Cerpen Mutia A Nst (Waspada, 03 Juli 2022)
NAK, itu Ayah, Pria pengecut yang tak mampu memperjuangkan hak asuh atasmu / Nak, itu Ayah, Pria lemah yang hanya mampu menatapmu dari kejauhan / Tapi, Nak, itu bukan Ayah / Pria yang tak mendoakanmu dalam setiap sujudnya, itu bukan Ayah ***
“Ingat waktumu hanya tiga jam. Setelah itu antarkan dia kembali.”
Wanita berkaca mata hitam itu menutup kaca mobilnya lalu tancap gas meninggalkan sekolah taman kanak-kanak tersebut.
“Hai, Abang ganteng!” Sapa Arka dengan ceria.
Bocah laki-laki empat tahun itu celingak-celinguk memastikan apa benar yang dipanggil om-om ganteng ini adalah dirinya.
“Iya kamu, kamu yang om panggil,” tunjuk Arka.
“Om siapa?” Tanya bocah itu penuh curiga.
“Hm…itu hmm… om temannya Mami kamu.”
Bocah dengan tas dan tumbler itu masih memasang wajah curiga tingkat dewa. Arka pun sampai bingung harus membuat alasan apa lagi.
“Hmm begini. Hari ini Enril ikut sama Om ya, kita main, jajan dan sebagainya mau kan?” Arka memasang wajah imut terbaiknya.
Bukannya menurut, Enril yang memang dididik Maminya agar selalu waspada dengan orang asing itu lantas pergi masuk kembali ke Tk.
“Bu guruuu tolong!”
Sontak seluruh guru dan orang tua murid melotot ke arah Arka. Mereka mengira pemuda tampan itu adalah penculik anak-anak.
Setelah melakukan penjelasan yang cukup panjang dan lama didukung video call dengan Mami Enril. Akhirnya Arka diizinkan membawa bocah cerdas itu.
“Haduh hampir saja om dipukuli orang tua teman-teman kamu Ril,” gumam Arka di dalam mobil.
Enril tertawa kecil dengan sambil mengunyah permen, “Hehe maaf ya, Om. Mami bilang hati-hati dengan orang yang tidak dikenal, langsung lari ke Ibu guru.”
Arka mengehela nafas panjang, “Mamimu hebat!”
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Arka penasaran.
“Hmm. Bagaimana kalau kita ke Play Zone. Enril pernah ke sana?”
“Wah mau, mau belum pernah om! Mami janji mau bawa Enril kesana tapi belum pernah juga!”
Arka memandangi pelan-pelan wajah anak Tk ceria yang ada di sebelahnya itu. Bentuk hidung dan matanya sungguh mirip dengan dirinya.
Mereka berdua pun sampai di zona bermain yang memang merupakan syurga bagi anak-anak. Tak ada satu pun keinginan Enril yang tidak Arka wujudkan. Mulai dari mencoba permainan yang menantang sampai yang bermain dengan air. Semua makanan yang tak diizinkan Mami Enril semua ia dapatkan dari pria yang baru saja ia kenal ini.
Lelah bermain mereka berdua pun duduk di bangku taman.
“Paman sudah lama berteman dengan Mami Enril?”
Arka menatap Enril, ia cukup heran dengan pertanyaan tingkat tinggi yang dilontarkan anak seusia dia.
“Hmm sudah. Kira-kira enam tahun.” Jawab Arka singkat.
“Ohh. Paman sudah punya istri?” Tanya Enril lagi.
Jleb.
Sekali lagi Arka bingung harus menjawab apa. Ia heran Enril dikasih makan apa di rumah sampai-sampai pertanyaannya seperti orang dewasa saja.
“Hmm itu… dulu om punya tapi sekarang sudah berpisah.”
Enril mengangguk-angguk seolah ia faham apa itu makna kata berpisah.
Arka mengambil botol air minum dari dalam ranselnya, entah kenapa ia menjadi haus dengan serangan pertanyaan bocah tampan di sebelahnya itu.
“Kalau anak, om ada?”
Puffft.
Spontan Arka menyemburkan air yang belum sempat tertelan di mulutnya.
“Ukhuk!”
Enril yang khawatir memberikan sehelai tisu pada pria tersedak yang ada di sampingnya itu.
“Paman tidak apa-apa?” Tanya Enril sembari memberi tisu.
