Cerpen Diana Rustam (Fajar Makassar, 26 Juni 2022)
SEBUAH panggilan telepon ia terima dari Ning sore itu.
Ia terkejut, karena Ning yang selalu sibuk dengan dagangannya, dengan anak-anaknya, yang sering melewatkan panggilan telepon darinya—tentu saja bukan karena Ning sengaja—tiba-tiba punya alasan sore itu untuk menghubunginya lebih dahulu. Pastilah ada sesuatu yang serius, pikir Pram. Setiap kali Ning menelepon, Pram selalu berdebar, karena kabar tidak enak yang pernah disampaikan Ning dua tahun lalu tentang Ibu mereka.
“Halo! Assalamu ’alaikum.” Ning menyapa pertama kali, yang kemudian Pram membalas ucapan salam itu, sembari menerka-nerka sebuah berita.
“Pram,” ucap Ning tidak langsung menyelesaikan perkataannya. “Saya pindah. Sebetulnya… sejak tiga hari yang lalu,” lanjut Ning dengan suaranya yang tersendat.
Pram diam sesaat untuk menemukan alasan Ning, yang tentu saja tidak bisa ia abaikan. Ia tahu bahwa, cepat atau lambat, ia akan mendengar keputusan itu dari Ning. Ning, biar bagaimana pun punya hak untuk memutuskan hidupnya. Sudah terlalu lama adiknya itu mengabaikan kepentingan sendiri demi keluarga: Ning yang harus terpisah dari suaminya yang bekerja di kota tetangga karena harus merawat Ibu.
Sebelum menjawab Ning, Pram menarik napas dalam. “Rumahmu sudah lama menunggu. Sebelum habis dimakan rayap, memang sebaiknya cepat-cepat kautempati.”
Di seberang Ning terdiam. Pram juga tidak melanjutkan pembicaraan. Suasana menjadi begitu kental dengan kesedihan yang ditahan-tahan oleh keduanya.
“Kau nyalakan lampu di rumah Ibu, Ning? Jangan biarkan dia gelap. Sesekali tengoklah rumah itu, jangan sampai dia kesepian,” Pram akhirnya memulai lagi percakapan.
“Rumah orang tua kita semakin tua, Pram. Tidak ada di antara kita yang bisa mengurus rumah itu.”
“Maksudmu … rumah itu harus dijual? Tidak, Ning! Apa pun asal tidak dijual. Saya ingin rumah itu tetap milik kita, sekalipun kita tidak tinggal di sana.”
“Bukan itu, Pram. Saya tidak bilang rumah itu akan dijual. Saya juga tidak rela rumah itu jadi milik orang lain, sementara rumah itu rumah masa kecil kita.”
Percakapan menjadi sunyi lagi selepas ucapan Ning, kecuali suara isak Ning yang berusaha ia sembunyikan tapi sia-sia belaka.
Rumah itu berharga, tidak ada harga bagi kenangan. Uang tidak bisa mengganti kenangan, betapa pun uang itu bisa membawa kesenangan. Sejak Ibu mereka meninggal, sudah dua-tiga orang yang datang menawar rumah itu dengan harga tinggi. Rumah orang tua mereka itu memang letaknya strategis, persis di tengah-tengah kota kecil itu, di pusat keramaian, di sebuah pertigaan yang lumayan sibuk. Meskipun begitu, Ning tidak goyah sama sekali, sekalipun bapaknya menyerahkan urusan rumah itu sepenuhnya pada Ning, yang juga disepakati oleh Pram dan Goen.
Tiga puluh tahun silam rumah mereka dibangun, kota kecil itu belum tumbuh seramai sekarang. Pram tidak akan lupa bagaimana rumah mereka dibangun dengan susah payah. Ia yang berusia tiga belas tahun, dan adik-adiknya yang pada waktu itu masih duduk di sekolah dasar, tidak hanya menyaksikan selama dua tahun rumah itu tertatih-tatih memiliki wajah, tetapi mereka bertiga juga ikut terlibat dalam pembangunannya.
Ia dan adik-adiknya, juga ibunya, menyunggi ember berisi pasir di kepala setiap hari dari pantai untuk menimbun fondasi. Ia ikut mencetak batako bersama bapaknya. Cinta untuk rumah itu tumbuh dari hari ke hari sepanjang dua tahun sampai rumah itu utuh. Kemudian di sanalah mereka tumbuh besar, lalu satu-persatu pergi. Pram sudah mendapat pekerjaan di kota besar setamat kuliahnya di kota itu, juga sudah punya keluarga sendiri. Goen, adik bungsu mereka juga sudah bekerja di pulau lain, sudah punya anak istri, dan punya rumah sendiri. Dan hari ini, Pram menerima kabar dari Ning soal kepindahannya, tiga hari yang lalu.
