Cerpen, Reni Asih Widiyastuti, Republika

Hilangnya Kambing Haji Achmad

Hilangnya Kambing Haji Achmad - Cerpen Reni Asih Widiyastuti

Hilangnya Kambing Haji Achmad ilustrasi Rendra Purnama/Republika

3.6
(5)

Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Republika, 03 Juli 2022)

PLANG bertuliskan “Raja Kambing” milik Haji Achmad baru saja selesai dipasang oleh dua pemuda di depan pagar. Mungkin hal itu dilakukan untuk menambah minat pembeli, mengingat setelah dua minggu ini begitu banyak pemesan kambing untuk acara akikah. Apalagi, tempat yang menyediakan kambing untuk acara akikah itu baru dirintis. Sebuah keputusan yang tepat dengan menambah alat sebagai media promosi.

Adam, seorang pemuda berusia dua puluh tahun, menatap plang itu dari seberang jalan. Atas rekomendasi temannya yang bernama Yusuf, tadi pagi Haji Achmad meneleponnya untuk masuk kerja. Berbeda dengannya yang menganggur sejak lulus SMA, Yusuf sudah bekerja sebagai marbut masjid selama dua tahun ini.

Yusuf bercerita, ia sering shalat berjamaah dengan Haji Achmad di masjid yang ia urus. Dari situ obrolan mengalir, sampai suatu hari Haji Achmad mengatakan sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk membersihkan kandang dan memandikan kambing-kambingnya. Seketika tercetuslah nama Adam.

Adam menyeberang jalan setelah dua pemuda pemasang plang tadi beringsut pergi. Barangkali tengah mengurus kambing, pikirnya. Baru sampai di pintu pagar, di bawah plang, ia disambut oleh seorang wanita. Memakai kerudung instan berwarna cokelat muda. Tangan kirinya terlihat menenteng rumput pakan kambing. Adam mengangguk pada wanita itu.

“Kamu pasti Adam, teman Yusuf? Saya Bu Halimah, istri Pak Achmad.”

“Iya. Saya Adam, Bu Halimah. Oh, ya. Pak Haji kok tidak kelihatan, Bu?”

“Bapak sedang ke masjid sebentar. Paling juga setelah ini pulang. Ditunggu, ya. Duduk saja dulu.”

“Baik, Bu.”

Adam duduk seadanya di atas terpal biru yang sepertinya baru saja dilipat sehabis digunakan sebagai penutup kandang. Bu Halimah meneruskan aktivitas, memberi makan kambing.

Merasa bosan, Adam memainkan gawai. Hingga tak terasa sudah lima belas menit berlalu. Tak lama, Haji Achmad datang. Kedua matanya langsung mengarah pada Adam. Maka, ia pun menyapa Adam dengan ramah.

“Adam? Sudah lama menunggu?” tanya Haji Achmad seraya menepuk pelan pundak Adam.

“Ah, tidak, Pak Haji. Baru saja!”

“Ya sudah, kalau begitu, kamu bisa mulai kerja hari ini. Kamu bisa lanjutkan pekerjaan Bu Halimah, ya!”

“Baik, Pak Haji!”

Bu Halimah memberikan sisa rumput odot pada Adam. Jenis rumput yang sangat disukai kambing karena tekstur batang lunak dan daun tidak berbulu itu kemudian ditata oleh Adam. Dimasukkan ke dalam wadah pakan kambing berukuran panjang 100 cm dan lebar 30 cm. Bu Halimah membersihkan tangannya sesaat dan mencium tangan Haji Achmad. Ia masuk ke dalam rumah, mungkin hendak membuatkan teh untuk Haji Achmad.

***

Seminggu bekerja di “Raja Kambing”, kinerja Adam sangat memuaskan. Terbukti dari kepiawaiannya mempromosikan kambing Haji Achmad. Ia memang sempat membantu berjualan di beberapa kios di Pasar Waru. Pengalaman itulah resep jitunya.

Namun, di samping itu, tentu karena kambing Haji Achmad memang segar, sehat, dan dengan patokan harga yang tidak selangit. Bagi Haji Achmad, terpenting adalah menyediakan kambing berkualitas. Tak terlalu mengejar laba banyak, tapi setidaknya ia telah memudahkan mereka yang ingin berakikah sekaligus untuk menimbun pahala.

Haji Achmad sangat senang karena Yusuf tidak salah telah mencalonkan Adam sebagai tenaga tambahan untuk mengurus kambing-kambingnya. Sebab, setelah dua pekerjanya pulang selepas jam lima sore, Adam justru kerap membantu hingga hari menjelang Maghrib.

Biasanya, Haji Achmad akan mengajak Adam ke masjid yang diurus oleh Yusuf. Ketiganya pun shalat Maghrib berjamaah hingga kemudian disambung Isya. Barulah setelah itu Adam pulang ke rumah.

Namun, ada yang berbeda malam itu. Yusuf ingin mengajaknya bicara empat mata. Katanya sangat penting. Haji Achmad paham, ia pamit lebih dulu.

“Dam, kamu harus hati-hati!” ucap Yusuf saat Haji Achmad sudah menghilang di belokan jalan. Kepalanya juga menoleh kanan kiri, seperti memastikan kalau tidak ada siapa pun.

“Hati-hati kenapa, Suf?” tanya Adam tak sabar. Keningnya mengerut seketika.

