Cerpen, Guntur Alam, Jawa Pos

Gentayangan

Gentayangan - Cerpen Guntur Alam

Gentayangan ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.6
(5)

Cerpen Guntur Alam (Jawa Pos, 09 Juli 2022)

SUCI meninggal tujuh hari lalu. Sejak hari itu, setiap malam, orang-orang kampung kami ketakutan lantaran banyak yang melihat arwahnya gentayangan. Tak hanya meneror dengan wujud pocong berwajah pucat, arwah Suci kerap juga muncul dengan pakaian biasa dan rambut panjangnya tergerai sebatas pinggang. Saat disapa, dia akan menoleh dan memperlihatkan wajahnya yang kadang pucat, kadang pula membusuk penuh ulat yang menggeliat.

Teror arwah Suci yang gentayangan tentu saja melahirkan teka-teki yang menuntut jawab; apa pasal yang membuat arwah waria itu tidak tenang?

Iya, kau jangan kaget mengetahuinya. Suci terlahir sebagai laki-laki. Orang-orang di kampung kami tahu persis akan hal itu. Nama aslinya Wahyu. Sejak kanak-kanak, Suci memang kemayu. Namun orang-orang kampung tahu persis kalau dia anak yang pintar, saleh, dan penurut. Selain memiliki suara merdu saat mengaji, saat SD dulu, dia pernah mewakili kabupaten dalam lomba cerdas cermat tingkat provinsi dan jadi juara. Saat SMP dia pernah dikirim ke Jakarta, ikut Olimpiade Matematika. Sayangnya, setamat dari SMP, Suci tidak melanjutkan ke SMA. Dia kabur ke kota lantaran tak tahan selalu digebuki bapak dan kakak-kakaknya yang tak suka melihat tingkah polahnya.

Dulu aku sempat sekali bertemu dengannya di kota, saat aku kuliah masih semester enam. Pertemuan yang tidak disengaja, aku memotong rambut di sebuah salon dan ternyata Suci bekerja di sana.

“Jangan panggil Wahyu, Bang,” pintanya, dia memang adik kelasku saat SD dan SMP itu, “Panggil aku Suci. Sejak dulu aku ingin dipanggil Suci.”

Aku tak menolaknya. Setiap orang berhak dipanggil dengan nama yang dia sukai. Aku mengikutinya. Aku memanggilnya Suci dan wajahnya terlihat bahagia sekali.

***

Perihal arwah Suci yang gentayangan bukanlah isapan jempol belaka. Banyak kesaksian yang datang. Namun kesaksian pertama datang dari Bik Anmah yang rumahnya berhadap-hadapan dengan rumah orang tua Suci. Perempuan setengah abad itu berani bersumpah di atas kitab suci Alquran bila matanya tak salah melihat.

Ceritanya begini, selepas Bik Anmah mengambil wudu di sumur belakang rumahnya untuk sembahyang magrib, dia melihat seorang perempuan berambut panjang, berbalut handuk, berjalan melenggak-lenggok sembari menenteng ember kecil, melewati sumurnya. Bik Anmah menduga, sosok itu anak gadis seseorang yang baru saja selesai mandi. Sekitar dua ratus meter dari rumah Bik Anmah, Sungai Lematang membentang dan orang-orang di kampung kami masih banyak yang melakukan aktivitas mandi, mencuci, bahkan berak di sungai besar itu.

“Hendak kuomongi dia, tak baik anak gadis masih berkeliaran menjelang magrib. Terlebih dia hanya mengenakan handuk menutupi badannya. Betisnya terlihat mengkal. Pinggulnya padat berisi. Kalau ada laki-laki mata keranjang, ditariknya dia ke dalam semak-semak, habislah sudah,” suara Bik Anmah masih berapi-api saat membuka ceritanya.

“Pas kupanggil, menengok dia,” pada bagian ini, suara Bik Anmah mulai bergetar, “Ya Allah ya Rabbi, terkencing-kencing di celana aku. Sampai terduduk aku di lantai sumur. Itu Wahyu. Benar-benar Wahyu. Aku ingat persis wajahnya. Dia menyeringai. Aku cuma bisa ngomong ya Allah…. ya Allah… lalu dia tertawa cekikikan. Pas dengar tawa itu, aku bisa berdiri dan lari lintang pukang menabrak pintu dapur rumah.”

Baca juga  Satpol PP

“Lalu, Bibi tak jadi sembahyang?” tanya seseorang.