Ning dan suaminya sudah memiliki rumah mereka sendiri di kota tempat suami Ning bekerja, sejak awal-awal menikah. Tetapi rumah itu tidak pernah sempat ditempati Ning karena di rumah orang tua mereka ada Ibu yang sakit. Sehingga rumah Ning sendiri hanya ditempati suami Ning yang pulang menengok Ning seminggu sekali. Ning sendirian merawat Ibu mereka yang sakit bertahun-tahun. Pram dan Goen pulang menengok orang tua di saat-saat libur panjang saja. Setelah Ibu mereka meninggal dua tahun lalu, Ning masih menempati rumah masa kecil mereka itu.
“Rumah ini… sudah tidak bisa direnovasi lagi, Pram. Dindingnya, fondasinya, sudah terbelah dihantam gempa berkali-kali. Satu-satunya cara, harus kita bongkar dan bangun kembali.”
Pram tahu bahwa rumah itu memang sudah renta, serenta orang tuanya. Ia menyesali dirinya yang mengabaikan keadaan rumah itu dahulu sewaktu ibunya masih hidup. Setelah ibunya meninggal, barulah perasaannya terusik sedemikian rupa, sebab rumah itu menyimpan ingatan-ingatannya tentang ibunya.
Pram mengiyakan ucapan Ning kemudian, ia tahu dengan begitu, rumah orang tua mereka akan tetap ada, meskipun sejatinya bukan bangunan yang sama lagi. Tetapi, kata Pram, ia ingin bentuk rumah itu tetap sama seperti dahulu, dan bagian rumah yang masih bagus, bisa dipakai lagi, seperti memindahkan sisa-sisa masa lalu untuk terus bisa disaksikan, sekalipun itu hanya sebilah papan dari rumah orang tua mereka dahulu.
“Rumah itu tempat kita pulang, Ning, sejauh apa pun kita merantau. Di rumah itu kita mengenang Ibu. Setiap ada kesempatan, saya ingin berziarah ke makam Ibu, dan tidur di rumah itu dengan kalian,” kata Pram.
Sementara Bapak mereka, semenjak Ibu mereka meninggal, sepertinya tidak sanggup untuk tinggal di rumah itu. Bapak mereka tinggal di kampung yang tidak jauh dari kota kecil itu, di sebuah rumah sederhana dari papan dan atap rumbia, yang sepi menghadap laut. Bapak mereka, menyibukkan diri sebagai nelayan bersama beberapa teman lamanya.
Pram memaklumi, barangkali ketidakberadaan Ibu di rumah, membuat bapaknya kesepian. Atau, Bapaknya selalu terkenang-kenang masa lalu bersama Ibu di rumah itu. Pram bisa meraba-raba perasaan bapaknya, karena beberapa waktu setelah Ibu mereka meninggal, Bapaknya tampak kehilangan bersemangat, sampai pada suatu waktu, bapaknya mengutarakan kepada mereka bertiga bahwa ia ingin tinggal di desa.
Ia tahu bahwa bapaknya sering pulang untuk menengok rumah itu, seperti sebuah ritual yang ia ulang-ulang setiap sebulan sekali, lalu akan menginap tujuh hari. Ia pulang membersihkan pekarangan, mencabuti rumput-rumput, menghalau sarang laba-laba, atau mengecat rumah. Terakhir Ning mengabari, kalau Bapak mereka memperbaiki pagar yang roboh. Kedatangan dan kepergian bapaknya dari kota kecil itu selalu dibuka dan ditutup dengan ziarah ke makam Ibu mereka.
“Kita bicarakan lagi nanti dengan Goen, soal renovasi ini. Dan, bagaimana selanjutnya ….” kata Ning.
Pram mengiyakan.
“Ning, jangan biarkan rumah itu gelap. Lampu teras tetap nyalakan, biarkan cahayanya sampai ke jalan seperti biasa.”
Setelah mengingatkan kembali, Pram menutup sambungan telepon dengan perasaan yang berat.
Pram mematung di samping jendela, yang sejak semula ia berdiri di situ menerima panggilan telepon dari Ning. Pikirannya tidak lekas pergi dari rumah orang tua mereka. Timbul ketakutan dan kesedihan dalam dirinya, membayangkan rumah itu sendirian dan kesepian, yang dahulunya ramai didatangi orang-orang yang berbelanja di toko kelontong ibunya, yang ramai dikunjungi kawan-kawan bapaknya untuk minum kopi atau sekadar bercengkerama.
Ia membayangkan rumah itu adalah Ibu mereka yang sedang berdiri di depan pintu menunggu anak-anak pulang. Pram terduduk di lantai, kemudian pecah tangisnya, seperti tangis seorang anak kecil. ***
.
.
Makassar, Juni 2022
DIANA RUSTAM lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini bertempat tinggal di Gowa, Sulawesi Selatan. Alumni Diploma Tiga Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin.
.
Rumah, Ibu, dan Kenangan. Rumah, Ibu, dan Kenangan. Rumah, Ibu, dan Kenangan.
Leave a Reply