Cerpen Kholil Ar-rohman (Bhirawa, 24 Juni 2022)
ENTAH mengapa, nasib ibu harus sama seperti kucing peliharaanku. Mati karena tertabrak mobil. Bedanya, aku melihat sendiri bagaimana kucingku berlari menerobos jalan dan tertabrak mobil sedan hitam. Lalu darah mengalir deras membasahi jalanan. Membuat mataku spontan berkaca-kaca dan bingung harus melakukan apa.
Sementara ibu, yang ada hanyalah sebuah kabar yang tiba-tiba masuk dalam telingaku. Menggetarkan dada. Mengguncang raga dan jiwa seketika.
“Nak Vin, ibumu masuk rumah sakit. Dia tadi tertabrak mobil!” Ucap Marsinah, tetangga sebelah setelah kubukakan pintu.
Seketika gelas yang kupegang jatuh ke lantai. Pecah berkeping-keping. Seperti perasaanku setelah mendengar kabar terbaru tentang ibu. Padahal sekitar satu jam yang lalu, ibu pamit pergi ke pasar untuk belanja. Biasanya aku yang selalu mengantar ibu ke pasar. Tapi tidak untuk kali ini. Katanya ibu ingin berangkat sendiri. Apalagi kebetulan sekarang aku sedang ada tugas kuliah.
Dengan cepat aku langsung mengabari bapak. Rasa sedih, takut, dan panik bercampur menjadi satu. Ingin rasanya aku langsung pingsan saja. Tapi untung bapak cepat pulang ke rumah dan membawaku menuju rumah sakit.
Begitu turun dari sepeda motor, aku langsung menghambur ke dalam rumah sakit. Meneriakkan nama ibu seperti orang gila. Menangis sesenggukan hingga akhirnya seorang dokter menunjukkan keberadaan ibu.
“Dokter pasti bohong kan? Nggak mungkin ibu saya meninggal, Dok, nggak mungkin. Pasti masih bisa diselamatkan kan, Dok?” ucapku begitu saja diiringi tangis yang semakin mengeras.
“Sabar ya, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi takdir berkata lain,” ucap dokter itu dengan mimik iba.
Bapak yang ada di sampingku juga menangis, tapi tak separah aku. Bapak terlihat lebih kuat dan tegar.
Di balik ruangan itu, aku hanya bisa melihat ibu sudah menutup mata dengan wajah pucat dan kain putih yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Berkumpul dengan tiga jenazah lainnya yang tak pernah kukenal siapa mereka.
Aku seperti hancur berkeping-keping. Terbang ke udara. Lalu menghilang entah kemana. Sepertinya, sudah tidak ada lagi bahagia di bumi ini sejak kepergian ibu.
Pengurusan jenazah ibu terbilang sangat cepat. Sebab, aku seperti sudah tidak merasakan apa-apa. Waktu berlalu begitu saja. Sementara tangis air mata ini tak terbendung lagi. Sungguh, aku belum siap ditinggalkan ibu.
***
Tak kusangka, ternyata luka yang dipendam bapak akibat kepergian ibu juga sangat dalam. Meski awalnya bapak terlihat kuat menahan tangis saat jenazah ibu dibaringkan di dalam kuburan, namun setelah itu keadaan berbanding terbalik.
Bapak yang dikenal sebagai warga yang humoris, kini berubah menjadi warga yang pemurung. Bapak yang terkenal suka menolong sesama, kini tak mau tahu lagi dengan urusan orang lain. Sungguh semuanya berbanding terbalik.
Tiga bulan tak terasa berlalu. Bukannya malah sembuh, perubahan bapak tampak semakin menjadi-jadi. Tak hanya sering murung dan malas berurusan dengan orang lain, bapak malah suka meneriakkan ibu di tengah malam. Teriakan itu lebih keras dibanding teriakanku saat pertama kali masuk rumah sakit.
“Istriku… kenapa engkau pergi…kenapa kau tinggalkan aku sendiri…tunggu aku istriku,” ucap bapak sambil diiringi isak tangis yang menyesakkan dadaku.
Jujur, sejak bapak berubah menjadi seperti itu, aku merasa sangat takut. Apalagi di rumah hanya tinggal aku dan bapak. Aku sempat berpikir untuk kabur saja dan meninggalkan bapak sendiri.
Bahkan, aku sudah mencari informasi tempat kos terdekat yang sekiranya bisa menjenguk bapak setiap hari. Dan dari semua informasi yang kudapat, ada satu tempat kos yang cocok. Selain tempatnya terbilang murah, juga jaraknya tak cukup jauh. Sepertinya tabunganku akan cukup membayar uang kos itu selama empat bulan. Sampai kiranya keadaan bapak sehat lagi.
