Cerpen, Kholil Ar-rohman, Radar Kediri

Rumah Bawah Tanah

Rumah Bawah Tanah - Cerpen Kholil Rohman

Rumah Bawah Tanah ilustrasi Afrizal Saiful Mahbub/Radar Kediri

5
(1)

Cerpen Kholil Rohman (Radar Kediri, 03 Juli 2022)

SETELAH tiga kali mengikuti pengajian di masjid Baiturrahman, perubahan itu semakin tampak dalam diri Amang. Ya, Amang yang dulunya suka keluyuran tengah malam, nongkrong sambil melafalkan umpatan-umpatan, dan berpenampilan preman kini berubah menjadi lebih baik.

Waktu itu, di sore hari yang hujan, Amang tanpa sengaja berteduh di salah satu masjid di desanya. Masjid yang mewah dan megah. Meski masjid itu besar dan terkenal kemana-mana, tapi Amang baru tahu kalau ada masjid sebesar itu di desanya.

Mengapa tidak? Amang adalah pemuda yang tak pernah salat berjamaah. Salat hanya untuk menggugurkan kewajiban, itu pun sering dilaksanakan di akhir waktu. Dan di telinga Amang, panggilan azan subuh selalu kalah dengan kokok ayam yang menandakan matahari telah tinggi.

Sebelum itu, Amang hendak pulang dari rumah temannya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mendung datang dan cepat menurunkan hujan yang semakin deras. Amang yang tak membawa mantel terpaksa harus menepi. Dan kebetulan sekali, saat itu masjid sedang mengadakan pengajian rutin yang dilaksanakan setiap hari selasa sore.

Amang duduk di sisi selatan masjid. Sekilas orang-orang yang ada di bagian dalam melirik ke arah Amang. Lalu, mereka kembali memperhatikan satu orang laki-laki berjubah putih dengan surban yang menggantung di bahu kanan. Sesekali ia menggerakkan tangan kanannya, menurunkan intonasi suara, lalu disambut dengan gelak tawa para jamaah.

Awalnya Amang tak tertarik dengan apa yang mereka bahas. Tujuan utamanya ke masjid adalah untuk berlindung dari hujan. Tidak lebih dari itu.

Hujan terus menderas. Salah satu marbot masjid keluar dan mengamankan sandal para jamaah. Karena biasanya, kalau air sudah naik melebihi mata kaki, sandal-sandal yang ada di depan masjid akan hanyut kemana-mana. Bahkan kadang hilang tanpa jejak.

Amang memperhatikan gerak-gerik marbot itu. Seketika timbul niat untuk membantunya. Tapi saat Amang hendak bangun dari duduknya, marbot itu sudah selesai dengan pekerjaannya. Amang pun kembali duduk. Melihat ke arah depan. Menunggu hujan reda.

Tak berselang lama, laki-laki berjubah putih itu membahas tentang rumah bawah tanah yang sekarang dibangun oleh seluruh umat manusia. Tak peduli beragama islam, kristen, hindu, budha, konghucu, bahkan yang tidak beragama sekalipun. Rumah yang katanya akan kekal abadi bersama seluruh masa lalu.

Baca juga  Ketika Listrik Padam

Menangkap cerita itu, Amang mulai tertarik untuk mendengarkan apa yang dikatakan laki-laki berjubah putih itu. Lalu ia sedikit bergeser ke depan. Agar bisa lebih jelas menangkap suara laki-laki itu.

“Jadi setiap diri kita, setelah mencapai masa baligh, maka secara tidak langsung akan membangun rumah di bawah tanah. Rumah yang kelak akan kita tempati selamanya. Tanpa batas waktu,” katanya.

“Dalam artian, setiap tindak-tanduk kita, setiap perkataan kita, dan gerak-gerik hati kita, itu semuanya akan menjelma fasilitas, suasana, dan bagaimana keadaan diri kita di hari esok,” tambahnya.

Amang tertegun. Ia mulai mengingat apa saja yang sudah pernah ia lakukan. Seperti nongkrong sepanjang malam, berkata-kata kotor, dan sering kebablasan waktu subuh.

“Apakah itu adalah bentuk balasan dari Tuhan, Ustaz?” Tanya salah satu jamaah setelah mengangkat tangan dan dipersilahkan bicara.

“Betul sekali, itu merupakan bentuk balasan dan keadilan Tuhan. Hal buruk akan berbuah buruk. Sebaliknya, hal baik akan berbuah baik,” jelasnya.

Para jamaah hanya mengangguk-angguk. Sebagian mereka ada yang mengantuk, ada yang mulai sibuk dengan hpnya sendiri, dan ada juga yang masih tetap fokus mendengarkan penjelasan laki-laki berjubah putih itu. Termasuk Amang.

“Apakah rumah itu sama dengan rumah-rumah yang ada di atas tanah,Ustaz?” Tanya Amang seketika.

Spontan seluruh pandangan jamaah tertuju pada Amang yang ada di teras selatan masjid.

“Pastinya berbeda. Kalau penjelasan secara detail saya kurang paham, karena saya masih belum pernah mati,” ujarnya sambil tertawa ringan.

