Cerpen Rizka N (Waspada, 03 Juli 2022)
RUMAH. Semua orang pasti dengan gampangnya menyebut rumah. Namun terkadang sesuatu yang mudah diucapkan bisa menjadi sumber penyebab hati menjadi sendu. Mata menjadi tempatnya air mata mengalir deras.
Tentang ingatan-ingatan di masa lalu, pasti selalu membentuk perjalanan sendu. Entah itu ingatan saat memiliki rumah atau kenangan saat pertama kalinya menjadi penghuni rumah bersama ayah bunda. Laksana air sungai yang akan bermuara ke danau, rumah seperti tempat bermuaranya segala rasa.
Ya rumah. Hanya di rumah seorang bisa berbagi cerita, tawa, senang, sedih dan segala rasa yang membuat kita duduk berbicara dengan keluarga. Rumah menjadi sumber bermuaranya cinta. Bagaikan sumur yang tak akan kekeringan rasa kasih sayang.
Rumah juga adalah alasan seorang untuk pulang. Tempat memulangkan segala rasa kecewa, sedih maupun kehilangan. Sebab tak ada tempat di dunia ini, yang mampu menghadirkan orang-orang yang punya rasa kasih sayang kecuali rumah. Meskipun kaki sudah jauh melangkah, hanya rumah yang bisa membuat seorang pulang.
***
Allah tak menjanjikan hidup ini akan berjalan dengan mudah. Allah hanya menjanjikan akan meletakkan segala ujian hidup sesuai dengan kadar kesanggupan hambanya. Yang namanya manusia tempatnya mengeluh. Sering merasa tak cukup padahal mampu. Sering merasa tak pantas padahal punya kelebihan.
Bagiku hidup adalah perjalanan tentang menemukan rumah untuk hati. Loh kok untuk hati? Bukannya rumah untuk manusia tempati? Terkesan sok seperti seorang filsuf. Bagiku rumah bukanlah rumah dengan fungsi untuk ditempati, ada beberapa makna yang bersembunyi disana.
Aku memaknai rumah bukan hanya untuk hidup, rumah harus bisa untuk kebahagiaan hati. Apabila hati sudah menemukan rumah, maka segala luka kekecewaan, luka karena kehilangan, luka karena harapan akan luruh di sana dan mencari jalannya untuk sembuh.
Sesuatu yang penuh perjuangan dan itu bagiku seperti rumah mewah yang tak terhitung nilainya. Biar rumah tak mewah seperti rumah-rumah orang kaya yang berkelas bangunannya, asal aku dikelilingi orang-orang yang baik, sayang, peduli, dan mau merangkulku di saat sedih. Namun sepertinya harapan tak sesuai dengan kenyataan. Ada beberapa hal yang harus diterima meski terpaksa.
Tentang perjalanan hidup yang sulit, kenyataan hidup yang pahit, kesusahan hidup yang terus menghampiri dan segala hal yang membuat siapa pun bisa menyerah begitu saja. Hidup sudah babak belur. Hati sudah terluka. Kabar sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Namun untuk beberapa orang, ada yang rela mati-matian berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Ada yang keras dengan dirinya sendiri, demi bisa meneruskan hidup. Ada yang harus berpura-pura kuat hanya untuk terlihat tegar di hadapan orang yang dicintainya.
Sebenarnya hidup ini persoalan belajar bertahan di segala kondisi. Mungkin sebagian dari kita, mungkin hari-harinya bukan lagi memikirkan kesenangan hidup, beberapa diantara kita mungkin ada yang berusaha keras belajar bertahan. Entah itu belajar terbiasa hidup di tengah hari-hari yang berat.
Dunia tak pernah berhenti bekerja untuk memberi pelajaran kepada manusia. Bangun setiap pagi, pejam pun dibuka tak ada yang dapat menghentikan masalah untuk datang. Dan lucunya kita lebih memilih memainkan peran seorang tokoh yang pendiam.
Kita memilih mengunci rapat-rapat mulut agar tak bercerita. Kita terbiasa selalu bilang baik-baik saja. Kita terlalu handal memainkan seorang tokoh cerita yang ceria, penuh semangat, optimis, selalu terlihat tenang, tapi berantakan di kepala dan babak belur di hati.