Tapi lagi-lagi, jika mengingat bagaimana dulu perjuangan bapak membesarkanku dengan jerih payah, merawatku dengan kasih sayang, dan selalu sabar menghadapi kelakuanku yang kadang bikin ulah, aku malah jadi tak tega untuk pindah.
Sudah tak terhitung berapa dokter, tabib, dan dukun yang berusaha menyembuhkan bapak. Sebagian mereka berasal dari wilayah sekitar, ada juga yang datang dari jauh. Namun sayang, tak ada satu pun yang mempan atau paling tidak memberikan sedikit perubahan positif pada bapak.
“Mungkin lebih baik bapakmu dimasukkan ke rumah sakit jiwa saja, Neng,” usul Ratri salah satu tetanggaku.
Mendengar pendapat itu, aku tak langsung merespon. Namun masih mempertimbangkan secara lebih matang keputusan apa yang akan diambil.
Jujur, dalam hati aku merasa tak tega jika harus memasukkan bapak dalam rumah sakit jiwa. Apalagi selama ini bapak tidak sampai membuat kerusakan. Ia hanya lebih sering melamun, kadang senyam-senyum sendiri, dan yang paling sering adalah teriak-teriak di malam hari. Pastinya, teriakan itulah yang menganggu ketentraman warga lainnya.
Di sepanjang malam saat bapak sudah tidur, aku mengambil wudu’ dan menghampar sajadah di dalam kamar. Berdiri tegak lalu mengucapkan kalimat takbir sambil melipat kedua tangan di atas perut. Melihat tempat sujud sambil membaca kalimat-kalimat suci. Di sana, aku merasa tenang, merasa dekat dengan Tuhan.
Selepas salat, aku lanjut berdoa untuk kesembuhan bapak. Berdoa untuk kebahagiaan ibu di alam barzah sampai akhirat. Berdoa untuk diri ini agar senantiasan diberikan kesabaran dan kekuatan merawat bapak. Aku juga mengucap syukur kepada Allah yang telah memberikan tetangga yang baik, kerabat yang sudi membantu meski berjarak cukup jauh, dan bantuan dari teman-teman.
***
Sore itu, langit sedang mendung. Aku yang sedang menjenguk bapak di kamar langsung terkejut melihat respon bapak.
“Istriku, oh istriku, kau sudah datang. Aku sudah sangat lama menunggumu, Sayang” ucap bapak sambil menatapku seperti singa yang menemukan mangsanya.
Aku tersentak. Bapak sudah mengira bahwa aku adalah ibu. Entahlah, mungkin kerinduan yang begitu memuncak membuatnya terbayang wajah ibu. Apalagi memang dari dulu aku dikatakan mirip dengan ibu.
Begitu bapak mendekat dan memegang kedua tanganku, aku berusaha berontak. Langsung kujelaskan bahwa aku adalah anaknya. Bukan ibu. Ibu sudah meninggal dunia. Tapi tetap saja, bapak menyangka bahwa aku adalah istrinya.
Bapak semakin beringas. Ia berusaha untuk mencium dan memelukku. Sekuat tenaga kuhalau bapak dengan teknik pertahanan diri yang dulu pernah diajarkan bapak saat aku masih kecil. Untungnya, aku sering melatih gerakan itu di pagi hari setelah salat subuh. Sehingga tak lupa dan sekarang bisa kuamalkan untuk menahan bapak.
Pertarungan semakin sengit. Saat ada kesempatan, dengan cepat kutendang kemaluan bapak hingga akhirnya ia terjerembab ke belakang. Meraung kesakitan sambil memegangi kemaluannya yang entah sudah berbentuk seperti apa. Tapi mulut bapak terus mengucapkan kata “Istriku” dengan nada lemah.
Melihat bapak yang sudah berhasil ditumbangkan, hatiku dipenuhi rasa bimbang. Apakah lebih baik aku pergi saja agar tidak diserang lagi oleh bapak? Tapi jika demikian, kasihan dengan bapak. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bapak. Ataukah kutolong saja bapak? Tapi jika demikian, aku takut jika bapak bersikap seperti tadi lagi; memperlakukanku sebagaimana istrinya. Sungguh, aku hanya mematung dan menyaksikan bapak.
Tak lama dari itu, bapak kembali bangkit. Tapi badannya tampak sudah tak sekuat tadi. Ia seperti orang mabuk. Lalu jatuh ke kursi panjang dan pingsan di sana.
“Semoga bapak baik-baik saja,” ucapku dalam hati. ***
.
.
Kholil Ar-rohman, alumni UIN Malang dan anggota Komunitas Sastra Titik Koma.
.
Setelah Ibuku Meninggal. Setelah Ibuku Meninggal. Setelah Ibuku Meninggal. Setelah Ibuku Meninggal.
Leave a Reply