Penjelasan terus berlanjut. Laki-laki itu juga bercerita tentang kisah umat terdahulu, balasan-balasan yang pernah diberikan Tuhan, keistimewaan menjadi umat Muhammad, dan disertai ayat-ayat, hadist-hadist, dan perkataan para ulama terkemuka. Jika dilihat dari cara bicara laki-laki itu, sepertinya dia sudah sangat berpengalaman di dunia agama dan public speaking.

Tak lama dari itu, pengajian rutin ditutup bersamaan dengan hujan yang sudah reda. Satu persatu jamaah keluar dari masjid. Jamaah perempuan terlebih dahulu, baru disusul jamaah laki-laki. Sama seperti yang lain, Amang pun demikian. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba terasa dalam dada Amang. Yaitu sebuah ketenangan.

Baca juga  Pembunuh Suami

***

Tidak ada lagi nongkrong sepanjang malam. Tidak ada lagi kata-kata kotor. Juga bangun kesiangan hingga tak nutut waktu subuh. Amang perlahan mulai berubah. Meski sesekali perihal bangun kesiangan masih saja ia lakukan tanpa sengaja.

“Hei bung, kemana aja tadi malam?” Tanya Irfan dalam kolom chat.

“Wah, tadi malam ada kesibukan rumah, Bro,” balas Amang mencoba mencari alasan.

Sejenak tidak ada balasan. Hingga akhirnya terdengar notifikasi pesan dari hp Amang.

“Sejak kapan ente punya kesibukan, Bung?” Tanya Irfan diiringi emoticon tertawa lepas.

“Sejak tadi malam,” jawab Amang yang langsung mematikan data hpnya. Amang sudah bosan mendengarkan celoteh Irfan. Jika diteruskan, maka besar kemungkinan Irfan akan membahas tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Dan itu sungguh membuat Amang jadi mual.

Hari demi hari berlalu. Amang sengaja tidak memberi tahu teman-teman nongkrongnya tentang apa yang sedang ia lakukan. Ia sengaja berbohong setiap kali ditanya kenapa kok tidak ikut nongkrong.

Tak hanya itu, Amang juga mengubah penampilannya. Dari rambut gondrong yang sering kali diikat ke atas dengan karet gelang, menjadi pendek ala-ala pekerja kantoran. Tidak ada lagi kalung rantai, tato di tangan, dan pengikat kepala yang sering kali bikin pusing.

Amang mulai sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini salah. Nongkrong tanpa pembahasan yang jelas, berkata-kata kotor, dan keluyuran sepanjang malam sampai berani melupakan Tuhan di waktu subuh. Entahlah, ia juga mulai membayangkan seperti apa bentuk rumahnya di bawah tanah. Berdinding batako kah? Atau mungkin berdinding kayu? Atau jangan-jangan kelak malah tak berdinding?

Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Membuyarkan lamunan Amang tentang rumah bawah tanah. Lalu Amang beralih ke dekat jendela, mengintip siapa yang datang. Ternyata yang datang adalah Irfan. Salah satu teman nongkrongnya yang paling aktif mengajaknya pada hal-hal jelek.

Baca juga  Sesudah Tubuh Terpisah

Begitu pintu depan dibuka, Irfan langsung dibikin terbengong melihat keadaan Amang.

“Bung, kamu masih waras kan?” Tanya Irfan sambil menepuk-nepuk pipi kiri Amang.

Amang hanya tersenyum. Lalu mempersilahkan temannya masuk layaknya tamu kehormatan yang datang dari jauh. Padahal biasanya, begitu keduanya bertemu, kata-kata “cuk” selalu mengawali percakapan keduanya.

“Eh, Bung, kamu kemasukan apa sampai berubah kayak gini?” Tanya Irfan setelah duduk di ruang tengah.

“Nggak apa-apa Bro, aku cuma ingin berubah jadi lebih baik,” jawab Amang santai.

Irfan terdiam. Seperti sedang mencerna kembali apa yang baru saja dikatakan temannya.

“Oh, jadi selama ini, saat kamu ngumpul sama kita-kita bikin kamu jadi nggak baik?” Irfan mulai memanas.

“Nggak gitu juga, Bro. Tapi gimana ya, aku udah bosen dengan rutinitas kita yang setelah kupikir-pikir lagi, nggak ada manfaatnya,”

“Ok kalau begitu, aku pamit, Bung!” Tegas Irfan lalu berdiri dan pergi.

Belum sempat Amang menjelaskan lebih lanjut, Irfan telah keluar dari rumahnya. Meninggalkan kenangan tawa bahagia dan hura-hura di masa lalu.

Amang terduduk lesu. Tiba-tiba ia teringat masa-masa indah bersama Irfan; berjoget ria di salah satu club malam, keluyuran sepanjang malam menggunakan sepeda motor, main kartu domino di salah satu cafe favorit, menertawakan kejelekan orang lain, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tapi apa boleh buat, perubahan ke arah yang lebih baik harus tetap dilakukan. Meski beresiko akan kehilangan banyak hal. Termasuk kawan seperjuangan.

Amang teringat pada rumah bawah tanah. Dalam hati ia berharap, semoga rumah bawah tanahnya kelak bisa lebih baik dibanding rumahnya saat ini. ***

.

.

Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid dan anggota Komunitas Sastra Titik Koma. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media. Saat ini penulis bermukim di Kota Malang dan menjabat Murabbi Ma’ha d Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang.

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!