“Jadilah,” sahut Bik Anmah dengan wajah benyai, “Kutarik lakiku ke sumur, mengawani aku berbilas dan wudu lagi.”

Beberapa orang cekikikan. Menahan tawa geli yang bersarang di mulut.

“Jangan asal tertawa senang kalian,” ancam Bik Anmah, “Kalau kalian melihatnya sendiri, kurasa bukan lagi terkencing kalian, tapi terberak di celana.”

Tawa mereka meledak. Namun tawa itu kian redam setelah ucapan Bik Anmah seperti kutukan yang meminta korbannya. Satu per satu orang-orang di kampung kami, wabil khusus yang rumahnya berada dekat di sekitar rumah orang tua Suci, mulai diteror arwah Suci. Ada yang melihat Suci berbentuk pocong. Ada pula yang melihat Suci dengan berbalut kain panjang putih, duduk berayun-ayun di dahan pohon jambu air rumah orang tuanya. Adalah Idham, anak bujang Wak Seman, yang melihatnya demikian.

“Malam itu, malam ketiga kematiannya,” buka bujang umur tujuh belas tahun itu, “Aku baru saja pulang dari rumah pacarku. Kawanku yang ikut membonceng sudah pulang, rumahnya di kampung satu, sementara kita ada di kampung empat,” dia terlihat gugup ketika mengutarakan kisah seram yang dialaminya.

“Awalnya tak ada apa-apa, cuma langit sedikit gerimis. Tapi…” dia menelan ludah, mungkin yang sudah terasa pahit, “Saat sekitar tiga sampai empat rumah lagi ke rumahnya almarhum itu,” sejak kejadian malam itu, dia tak berani lagi menyebut nama Suci ataupun Wahyu, “Aku mencium bau jeruk purut dan kapur barus. Aku ingat, bau macam itu bau mayit. Bulu kudukku meriap. Nah, nah, tengoklah,” dia menunjuk lengannya yang berbulu, rambut-rambut halus itu tegak menyangkak, seperti duri landak, “Persis seperti ini. Ya Allah…” desaunya, “Menceritakan ulang saja, aku masih takut.”

Bibirnya gemetar, tetapi orang-orang tetap menuntut ceritanya tuntas.

“Ketika mendekati rumahnya, aku melihat ada kain putih yang terjuntai dari dahan jambu,” dia menelan ludah, “Tentu saja, aku dengan buyannya mendongak ke atas. Mati maaakkk, aku kencing di celana. Motorku mendadak mati pula. Almarhum itu duduk berayun-ayun di dahan jambu. Saat aku gemetar, dia tertawa melengking macam setan. Lari tunggang-langganglah aku, sampai jatuh ke parit. Kujeritkan memanggil nama emakku. Terserahlah orang mau tertawa, mau mengatakan aku banci ataupun penakut. Bodoh amat. Aku meraung dan melolong-lolong memanggil nama emakku.”

Orang-orang tergelak-gelak membayangkannya, tetapi sekaligus didera ketakutan.

***

“Berarti Wahyu ini tidak diterima tanah bumi,” kesimpulan itu mulai santer terdengar setelah tujuh malam berturut-turut orang-orang di kampung kami diteror arwahnya. Namun mereka hanya berani berbisik-bisik. Semua masih berusaha menjaga omongan, takut terdengar oleh keluarga Suci, terutama bapaknya yang sejak dulu temperamental.

“Kok bisa?” seseorang bertanya, “Apa karena dia waria?”

“Mungkin,” ada yang menyahut, “Kalian lihat sendiri kan penampilannya waktu pulang kampung pas Lebaran beberapa tahun lalu. Kali pertama dia mudik setelah hampir mati digebuki bapaknya lantaran kepergok sedang pakai baju dan lipstik emaknya pas SMP dulu.”

Baca juga  Sampai Benar-benar Jadi Kaisar

Orang-orang yang duduk di balai-balai bambu depan warung kopi Mang Wok mengangguk-angguk. Tentu saja memori mereka berlari ke masa yang diucapkan orang itu.

“Rambut panjang, bulu mata lentik, kuku dikuteki, bibir merah lipstik, baju perempuan. Kalau saja bukan permintaan emaknya, kurasa bapaknya Wahyu itu tidak akan pernah sudi menerima Wahyu menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Cuma karena istri terus sakit-sakitan sejak Wahyu minggat dulu, jadi dia mengalah saja.”

Semua diam. Lalu tiba-tiba seseorang membuyarkan kesenyapan itu.

“Apa saat dikubur Wahyu diperlakukan seperti perempuan sesuai permintaannya sebelum meninggal?”

