh kuman dan bakteri.
Percobaan Al tidak selalu berhasil. Sebelum Lil melahirkan kelima anak ajaib tersebut, berkali-kali kehamilannya gagal. Ada yang tidak sempat berkembang. Ada juga yang lahir, tapi kemudian mati. Sekali dua kali, ada bayi yang lahir sempurna dan mereka membunuhnya.
“Kurasa memang sudah gila Pak Gelowo itu, Kak. Kebanyakan baca buku tak jelas. Kebanyakan mengkhayal. Aku mau gugurkan kandunganku supaya suami dan anak-anakku tidak sedih lagi, tidak malu lagi, bukan mau bunuh diri,” ucapnya.
Aku masih ingat ibu mengatakan bahwa perempuan dalam cerita Pak Gelowo tidak mati. Cik Munah tertawa, “Kakak ini lugu kali, lah, kutengok. Namanya juga cerita ecek-ecek, Kak. Suka-suka yang bikin. Yang hidup tak mati-mati, yang mati bisa hidup lagi.”
***
Cik Munah bunuh diri. Sepulang membuka kedai di pasar, Wak Zainuddin Tambi menemukan tubuh istrinya yang makin kurus itu tergantung di langit-langit kamar tidur mereka dengan leher terjerat tali timba.
Wak Zainuddin dan Anwar Sadat sempat melarikan Cik Munah ke rumah sakit. Saat itu memang masih ada degup lemah di dadanya. Namun, tak lama. Kurang satu jam dirawat, degup itu berhenti. Cik Munah meninggal dunia. Pun bayi dalam kandungannya.
Menurut sejumlah tetangga dekat mereka, pagi buta sebelum Wak Zainuddin berangkat ke pasar pecah pertengkaran besar. Bukan lagi sekadar beradu tekak, saling balas teriak diselingi raung tangis sebagaimana telah menjadi rutin sejak enam bulan terakhir. Sebagian mereka, dalam bisik-bisik yang agak terlalu riuh, bersaksi mendengar bising dari suara benda-benda dibanting.
“Beginilah jadinya kalau kurang ilmu dan rendah iman. Dalam agama sudah terang. Orang mati lantaran bunuh diri, Allah tutup pintu surga untuk dia,” kata Wak Zainuddin tatkala menjabat tangan ibuku saat kami datang bertakziah.
Ibu menatap Wak Zainuddin Tambi, lalu meludah ke tanah. ***
.
.
Medan, 2021-2022
T Agus Khaidir, tinggal di Medan dan hingga saat ini masih bekerja sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.
.
Dua Kabar Sedih. Dua Kabar Sedih. Dua Kabar Sedih. Dua Kabar Sedih.
Muh yani
Turut berbela sungkawa atas meninggalnya beliau berdua (pada ruang sastra : dua kabar duka tsb)
Ihsan
Aku merasa ditarik paksa untuk melihat langsung plot ini di Percut…