Cerpen, Irene Teng Siat Hwa, Pontianak Post

Dadar Gulung

Dadar Gulung - Cerpen Irene Teng Siat Hwa

Dadar Gulung ilustrasi Kekes - Pontianak Post

4.8
(5)

Cerpen Irene Teng Siat Hwa (Pontianak Post, 03 Juli 2022)

“MA,” Devi menegurku perlahan.

“Kenapa, Dev?” tanyaku.

“Ada yang mau ketemu Mama. Polisi.”

“Ada apa?”

“Mana Devi tahu.”

Kugapaikan tangan ke arahnya, dengan sigap ia membantu duduk tegak. Kupegang tangannya lalu berdiri. Perlahan dipapahnya aku keluar. Dua orang polisi sedang duduk di kursi ruang tamu. Mereka masih muda, mungkin sekitar awal empat puluhan. Ketika melihatku, mereka berdiri lalu mengangguk sopan.

“Ibu Aminah?” tanya salah satunya.

Aku mengangguk, “Iya, Pak. Silakan duduk.”

Sambil berpegang pada Devi, aku duduk. Barulah kedua polisi itu ikut duduk kembali.

“Selamat sore, Bu. Maaf mengganggu. Kami mau pesan kue.”

Astaghfirullah. Padahal aku sudah berdebar dan gemetaran. Kiranya mau pesan kue. Aku tersenyum lega. Di sebelahku Devi menghembuskan napas.

“Maaf, Pak. Sudah dua tahun ini saya tidak bisa membuat kue. Saya rematik. Mungkin Bapak bisa pesan ke keponakan saya. Dia juga menerima pesanan kue.”

Dua polisi itu berpandangan sesaat. Kemudian salah satunya menatapku.

“Cuma sepuluh biji aja nggak bisakah, Bu?”

“Kue apa, Pak?”

Polisi yang dari tadi hanya diam tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya. Ia membacakan tulisan di kertas itu dengan suara jelas dan lantang.

“Dadar gulung. Isinya dari kelapa parut yang muda dengan gula aren. Kulitnya hijau. Dari daun suji dan pandan. Bukan dari pewarna. Harus Ibu Aminah yang membuatnya.”

Mendadak dadaku berdebar kembali. Hanya ada satu orang yang hapal betul resep dadar gulungku. Siapakah yang meminta ini?

“Ini untuk siapa, Pak?” tanyaku ingin tahu.

“Oh, pesanan istri komandan, Bu. Beliau sedang hamil. Katanya dulu langganan Ibu.”

Aku terdiam sesaat. “Kapan mau diambilnya, Pak?” tanyaku pelan, menyembunyikan perasaan.

Kedua polisi itu menghela napas lega. Devi mencolek pinggangku, namun aku mengabaikannya.

“Besok sore, Bu. Jam lima. Bisa ya?”

“Insyaallah bisa.”

“Berapa, Bu?”

“Nanti saja bayarnya, Pak. Pas mau diambil.”

Mereka mengangguk lalu berpamitan pergi. Setelah mobil mereka pergi jauh, Devi menegurku.

“Kenapa diterima, Ma? Mama kan sakit. Nanti makin sakit. Suruh aja Kak Nengsih yang bikin. Nggak bakalan tahu juga, tuh. Resepnya kan sama juga.”

“Ah, biarin aja. Udah lama Mama nggak ke dapur. Sekali-sekalilah. Olah raga.”

Baca juga  Pawang Jailani Tak Pernah Datang Lagi

Devi diam tidak membantah lagi. Dengan hati-hati ia kembali memapahku ke kamar.

Aku menggolekkan diri di ranjang. Pikiranku memutar kembali masa tujuh tahun lalu. Ketika itu rematik belum terlalu menyiksa. Devi baru kelas dua SMA. Kami masih sangat kekurangan. Sesungguhnya sejak Mas Ilham berpulang, kami hidup dalam keprihatinan, namun tujuh tahun lalu adalah puncaknya.