“Paman baik-baik saja, cuma tersedak.”
Tatapan Enril saat memberi tisu seperti mengisyaratkan ia ingin pertanyaannya segera dijawab.
Enril pun mengeluarkan sebuah foto berukuran kecil dari dalam dompetnya. Foto itu adalah foto seorang bayi laki-laki yang masih berusia lima bulan.
“Siapa adek ini?” Tanya Enril.
Bak disambar petir di siang bolong, ingin sekali bibir Arka mengatakan kenyataan sosok di balik foto bayi itu, namun Ayah satu anak itu faham bahwa Enril belum cukup faham untuk memahami seluruh kenyataan di balik foto ini.
“Di-dia anak om!”
Enril melirik Arka. Arka yang tak mampu menahan air matanya lantas membuang muka.
“Kenapa om tidak membawa adek ini ikut main sama kita?”
Jantung Arka berdegup semakin kencang, dibelainya rambut Enril dengan lembut sambil sesekali mengecup kepala bocah itu.
“Dia sedang dengan Maminya. Om hanya bisa melihatnya sesekali saja.”
Enril yang tidak mengerti dengan maksud perkataan pria yang ia panggil paman itu memilih diam.
“Ril, om boleh jadi teman kamu tidak?”
Enril menatap Arka dengan senyum bahagianya.
“Boleh om. Om baik, kasih Enril jajan, jalan-jalan. Gak kayak Mama yang larang Enril ini itu.”
Arka tersenyum dan mengacak-acak rambut Enril.
“Hahaha. Tidak boleh begitu, Mama itu baik dan sayang sekali loh sama Enril. Mama begitu agar Enril sehat dan jadi anak yang sukses. Enril anak baik kan? Harus nurut apa kata Mama yah.”
Enril mengerutkan bibirnya tapi kemudia ia senyum kembali, “Iya om!”
“Pintar!” Ucap Arka mencubit gemas pipi Enril.
“Enril!”
Sebuah suara muncul dari belakang. Arka dan Enril menoleh.
“Mami!” Enril lari memeluk Maminya.
“Sudah tiga jam, kami harus pulang,” ucap Mami Enril melirik jam tangan.
Arka hanya menunduk dengan lesu, mengiyakan perpisahannya dengan Enril.
“Ril, salam omnya, kita harus pulang,” perintah Mami Enril.
Bocah itu pun menyalam tangan Arka. Arka yang tak mampu membendung haru lantas memeluk Enril dengan erat.
Di dalam mobil.
“Om itu buat kasar gak sama Enril? Ada bilang sesuatu?” Tanya Mami Enril khawatir.
Enril geleng-geleng kepala, “Tidak, Mami! Om tadi baik sekali sama Enril!”
Tiba-tiba Ibu satu anak itu penasaran dengan kertas yang ada di tangan anaknya.
“Sayang itu apa?” Mami Enril mengambil kertas foto itu.
Alangkah terkejutnya ia melihat foto Enril sewaktu bayi.
“Itu foto dedek bayi, Mi, anak om tadi!”
Bak disambar petir di siang bolong. Sekujur tubuh Mami Enril lemas mendengar perkataan anaknya barusan. Ia tidak tahu bahwa foto itu adalah foto ia sewaktu bayi. Wanita karir itu pun salut Arka tidak mengatakan kenyataan ini pada Enril.
Wanita berhidung mancung itu membalikkan foto tersebut, di baliknya ada untaian kalimat menyentuh jiwa yang diperuntukkan bagi si bayi yang ada di foto.
.
Nak, itu Ayah, Pria pengecut yang tak mampu memperjuangkan hak asuh atasmu
Nak itu Ayah, Pria lemah yang hanya mampu menatapmu dari kejauhan
Tapi, Nak, itu bukan Ayah
Pria yang tak mendoakanmu dalam setiap sujudnya, itu bukan Ayah.
.
Spontan air mata Mami Enril jatuh dengan derasnya. Di peluknya Enril dengan begitu eratnya. Bayangan masa lalu itu muncul kembali, segala penyesalan tak dapat dielakkan, namun apa mau dikata?
Enril yang tidak faham dengan sikap Maminya yang mendadak menangis pun hanya bisa pasrah di pelukan Ibunya. ***
.
Catatan Kecil di Balik Foto. Catatan Kecil di Balik Foto. Catatan Kecil di Balik Foto.
Leave a Reply