Andreas Mazland, Cerpen, Haluan

Ziarah Kenangan

Ziarah Kenangan - Cerpen Andreas Mazland

Ziarah Kenangan ilustrasi Haluan

5
(2)

Cerpen Andreas Mazland (Haluan, 26 Juni 2022)

SEPANJANG perjalanan ini, tak ada yang berubah betul dari Teluk Kabung. Jalannya masih saja dipenuhi lubang dan agaknya kemisikinan adalah zat paling abadi di sini. Syukurnya listrik telah masuk ke kampung ini. Jikalau tidak, sungguh tiada guna merdeka bagi mereka.

Dulu sekali aku pernah KKN di sini. Kalian tahu? Selama di sini, ketimbang berbagi ilmu seperti titah kampus. Kehadiranku justru lebih banyak dihabiskan menjadi bidak kelurahan. Hal-hal semisal membuat minuman dan berbagai hal lainnya yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan praktek ilmu pengetahuan adalah makanan sehari-hari yang sering kukutuki.

Apa boleh buat. Sebab nilai akhir kuliah lapanganku waktu itu memang bergantung pada penilaian pihak kelurahan. Jika sikapku buruk di mata kelurahan, alamatlah kapal nasib nilaiku. Lantaran itu mau tak mau perbudakan ini mesti terus kulanjutkan.

Namun ada satu hal yang patut kusyukuri. Selama di sini, aku mengenal seorang bocah yang bukan main santunnya. Umar, namanya. Aku sering menghabiskan waktu dengan Umar jika tugasku sebagai bidak kelurahan telah usai.

Semakin hari, hubunganku dengan Umar semakin dekat saja. Tujuanku yang semula mendekati Umar agar penjajahan para pegawai kantor lurah tak terasa benar pedihnya, kuubah total. Aku ingin menjadi abang angkat Umar. Abang yang tentu jua berkewajiban untuk meringankan beban harian yang selama ini dipikulnya sendirian.

“Umar di masa yang akan datang ingin jadi apa?” tanyaku suatu waktu, setelah kami selesai menyabit rumput untuk ternak milik surau.

“Umar ingin menjadi seperti Ar-Razi, Bang.”

“Dari mana kau tau nama ini?”

“Dari kertas bungkus ketan.” Jawabnya polos.

Baca juga  LIE

“Hahahaha,” aku tergelak mendengar ucapannya, “Lalu mengapa kauingin sekali bermimpi menjadi salah satu ilmuwan kedokteran terbesar Islam itu?”

“Hmmm,” ia mengerenyutkan dahi, kemudian senyum kecut menyeringai dari bibirnya, seakan-akan ia curiga bahwa pertanyaan sederhanaku hanya untuk mengujinya, “Sama seperti tujuan Ar-Razi menjadi dokter, Bang. Yaitu memberikan pelayanan obat gratis bagi orang miskin yang sakit keras.”

“Mengapa demikian? Bukankah puskesmas telah dibuka di kampung ini.”

“Tetap saja harus ada imbalannya Bang! Makanya di sini, orang-orang miskin seperti kami hanya dapat pasrah menunggu mati, apabila sakit keras telah datang menemui.”

“Kamu anak yang baik,” ucapku sambil mengusap kepala Umar lamat-lamat. Sebenarnya aku terkejut bukan main. Karena setahuku—ya tentu saja karena aku anak kota yang buta tentang desa—untuk biaya pengobatan pemerintah menyediakan dana yang fantastis. Tapi aku tidak akan bertanya lebih, karena anak sekecil ini tahu apa soal kerumitan negara.

***

Sudah hampir seminggu aku tidak melihat Umar, karena aku terpaksa pulang ke kota sebab ada acara keluarga yang tak dapat kutinggalkan. Namun semenjak sampai di sini, batang hidung Umar tak terlihat sedikitpun olehku. Baik di surau maupun di tempat biasa ia menyabit dan menimba air untuk keperluan sehari-hari.

Namun kubiarkan saja rinduku menggelantung dahulu. Aku berprasangka baik saja. Barangkali Umar menginap di rumah kerabat ayah, atau saudara ibunya.

Akan tetapi sudah tiga hari aku di sini, Umar belum juga menampakkan mukanya. Hari-hariku sebagai bidak kelurahan semakin berat juga. Mungkin mereka tau waktu pengabdianku tinggal menghitung hari. Makanya tenagaku mereka manfaatkan sejadi-jadinya.