***
Lama-lama kita menjadi kebal dengan rasa sakit. Sering mengaku tak sakit padahal sebenarnya merasa sakit. Seharusnya semakin dewasa membuat kita paham bahwa dalam keadaan diam serta mengaku baik-baik saja akan selalu membuat orang menilai kita sebagai orang yang kuat.
Hidup mengajarkan kepadaku tentang sejauh apapun melangkah, kita harus memiliki rumah untuk rumah, memiliki pundak untuk bersandar dan memiliki tempat untuk bercerita. Mungkin rumah tak bisa menjanjikan kita untuk bisa mendapatkan itu semuanya, tetapi hanya rumah satu-satunya tempat kita berkeluh kesah. Namun sebaik-baiknya keindahan rumah, tak semua orang mendapatkan kebahagiaan di sana.
Tak semua orang mendapatkan kenyamanan di rumah. Terlepas dari kenyataan itu, hanya ada dua pilihan yang tersisa. Pertama menerimanya dengan lapang sebab tak ada siapa pun anak yang lahir di dunia ini yang bisa memilih lahir dari orang tua yang seperti apa. Kedua melawan kenyataan itu dengan cara mencari kebahagiaan yang tak didapatkan di rumah dengan cara menemukan kebahagiaan di luar.
Jika disuruh memilih aku lebih memilih pilihan pertama itu. Aku harus mewujudkan rumah terbaik. Jika memang kenyataan malah sebaliknya, cukup aku yang merasakan kekecewaan itu. Keluarga cemara harus lahir dariku. Agar anakku merasakan dibesarkan dengan kasih sayang dan dicintai dengan segenap hati. Biarpun perjalanan hidup ini terasa melelahkan, tak ada alasan untukku menyerah.
Sebagai anak kelas dua belas yang tengah sibuk-sibuknya berjuang demi cita-cita, aku harus merasakan lelahnya belajar. Ikut bimbingan belajar ke[1]sana-kesini. Sampai bimbingan belajar yang lokasinya cukup jauh dari rumahku pun kujalani. Entah itu mengharuskan aku untuk menyeberang pulau sekali pun.
Yang namanya belajar dan ingin jadi orang sukses, tentu membutuhkan usaha yang besar. Semakin besar keinginan, maka usaha pun semakin besar. Jalan menuju rumah sepulang dari bimbel selalu terasa panjang. Meski telah naik angkutan umum sebanyak dua kali, rasa jenuh kerap kali kurasakan. Malam semakin malam. Penumpang angkutan umum kalau sudah malam mulai berkurang satu persatu. Malam terasa perjalanan yang membawa sepi.
Aku berniat mulai mengubah rute perjalanan pulangku. Yang mulanya selalu ingin melepas rindu di rumah ayah bunda, kini aku mulai merasa nyaman di rumah nenek. Seperti tak ada secuil rindu bahkan satu alasan untukku pulang ke rumah. Mungkin karena dunia terlalu asyik bercanda akhir-akhir ini. Dunia tak jahat hanya saja kita yang ingin dibentuk jadi orang kuat. Begitu kira-kira kata-kata penghiburan yang kuterima dari salah seorang temanku. Aku menggangguk setuju.
Tak masalah bagiku dihadapkan dengan kesulitan yang luar biasa, asal aku punya tempat untuk pulang. Namun rumah yang selama ini aku idam-idamkan untuk kebahagiaan hatiku, kini menunjukkan bentuk aslinya. Cepat-cepat kutarik selimutku karena kalau ketahuan nenek pulang malam terus, bisa-bisa aku tak diizinkan les malam lagi. Yang parahnya aku akan dipulangkan kerumah orang tuaku.
***
Sejenak kupejamkan mata. Kutarik napas panjang sambil mendengarkan musik instrumen pengantar tidur. Kukuatkan diri melalui doa-doa yang terus berulang kuucapkan sebelum mata terpejam. Ya sebuah doa sederhana. Tak muluk-muluk permintaanku pada-Nya. Aku hanya ingin bisa hidup meski hatiku babak belur dihajar dengan kenyataan hidup. Aku hanya ingin bisa tersenyum meski hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku hanya ingin bisa tertawa meskipun satu pun masalahku belum ada yang terselesaikan.
