Cerpen Alief Irfan (Radar Bojonegoro, 03 Juli 2022)
PAGI masih begitu buta. Fajar shodiq yang biasanya memberi secercah cahaya, juga sedang libur. Sebab mendung terlalu pekat. Gemericik air dari kamar mandi terdengar lirih, seorang kakek memapah, membantu istrinya yang renta mengambil air wudu.
Seperti biasa, suami istri itu kemudian larung pada sujud di keheningan pagi. Gerakan kakek tidak lagi sebergas ketika ia beraksi di panggung teater tempo dulu. Namun, gesturnya tetap sempurna saat melakukan rukuk, iktidal, sujud, hingga salam—namun dengan tempo yang amat pelan.
Sepasang kekasih ini, lalu berdoa bersama. Seringkali mereka semakin menangis saat mendalami peran sebagai manusia pendosa. Teater bukan hanya pengalaman hidup bagi Jaka dan Wulan. Sejak muda mereka sepasang dalam sepanggung. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang tahu persis nama mereka, apakah nama Jaka dan Wulan itu asli, atau gara-gara naskah Jaka Tarup pernah mereka garap bersama.
Teater telah mengajarkan Jaka dan Wulan menjadi manusia harus menepati peran diberikan oleh Tuhan. Melakukan apa pun dengan totalitas. Jaka sering mendapat peran mulai dari menjadi raja hingga pengemis. Tetapi bagi Jaka paling membekas di hatinya adalah peran-peran rendahan, mengasah dirinya menjadi manusia rendah hati.
Pun sama dengan Wulan, pekerjaannya sebagai aktris sekaligus kreator tata panggung membuat dirinya selalu bisa memanfaatkan apa pun menjadi hal luar biasa. Seperti rumah ini, meski hanya terbuat dari papan kayu, tapi di tangan Wulan jadi tampak elegan dan amat kental dengan budaya. Membuat orang merasa damai. Ditambah ornamen-ornamen lukisan dua dimensi dan tiga dimensi kakek yang begitu indah.
“Loh, Wijaya kok sudah bangun?” kakek memergoki cucunya berada di ruang tamu sambil terus memandang foto-foto kakek tempo dulu.
“Iya, Kek, dengar suara ayam yang lomba menyanyi, Wijaya sudah tidak bisa tidur lagi.”
Wijaya Kusuma adalah putra kedua dari Nawang Asih, putri semata wayang Jaka dan Wulan. Mereka sengaja pulang ke kampung, karena Wijaya ingin meminta restu dan doa kepada kakek-neneknya, dua hari ke depan dia akan menghadapi ujian sekolah.
Meski Wijaya lahir dan tumbuh besar di Kota Surabaya. Namun, kecintaannya kepada suasana desa, apalagi sawah, kali, memancing, wayang, masih setara dengan Jaka. Mungkin Nawang Asih sebagai ibu, begitu berhasil mendidiknya menjadi anak cinta akan budaya.
“Kakek sejak kapan main teater?” tanya Wijaya matanya masih lekat memandang foto kakeknya mengenakan kostum Petruk sambil memegang piala.
“Kakek maen teater sejak masuk SMA.”
“Kakek ingat kali pertama berperan menjadi apa?”
Suara tarhim menjelang subuh mulai mengalun dari seluruh penjuru, kakek memutar otak, membongkar ingatannya.
“Kakek kali pertama maen teater, memerankan Malin Kundang,” jawab kakek ragu-ragu.
“Malin kundang yang durhaka?”
Kakek berusaha mengingat lebih keras, “Iya, Malin Kundang yang durhaka.”
“Itu lomba atau sekadar pentas internal, Kek?”
“Lomba teater pelajar tingkat Kabupaten Tuban?”
“Menang, Kek?”
“Menangis, hehehe.”
Kakek tertawa ringan.
“Zaman SMA, kakek maen teater berapa kali?”
“Walah, tidak terhitung, Wi, sering banget. Banyak latihan teaternya dari pada pelajarannya, hahaha….”
Lagi-lagi kakek menertawakan masa lalunya.
“Apa membuat kakek begitu suka dengan teater?”
Kini Wijaya mulai menunjukkan sisi kritisnya.
Wijaya mengambil duduk di hadapan kakek, ingin mendengar pitutur-nya dengan seksama.
“Teater bukan sekadar gerak dan teriak-teriak tak berguna, teater adalah olah jiwa kematangan pribadi.”
“Dalam teater ada banyak sub, kau tidak selalu akan jadi aktor yang dipuja penonton. Terkadang kau harus menjadi pemain musik, atau penata lampu, atau penata properti, atau hanya tukang gulung kabel. Semua pernah kakek alami. Dari situ saja kau dilatih menjadi pribadi ikhlas dan siap ditempatkan di segala lini.”
“Dalam teater kau juga diajarkan bagaimana pendalaman karakter, kau disuruh sejenak melupakan dirimu. Aku, Jaka tapi aku tidak boleh menjadi Jaka saat memainkan peran Hanoman misalnya. Kau Wijaya kau tidak boleh menjadi Wijaya saat memerankan Ande-Ande Lumut.”
“Dari situ, kau akan belajar namanya totalitas. Lah, totalitas inilah kelak aku pahami sebagai kedalaman pribadi. Jika kau salat, kau berperan sebagai apa? Menjadi hamba, maka totalitaslah. Maka salatmu begitu nikmat. Jika kau sesama muslim peranmu sebagai saudara, terus tekan dirimu untuk totalitas berperan sebagai sosok saudara. Di situlah nanti kau akan menjadi manusia qanaah, terimo ing pandum.”