Di sore yang melelahkan sehabis kerja rodi, kusempatkan singgah di rumah Ngah Yeti, seorang tua yang sudah kuanggap ibu sendiri.

Baca juga  Rindu Ibu dan Gagasan yang Menyertainya

Ia menerima singgahanku dengan senyum dan segelas teh yang tak kalah hangat dari senyumnya. Di sela basa-basi, kucoba tanya tentang latar belakang Umar pada Ngah Yeti. Sebab selama ini, Umar tidak pernah mau menceritakan kisah hidupnya padaku. Ia selalu membalas tanyaku dengan segumpal senyum.

“Amboi,” dengusnya dengan logat Melayu yang kental, “azab benar hidup Umar itu Malik. Di umurnya yang belum menginjak usia genap sepuluh tahun, telah banyak ujian yang bahkan Ngah sendiri tak sanggup memikulnya.”

Tanpa kutanya lebih lanjut, Ngah Yeti pun mulai bercerita panjang mengenai kisah hidup Umar. Kata Ngah Yeti, ketika ibu Umar masih hidup, Umar acapkali tidak langsung kembali ke rumah selepas balik sekolah. Ia selalu berkeliaran mencari botol bekas dan besi untuk dijualnya ke penadah. Uang dari hasil menjual barang bekas itu, ia gunakan untuk membeli obat ibunya di Puskesmas.

“Semua itu terjadi karena ayahnya yang hobi mabuk dan main perempuan di penjara setelah ketahuan menghisap benda haram. Lantaran itulah Umar dan ibunya terpaksa hidup luntang-lantung. Setelah ibunya meninggal karena sakitnya, Umar pun tinggal sekaligus belajar agama di surau bersama Tengku Ilham.” Tutup Ngah Yeti.

Mendengar penjelasan Ngah Yeti, aku mulai paham kaitan antara cita-cita Umar dan nasib ibunya yang sakit-sakitan. Saat pembicaraan antara aku, dan Ngah Yeti, mulai lengang, kuberanikan diri bertanya pada Ngah Yeti, tentang keberadaan Umar.

“Kau benar belum tau? Ngah pikir kau bertanya banyak tentang Umar karena kau sudah tau. Karena apa yang kau tanya telah tiada.”

Ujung kalimatnya menandakan sebuah kehampaan. Jantungku seketika berdetak keras mendengarnya. Darah naik-turun di segenap aliran tubuhku. Aku seperti kehilangan kewarasan.

Baca juga  Teror Kenapa

“Apa. Ngah? Maksud Ngah, Umar telah meninggal!”

“Sehari yang lalu ia ditemukan terkapar di tepian mandi,” sambil menunjuk pada sebuah aliran sungai kecil anak Sungai Mandau, “di pangkuannya ditemukan foto ibunya dan secarik kertas bertuliskan: Saya ingin jadi dokter agar dapat menyembuhkan penyakit ibu yang amat saya cintai.”

“Kenapa?” tanyaku setengah berteriak.

“Kata orang, hanyut saat menjala ikan.” Jawab orang tua tersebut agak terkejut.

Seketika itu juga tuhan kirim gigil hingga sampai ke ujung lututku. Aku masih tak percaya dengan kejadian yang menimpa Umar. Padahal minggu lalu, aku masih melihat gelak membuncah dari mulut tipisnya. Mendengar cerita tentang mimpi dan harapannya. Menyaksikan cara ia melewati rintangan dari nasib hidup yang seakan memiliki dendam kesumat padannya.

“Prakkkk.”

Suara keras dari ban mobil bagian kanan, yang terjerembab ke dalam lubang, membuat segala kenangan yang terbang dalam anganku tentang kantor lurah, Teluk Kabung dan masa-masa bersama Umar seketika buyar.

Setelah oleng beberapa waktu, bus yang kutumpangi pun perlahan kembali berjalan normal. Dari jarak yang dapat dijangkau mata, aku melihat setapak mendaki tempat aku dan Umar dulu sering berputar mencari rumput untuk kambing milik surau. Itu tandanya aku telah berada di Teluk Kabung. Akh aku benar-benar tak sabar menjenguk segala kenangan tentang Umar dan nyekar ke makamnya setelah puluhan tahun lamanya. ***

.

Ziarah Kenangan. Ziarah Kenangan. Ziarah Kenangan. Ziarah Kenangan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!