Untuk yang kesekian kalinya rasanya malam yang kulalui selalu terasa panjang. Ternyata memang benar kata-kata orang yang mengejek kaum kesepian. Malam terasa seperti perjalanan panjang hanya untuk orang-orang yang kesepian. Sebaliknya malam akan terasa singkat bagi orang-orang yang merasai ramai hatinya.
Hari ini tepat sudah satu bulan aku meninggalkan rumah. Nampaknya aku cukup betah tinggal di sini. Rasanya hatiku seperti beristirahat dari kerasnya kenyataan hidup. Rasanya juga telingaku liburan. Ya lebih tepatnya libur dari mendengar suara bentakan dari ayah disusul suara bantingan piring ibu.
Aku hanya menyumpal kedua telingaku dengan headset sembari berharap ada keajaiban salah satu dari mereka ada yang mengalah. Entah mengapa walau satu bulan dilalui, aku belum kepikiran untuk pulang. Walau jalan menuju rumah tidak jauh tapi entah mengapa hatiku selalu menolak. Kaki rasanya sulit digerakkan.
Sepertinya rindu itu tidak hadir walau setitik. Mungkin karena rumah yang kumiliki bukanlah rumah yang dirindukan orang-orang untuk pulang. Keributan yang mereka buat senantiasa membuat jiwaku menangis. Ini tak sehat untuk kupertahankan. Semakin kesini aku hanya ingin menjadi orang yang tetap waras meski cobaan berat tak henti-hentinya datang mengejarku.
***
Nenek mendadak pulang kampung. Aku mengurut dada. Di saat nenek bepergian tidak ada alasanku menolak untuk kembali ke rumah sebab seorang gadis yang tinggal sendirian di rumah yang besar tidak baik. Konon lagi nenek tipe orang yang mudah cemas. Alhasil mau tidak mau kuiklaskan diriku pulang.
Bismillah semoga kali ini mereka akur atau paling tidak, tidak ada ayah di rumah. Waktu itu ibu sedang duduk di depan cermin. Sepintas kuperhatikan ibu cantik sekali hari ini. Pipinya bewarna ungu merona.
Awalnya aku berpikir ibu sudah mau berdandan, rupanya itu masih sama seperti dulu. Ternyata ibu masih mendapat pukulan dari ayah. Kejadian ini bukan lagi sekali dua kali terjadi. Belum lagi aku harus mendapat kekasaran ayah. Kini rumah yang kuhuni bagaikan kebun binatang sebab ada banyak macam nama-nama hewan ayah sebutkan ketika memarahi ibu.
Lekas kuseka air mata air mata yang sudah telanjur mengalir. Singkatnya aku tidak ingin kelihatan gadis yang cengeng. Aku tidak ingin menambah beban ibu. Sebab kutahu beban ibu sudah sangat berat. Untuk membuat hati tetap tegar, otak masih tetap waras, aku mengingatkan diriku selalu bahwa tidak perlu mendengarkan apa yang tak pantas untuk didengarkan.
Lemah secara fisik boleh tapi jangan yang lemah hati. Kalau pun sudah telanjur melemah, cukuplah sajadah menjadi obat yang paling terindah. Cukuplah Allah sebaik-baiknya penolong ketika ada masalah.
Hati kumohon bersahabatlah. Janganlah cepat lemah. Aku bisa lelah menyembuhkanmu karena terlalu sering patah. Kupasang senyum yang paling manis lalu aku berbicara santai seolah tidak terjadi apa-apa kepada ibu.
Kupeluk ibu erat-erat sambil mengucurkan air mata. Untuk menyembunyikan rasa sakitku sebagai gantinya, aku hanya bisa berkata bahwa air mata ini adalah air mata kerinduan anak kepada seorang ibu.
Tidak apa-apa. Ya itulah moto hidupku. Aku terlalu sering mengatakan ini padahal satu kali pun aku tidak pernah setiap waktu merasa baik-baik saja. Melalui ibu, aku belajar bahwa pada akhirnya kita hanya bisa berdiri yang paling kuat di atas kaki sendiri. ***
.
Hidup untuk Tabah. Hidup untuk Tabah. Hidup untuk Tabah. Hidup untuk Tabah. Hidup untuk Tabah.
Leave a Reply