Cerpen, Ede Tea, Fajar Makassar

Seekor Kambing yang Datang Menginap

Seekor Kambing yang Datang Menginap - Cerpen Ede Tea

Seekor Kambing yang Datang Menginap ilustrasi Fajar Makassar

5
(1)

Cerpen Ede Tea (Fajar Makassar, 03 Juli 2022)

“MAS, kapan kambing kurban kita datang?”

Masuro tersedak. Diteguknya segelas air sampai habis. Lalu berpaling menatap wajah Ratih, istrinya, di seberang meja. Senyuman di bibir tipisnya membuat perasaan Masuro semakin gugup. Andai bisa menarik waktu kembali, Masuro tak ingin lagi mengumbar janji. Apa pun yang pernah Ratih harapkan, Masuro tak pernah bisa memenuhi keinginannya.

“Sedang aku usahakan, Dik.”

Secepat itu wajah Ratih berubah. Senyuman di bibirnya seketika sirna. Ada binar yang terpancar di bola matanya penuh rasa khawatir. Pada detik itu juga Masuro dihujani rasa bersalah. Ia segera bangkit dari meja makan, meninggalkan istrinya yang masih tercenung.

Masuro duduk bersandar pada tiang rumahnya yang sudah rapuh dimakan rayap. Sekelebat angin malam menerpa wajahnya, menerbangkan anak rambutnya hingga berantakan. Hidup Masuro memang serba pas-pasan. Pekerjaannya sebagai kuli proyek tak pernah bisa diandalkan. Apalagi semenjak pandemi yang semakin menjalar, ia kehilangan banyak pekerjaan. Jangankan untuk membeli seekor kambing jantan, untuk mengepulkan asap dapur saja ia serba kekurangan.

Namun, Masuro sadar bahwa keinginan istrinya adalah ulah dirinya sendiri. Ia yang telah meminta Ratih untuk melontarkan sebuah keinginan saat berulang tahun beberapa hari yang lalu. Dalam benaknya Masuro berpikir bahwa Ratih hanya akan mengulang permintaan yang sama seperti tahun sebelumnya. Kalau bukan semangkuk soto pasti sebuah pelukan, pikirnya. Namun tak disangka, Ratih justru minta dibelikan seekor kambing jantan pada hari raya kurban nanti. Sementara hari raya kurban sudah di depan mata dan ia tak punya cukup uang untuk itu.

“Mbeee…”

Masuro terkesiap. Ia segera memasang tubuh tegak. Dilihatnya seekor kambing jantan celangak-celinguk di pekarangan rumah. Masuro sempat ragu untuk beranjak dari tempatnya, takut kalau kambing itu adalah hewan jadi-jadian. Sampai akhirnya Ratih keluar dengan wajah penuh semringah.

Baca juga  Kaja yang Rumit Dieja

“Wah, kambingnya sudah datang ya, Mas!” ucap Ratih melangkah ke serambi.

“Tidak, Ratih. Itu bukan kambing kita!” tukas Masuro kemudian.

“Terus kambing siapa, Mas? Kok ada di depan rumah kita?” timpal Ratih sedikit bingung.

“Aku juga tidak tahu, Dik. Tiba-tiba saja ada di situ.”

“Lalu mau kita apakan, Mas?”

“Biarkan saja malam ini menginap dulu di rumah kita. Besok biar aku cari pemiliknya.”

Tanpa melirik wajah Masuro, Ratih segera memutar badan dan kembali masuk. Masuro yakin Ratih menyimpan rasa kecewa dalam dadanya. Tapi Masuro juga tidak bisa membenarkan sebab kambing itu memang bukan miliknya.

Besok paginya, Masuro segera mengikat leher kambing itu menggunakan tali tambang. Ia hendak membawa dan menanyakannya ke warga. Namun, dengan cepat Ratih keluar dan mencegah Masuro.

“Siapa tahu kambing itu memang untuk kita, Mas. Buat kurban!” pekik Ratih.

“Ngawur kamu, Dik. Siapa yang mau ngasih kambing sebesar ini secara cuma-cuma?”

“Rejeki itu datangnya bisa dari mana saja, Mas!”

Tanpa membalas ucapan istrinya, Masuro segera menggiring kambing itu meninggalkan pekarangan rumah. Sementara Ratih masih berdiri di muka pintu. Bibirnya yang ranum masih menyunggingkan kekesalan pada suaminya.

Saat Masuro tengah menggiring kambing itu, beberapa warga memandangnya penuh curiga. Tabiat Masuro yang sebenarnya baik, justru disalahartikan oleh beberapa orang yang memiliki sifat iri. Saat itu juga Masuro merasa ada yang tidak beres. Namun, ia berusaha untuk tidak mengindahkan dan tetapber tanya perihal kambing itu pada siapa pun yang ditemuinya.