Aku tidak tamat SMA, juga sudah terlalu tua untuk melamar kerja di mana pun. Untuk menghidupi tiga anak yang masih bersekolah, aku terpaksa bekerja serabutan menjadi pembantu rumah tangga. Entah mengapa keadaan ekonomi di kota kami di kala itu sangat sulit. Banyak tambang ditutup. Padahal pemasukan kota berasal dari tambang. Beberapa kali aku diberhentikan dan bekas majikan kembali ke kota asal mereka.

Akhirnya aku terpaksa berjualan kue dan gorengan seadanya di emperan ruko dekat pasar. Jualanku tidak selalu habis. Seringkali gorengan yang tersisa menjadi lauk makan nasi. Kerap pula kami hanya makan sekali sehari.

Pada suatu siang ada pembeli. Seorang gadis muda. Ia turun dari mobil besar dan mengkilat. Memborong semua dadar gulungku. Aku ingat, pagi sebelumnya ia memang membeli beberapa potong gorengan dan dua biji dadar gulung. Barangkali rasa dadar gulung itu cocok di lidahnya, karena itu ia kembali lagi.

Sejak saat itu ia menjadi pelanggan tetapku.

Kemudian aku jatuh sakit. Demam panas biasa setelah kehujanan, namun cukup membuatku tidak kuat bangun. Selama tiga hari aku tidak berjualan.

Pukul setengah sebelas malam ada yang datang ke rumah. Saat itu aku sedang menyiapkan bahan gorengan untuk esoknya. Ternyata si tamu adalah seorang lelaki muda. Mungkin sekitar 25 tahunan. Dengan sungkan aku menerimanya. Aku memang sudah berumur, namun ada dua anak gadis di rumah.

“Ada apa, Dek?” tanyaku ketika itu.

Ia tersenyum. “Ibu yang bikin dadar?”

“Iya, Dek. Ada apa, ya?” tanyaku agak heran.

“Ibu kenapa nggak jualan lagi? Ibu sakit?”

“Oh. Ibu memang demam, Dek. Tapi besok jualan.” Aku tersenyum, “Adek suka sekali dadar gulung? Besok Ibu bikin.”

Ia mengangguk. “Dadar yang Ibu bikin persis dadar mamak saya. Baunya harum pandan. Lain dari yang lain. Sudah lama saya tidak pernah makan dadar seperti itu.”

Baca juga  Merampas Kewanitaan

“Aduh, senang hati Ibu. Salam ya buat Mamak,” sahutku berbasa-basi.

“Iya, Bu. Nanti kalau saya pulang kampung, saya sampaikan.”

Kemudian ia pamit, namun sebelumnya meminta nomor hapeku.

“Bu,” katanya. “Suara Ibu persis suara mamak saya. Cara Ibu ngomong juga mirip Mamak. Boleh nggak saya telpon Ibu?”

Aku mengangguk. Ada sesuatu dalam nada suara dan raut mukanya yang membuatku tidak tega menolak.

Maka setelah malam itu ia tidak pernah lagi mengunjungi ke rumah. Sebagai gantinya ia menelpon.

Selalu di malam hari. Ada saja yang ia tanyakan. Dan ada saja yang ia ceritakan. Ikannya.Temannya. Pacarnya, Malinka. Caranya berbicara padaku seakan aku betul-betul ibu kandungnya, entah mengapa membuatku merasa terenyuh.

“Mak,” katanya pada suatu malam. “Evan dapat proyek. Mamak doakan Evan ya, Mak. Mudah-mudahan gol.”

“Proyek apa, Van,” tanyaku.

“Proyek sama teman, Mak. Mudah-mudahan gol. Kalau cair lumayan, Mak,” katanya bersemangat.

“Iya, Mamak doakan,” sahutku.

Beberapa hari kemudian Malinka mendatangiku di emperan ruko. Seperti biasa membeli gorengan dan sepuluh dadar. Sebelum ke mobil ia memberiku sesuatu dalam kresek hitam.

“Dari Evan, Mak,” katanya sambil tersenyum.

Uang sebesar tiga juta rupiah. Tersirap dadaku. Malamnya aku menelpon Evan. Bukannya aku tidak perlu uang, tapi ini terlalu besar jumlahnya. Aku bukanlah siapa-siapanya. Aku hanyalah seorang perempuan tua yang mengingatkannya pada ibunya. Hanya itu.