“Kemarin, habis shalat Isya dan mau menutup pintu masjid, aku tidak sengaja mendengar sesuatu. Intinya, ada dua orang yang kasak-kusuk di depan gerbang. Aku curiga, makanya langsung mendekat sekalian mengambil sapu. Mereka menyebut-nyebut nama Haji Achmad!”

“Terus kalau nama Haji Achmad disebut-sebut memangnya kenapa?”

“Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Haji Achmad, Dam! Soalnya gelagat mereka seperti orang jahat!”

“Hus! Jangan suuzon begitu, Suf! Haji Achmad orang baik, mana mungkin beliau punya musuh!”

Adam geleng-geleng kepala, agak menghindar dari Yusuf.

“Ya mungkin saja ada yang iri karena akhir-akhir ini kambingnya laku keras untuk acara akikah. Padahal, usahanya baru dirintis.”

“Sudahlah, Suf. Aku tidak mau punya pikiran aneh-aneh. Kita berdoa saja.”

***

Sejak pembicaraannya dengan Yusuf, Adam jauh lebih waspada menjaga kambing-kambing Haji Achmad. Terutama kala malam baru saja turun. Apalagi, ini sudah H-5 menuju acara akikahan anak Pak Samsuri—tetangga samping rumah Haji Achmad.

Kambing Haji Achmad yang tadinya berjumlah dua puluh ekor tinggal tersisa lima ekor. Ia ingin kambing-kambing tersebut tetap aman sampai habis terjual. Malamnya, setelah shalat Isya, ia meminta izin kepada Haji Achmad untuk menginap di rumahnya dan beruntung Haji Achmad membolehkan. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Ia juga tak lupa mengabari ibunya di rumah.

Sudah pukul 11 malam ketika Bu Halimah dan Haji Achmad menghampiri Adam yang tak lepas memandang ke arah kandang kambing. Sementara, di tangan kirinya memegang senter kuat-kuat.

“Kamu belum mengantuk, Dam?” tanya Haji Achmad.

“Eh, Pak Haji. Belum, Pak. Ini sambil memantau sekalian mencari angin.”

“Ya sudah, kami mau tidur dulu ya, Dam. Ingat, kalau sudah mengantuk, masuk lalu tidur. Jangan lupa kunci pintu,” pesan Bu Halimah.

Adam mengangguk takzim. Haji Achmad dan Bu Halimah pun berlalu. Adam kembali memantau. Hingga tak terasa sudah setengah jam berlalu. Matanya mulai berair dan pedas. Ia ingin masuk dan tidur, tapi urung. Setengah jam lagilah kalau kuat, pikirnya. Namun, seperempat jam kemudian, ia sudah tidak kuat. Maka, akhirnya ia masuk untuk tidur. Pintu tak lupa ia kunci.

Esoknya, sekira pukul empat pagi, Adam terbangun karena teriakan Bu Halimah yang sangat keras. Berkali-kali menyebut kambing cokelat. Ia bergegas menghampiri Bu Halimah di depan kandang yang terpalnya sudah terbuka.

“Ada apa, Bu Halimah?”

“Kambing cokelat!”

“Kambing cokelatnya kenapa, Bu?” tanya Haji Achmad yang tiba-tiba muncul.

“Hilang, Pak!”

“Astagfirullah, hilang? Yang benar saja, Bu!”

“Iya, Pak!” Raut wajah Bu Halimah terlihat begitu cemas.

“Dam, ayo kita cari!” ajak Haji Achmad.

Haji Achmad dan Adam segera mencari. Bertanya ke tetangga sekitar. Barangkali melihat ke mana kambing cokelat paling gemuk di antara empat kambing lainnya itu. Bu Halimah tetap di rumah, menjaga kambing yang tersisa.

Waktu berlalu, hasilnya nihil. Para tetangga mengaku tak tahu. Merasa putus asa, Haji Achmad dan Adam memutuskan untuk shalat Subuh berjamaah dulu di masjid. Setelah selesai shalat, Haji Achmad termenung di serambi. Adam dan Yusuf mendekati.

“Seandainya saja saya tidak masuk untuk tidur, pasti kambing itu tidak hilang. Maafkan saya, Pak Haji,” terang Adam seraya menjejeri Haji Achmad.

Yusuf juga duduk di sebelah Haji Achmad sambil mendengarkan.

“Tidak usah merasa bersalah, Dam. Saya cuma berpikir, mau kambing itu terlepas atau dicuri pun, semoga berada di tangan orang yang tepat.”

Haji Achmad beranjak, menepuk pundak Yusuf dan Adam. Ia kembali ke rumah, meninggalkan dua pemuda yang masih terlongo itu. Sementara itu, di sebuah jalan raya dekat dengan rumah Haji Achmad, terlihat mobil bak terbuka dikerumuni oleh orang-orang.

Mobil itu ringsek beserta dua orang pemuda yang bersimbah darah tak berdaya, seperti habis mengalami tabrakan. Seekor kambing cokelat masih berdiri di atas mobil tersebut. Kebingungan. Mengembik, kemudian turun dan berlari menjauh. ***

.

.

Semarang, September 2021

Reni Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019). Telah mengikuti kelas menulis cerpen dan puisi bersama Writerpreneur Academy 2019/2020.

.

Hilangnya Kambing Haji Achmad. Hilangnya Kambing Haji Achmad. Hilangnya Kambing Haji Achmad. Hilangnya Kambing Haji Achmad .

Loading

Average rating 3.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!