“Kamu ini mau ngeledek aku ya, Suro?” tuding Khidmat penuh emosi.

“Saya cuma bertanya, Mat. Ini kambing kamu atau bukan?” sahut Masuro mengulangi pertanyaannya sekali lagi.

Baca juga  TEXAS VAN JAVA

“Aku ini cuma pengangguran. Jangankan untuk beli kambing jantan sebesar itu, beli seekor ayam pitik pun aku tak sanggup!”

“Terus kamu tahu tidak ini kambing siapa?”

“Tentu saja itu milikmu, Suro. Kamu yang membawanya. Warga sini mana ada yang sanggup beli kambing sebagus itu. Aku tahu kamu hanya berniat pamer, kan? Kamu bisa berkurban tahun ini sedangkan kami tidak!”

Akhirnya Khidmat meninggalkan Masuro dengan wajah kesal. Dahi Masuro semakin berkerut. Kepalanya semakin berat dan dipenuhi pertanyaanyang semakin sulit. Lantas Masuro pun menggiring kembali kambing itu menuju rumahnya.

“Sudah aku bilang kambing itu untuk kita, Mas!” sapa Ratih di pekarangan.

Lagi-lagi Masuro tidak berselera untuk meladeni istrinya. Ia segera mengikat ujung tali tambang itu pada batang pohon mangga di samping rumah. Diliriknya kambing itu sekali lagi. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk mengembalikan kambing itu kepada pemiliknya.

Setelah tiga hari Masuro berkeliling kampung, takada satu pun warga yang tahu perihal kambing jantan itu. Namun, ia tak ingin berputus asa. Masuro akan pergi lebih jauh lagi. Ia tak ingin menyimpan apa pun yang bukan miliknya.

“Apalagi yang Mas pikirkan? Sudah jelas tidak ada satu pun warga yang tahu. Mungkin memang kambing itu sengaja ditinggalkan supaya kita bisa berkurban tahun ini.” Ratih menyadarkan Masuro dari lamunan panjangnya.

“Inilah yang aku tidak suka,” sahut Masuro membuat Ratih sedikit terkejut. “Kita tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milik kita, Dik. Aku tahu kau ingin sekali berkurban, tapi bukan dengan cara seperti ini. Meskipun kita orang tidak punya, setidaknya kita tidak mengambil hak orang lain.”

Mendengar ucapan suaminya, Ratih seperti tersengat aliran listrik tegangan tinggi. Sejak menikah dengan Masuro, Ratih yakin akan hidup bahagia dengannya. Meskipun ia paham bahwa ada satu hal yang harus ia hindari, yakni minta dibelikan sesuatu.

Baca juga  Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan

Ia tahu bahwa suaminya hanyalah seorang kuli proyek yang berasal dari keluarga sederhana. Namun, tak terhitung pujian orang tentang kejujuran serta ketulusan hati Masuro. Itulah mengapa Ratih selalu merasa cukup.

Detik itu juga Ratih segera memeluk tubuh suaminya dengan erat. Air matanya menggenang di sudut mata. Ia merasa bersalah atas permintaannya yang terlalu tinggi. Lantas Masuro membalas pelukan istrinya. Ia tidak inginmenyalahkan apa pun, termasuk nasibnya sendiri.

Pagi itu Masuro terbangun setelah mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ratih yang masih terlelap di sampingnya juga ikut terbangun dan bertanya-tanya. Mereka pun berjalan menuju pintu dengan perasaan cemas.

Saat pintu terbuka, mata mereka ikut terbelalak. Dua ekor sapi berukuran besar terikat di tiang rumah. Ratih yang menemukan secarik kertas di lantai segera menyerahkannya kepada Masuro.

“Terima kasih sudah mengizinkanku menginap beberapa hari. Sapi sapi ini bisa kalian kurbankan saat Idul Adha besok.”

Selepas itu Masuro segera menuju samping rumah. Kambing jantan yang semalam ia ikat di pohon mangga itu sudah tidak ada. Hanya menyisakan tali tambang yang masih terikat dengan kencang.

Masuro segera berpaling menatap wajah istrinya dengan rasa heran. “Rejeki itu datangnya bisa dari mana saja, Mas!” lirih suara istrinya kemudian. ***

.

.

EDE TEA, karya-karyanya juga tergabung dalam beberapa buku antologi. Bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.

.

Seekor Kambing yang Datang Menginap. Seekor Kambing yang Datang Menginap. Seekor Kambing yang Datang Menginap.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!