Wijaya bagitu kagum falsafah teater dibangun kehidupan kakeknya.
“Kakek, adakah peran yang kakek pernah alami, tapi kakek tidak suka?”
“Kakekmu pernah memainkan teatrikal berperan menjadi wanita, tepatnya menjadi istrinya Kiai Hasyim As’yari,” sahut Nenek keluar dari ruang makan, dengan ceret teh di tangannya.
“Hah, kakek pernah berperan jadi wanita?” tanya Wijaya kaget.
“Terpaksa, Wi.”
“Hem, kok terpaksa? Katanya kita harus terima dengan apa pun peran kita.”
Kakek menuang teh panas dalam gelas, untuk dirinya sendiri, Wijaya dan Wulan kekasihnya.
“Saat itu kakek masih di pondok, sulit rasanya mencari seorang aktris apalagi aktingnya bakal disiksa tentara Jepang. Sangat sulit, Wi. Kebetulan teaterikal dengan lakon Resolusi Jihad itu kakek jadi penanggung jawab. Maka mau tidak mau kakek harus menutupi kekurangan pemain itu.”
Wijaya tertawa riang membayangkan kakeknya yang selalu berpenampilan gentle, dirias layaknya wanita.
“Kakekmu cantik sekali loh, Wi, nenek masih menyimpan fotonya, hahaha….”
Wulan tidak kalah bahagia. Meski tawa mereka dipelankan, tapi tetap menggema, maklum pagi masih buta. Semua makhluk masih lelap menyongsong subuh.
“Kek, lalu bagaimana ceritanya kakek bisa bertemu dengan nenek, Wijaya yakin ini juga gara-gara teater?”
Wijaya dan Wulan saling melempar pandang, bingung menentukan siapa layak menjawab dan dimulai dari mana. Setelah terdiam sekian lama, nenek maju menjawab.
“Nenek bertemu kakekmu kali pertama waktu latihan teater diadakan di kampus. Sebenarnya aku tidak ingin masuk UKM teater, tapi minimnya organisasi—terpaksa nenek masuk teater. Nenek mahasiswa baru, kakekmu sudah semester lima, atau seniorlah di UKM teater. Waktu itu aku sangat tidak suka dengannya.”
Wijaya mengerutkan dahi.
“Mengapa, Nek?”
“Kakekmu kelihatan genit dan mata keranjang.”
Kakek yang hanya menyimak mulai tertawa kecil.
“Iya betul itu, dia menclak-menclok dari satu gadis ke gadis yang lain. Dari satu nama ke nama lain. Tanpa ada yang bener-benar jelas, mana dia pilih. Semua dia beri harapan semu.”
“Tidak begitu ceritanya, nenekmu mengada-ada, Wi.”
Kakek melakukan pembelaan.
“Terus bagaimana yang benar, Kek?”
“Sebagai senior kakek harus berusaha mengakrabi semua anggota baru, biar mereka kerasan dan tidak lari.”
“Dan memberi harapan!” potong Nenek.
“Kan, itu masuk pada strategi pendekatan, hahaha….”
“Lihat ‘kan? Ya gitu itu kelakuan kakekmu tidak berubah sejak muda sampai tua bangka seperti ini.”
“Lalu nenek kok bisa jatuh cinta dengan kakek?” todong Wijaya.
Wulan terhenyak dirinya tidak menyangka cucunya akan bertanya sampai ke situ.
“Kalau masalah itu, kamu tanya kakekmu saja.”
“Loh, ya jelas, to? Secara, kakek itu ganteng, perhatian, luman sisan.”
“Whokk!”
Wulan memeragakan muntah.
“Kamu jangan bohong pada cucu kamu, Jak!”
“Heehee, ndak tau lah, Wi, kakek ingat pokoknya saat itu aku dan nenekmu ceriwis itu main naskah Jaka Tarup, dalam event Festival Teater Remaja. Saat kami latihan membangun kemistri lama-lama kakek suka, dan kakek bilang. Untungnya tebakan kakek tidak meleset, kalau nenek kamu juga sebenarnya suka dengan kakek.”
“Jadi nenek menerima pernyataan cinta kakek?”
“He’em!”
Kakek mengangguk mantap. Nenek nyengir.
“Setelah menjadi sepasang kekasih, apa kakek dan nenek juga sering main teater berdua?”
Kakek membuka mulut untuk menjawab, tapi keduluan suara azan melantun dari surau samping rumah.
“Ayo kita persiapan jamaah Subuh terlebih dahulu, ceritanya disambung nanti pagi saja, sambil sarapan.”
Nenek berdiri dengan pelan-pelan, lalu berjalan perlahan ke kamar mengambil mukena, begitu juga kakek yang langsung meraih kopyah hitamnya untuk pergi beriringan dengan nenek ke musala.
Wijaya menatap sepasang renta itu dengan mata kagum yang luar biasa. ***
.
.
Alief Irfan, santri Ponpes Manbail Huda, dan Mahasiswa Pascasarjana Inkafa Gresik yang kebetulan suka menulis.
.
Selendang Bianglala. Selendang Bianglala. Selendang Bianglala. Selendang Bianglala. Selendang Bianglala.
Leave a Reply