“Banyak betul ini, Nak,” kataku gemetar.

Ia tertawa. “Sedikit itu, Mak. Evan baru gol jual tambang. Fee-nya lumayan, Mak. Nanti kalau ada proyek lagi Evan tambah. Buat adek-adek sekolah.”

Aku ingat, aku menangis. Tidak tahu harus berkata apa.

“Mamak berterima kasih sekali. Tapi mungkin lebih baik ini buat mamak yang di kampung, Van,” kataku akhirnya.

“Mamak yang di kampung sudah, Mak. Jangan khawatir.”

Lega hatiku.

Selama dua tahun Evan membantu keuanganku. Hampir tiap minggu ia memberi uang. Kadang dua juta, kadang lima juta. Aku merasa tidak enak hati, namun ia memaksa.

Pernah aku menanyakan alamat rumahnya, tapi ia menjawab samar-samar. Mungkin ia tidak bisa menerima tamu di rumah, aku pun tidak enak mendesaknya.

Dengan uang pemberiannya aku menguliahkan Devi dan Yudi. Bahkan setelah aku terkena rematik parah, tabungan yang tersisa masih cukup untuk menopang hidup kami bertiga hingga Devi mendapat pekerjaan.

Baca juga  3033

Lalu tiba-tiba Evan tidak menelpon lagi. Malinka juga tidak pernah datang. Demi Tuhan aku tidak mengharapkan uang dari Evan. Aku sudah benar-benar menganggapnya seperti anak sendiri. Dan aku sangat kehilangan.

Kucoba menelpon, tapi nomornya tidak pernah aktif. Berbulan-bulan aku menanti tanpa kabar. Akhirnya aku berpikir bahwa ia memang sudah kembali ke kampung, menemui ibu kandungnya. Namun tiap kali aku bersujud, ia selalu berada dalam doa.

Keesokan sore dua polisi datang mengambil pesanan. Barangkali ini keinginan Malinka, pikirku berharap. Mungkin ia sudah menikah dengan komandan polisi.

“Berapa, Bu?” tanya polisi yang membaca pesan kemarin.

Aku menggeleng perlahan. “Nggak usah, Pak. Biar saja, untuk pelanggan lama.” Kutarik napas, “Sampaikan salam saya buat Ibu Komandan.”

Mereka berpandangan sejenak, kemudian mengangguk. “Iya, Bu. Nanti kami sampaikan.”

Setelah mereka pergi, aku terduduk di kursi tamu. Evan, di mana kau sekarang, Nak. Mamak rindu.

Semalaman hatiku resah. Akhirnya aku salat, mencurahkan kekalutan di tikar sembahyang. Ya Allah, lindungilah Evan.

Pukul tujuh pagi dua polisi kembali datang ke rumah. Mereka membawa dua bungkusan. Dadaku berdebar.

“Bu Aminah, kami menyampaikan amanat dari Saudara Joseph Willy. Ini untuk Ibu. Mohon diterima.”

“Siapa itu Joseph Willy, Pak?” tanyaku, walaupun rasanya aku bisa menebak.

“Joseph Willy alias Evan alias Cunong. Almarhum berpesan agar memberikan ini pada Ibu setelah dia wafat.”

Lemas kakiku. “Evan meninggal? Ya, Allah…” Air mataku berderai. “Kapan, Pak?”

“Beliau meninggal pukul dua dini hari tadi, Bu. Ini pesan terakhirnya.” Polisi itu menyerahkan selembar kertas.

Tulisan itu rapi dan halus, dengan tinta biru. Tulisan anakku di pengujung hayatnya.

“Mak, dadarnya enak. Evan rindu Mamak. Semoga kita nanti ketemu lagi ya, Mak. Evan pamit.”

Polisi yang satu lagi menyerahkan amplop. Ada catatan pendek di atasnya: ‘Pembayaran makan terakhir terpidana hukuman mati.’

Aku mengisak. ***

.

.

Untuk ibuku. Maman, je t’aime

.

Dadar Gulung.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!