Seketika semua orang saling pandang.

“Lah, memangnya dia sudah operasi kelamin?” seseorang bertanya lagi.

“Hei, walaupun dia sudah operasi kelamin, saat dia muncul kali pertama di dunia ini, dia itu laki-laki. Jadi dia harus kembali ke Tuhan sebagai laki-laki,” suara orang itu meninggi beberapa oktaf.

“Lah, tapi dia sendiri loh, kabarnya minta dikubur sebagai perempuan. Sejak mudik pertama itu, dia selalu ngomong ke orang-orang di sini, namanya Suci. Bukan Wahyu.”

“Itulah yang membuat banyak orang kampung sini tak datang melayat saat jenazahnya datang dari kota. Orang-orang sudah dengar permintaan tak masuk akalnya itu sejak dia bolak-balik sakit dan berobat ke rumah sakit,” suara orang yang meninggi beberapa oktaf tadi terdengar lagi. Dari nadanya terdengar mencibir dan puas sekali. Aku dapat menangkapnya dari getaran suaranya yang merambati gendang telingaku.

“Lalu, siapa yang membantu menguburkannya?” orang lain jadi bertanya. Dia terdengar bingung dan waswas.

“Entah,” suara orang yang meninggi tadi, kesan mencibirnya makin kentara di cuping. Mungkin dia menjawab sembari menggedikan bahunya, “Kan aku tidak datang. Mungkin yang lain datang,” ucapnya.

“Eh, yang aku tahu,” dia menyambung lagi, “Yang mengurus jenazahnya kawan-kawan waria si Wahyu itu. Kabarnya lebih dari seratus orang waria datang melayat dan berkumpul. Dari yang sudah tua bangka peot sampai yang muda belia. Nah, mungkin mereka yang mengurusnya.”

“Loh, loh, kok begitu,” seseorang terdengar cemas, “Bagaimana jika mereka mengurusnya tidak sempurna sesuai syariat? Mereka lupa mewudukannya misal.”

Semua orang saling pandang. Satu dua menelan ludah.

“Atau jangan-jangan mereka lupa melepaskan tali pocongnya,” terdengar suara gemetar salah satu dari mereka, “Konon katanya, kalau tali pocongnya lupa dilepas, arwahnya bakal gentayangan.”

“Nah, bisa jadi. Tali pocongnya lupa dilepas, itu yang bikin dia gentayangan,” simpul seseorang.

“Atau yang diomongi tadi, yang ngurus jenazahnya tidak sesuai syariat,” orang lain membuat kesimpulan yang berbeda.

“Kalau aku yakin dia tak diterima tanah bumi karena rambut dan kukunya panjang macam perempuan itulah,” yang mencibir itu membuat kesimpulan sendiri, “Dengar-dengar pula, dia mati karena kena penyakit kelamin.”

“Ah, yang benar?” seseorang sangsi.

“Lah iya,” dia menjawab dengan sangat yakin, “Dia kan cuma lulusan SMP. Mana bisa dapat kerja kalau cuma tamat SMP, banci pula. Paling melacurkan diri buat cari makan.”

Baca juga  Yang Mulia

Seketika orang-orang senyap. Tak ada yang berani membantah.

“Terus bagaimana biar dia tidak gentayangan lagi?” seseorang ingin mengakhiri teror dan pergunjingan yang tidak akan berkesudahan itu.

“Ada dua cara,” orang yang terus-menerus mencibir itu terdengar lagi berbicara, “Langkah pertama yang pasti sulit dan berat, ya minta keluarganya gali kuburan si Wahyu itu. Urus ulang jenazahnya sesuai syariat. Tapi siapa yang mau? Baru awal mati saja, banyak yang tidak mau. Apalagi kalau sudah seminggu di dalam tanah.”

Beberapa orang pasi dan menelan ludah.

“Langkah kedua, yang termudah,” suaranya terdengar riang, “Katanya, kalau ada yang mati dan arwahnya gentayangan, kita siram kuburannya dengan air perasan jeruk atau arak putih. Dijamin arwahnya tidak bisa kabur lagi.”

Sepi seketika membungkus orang-orang itu bersama langit petang yang menua.

***

Begitulah cerita yang ada, dua minggu pertama sejak kematiannya, orang-orang di kampung kami dihebohkan dengan arwah Suci yang gentayangan. Orang-orang menggunjingkan pilihan Suci yang ingin menjadi perempuan. Aku tak dapat menilai banyak atas pilihannya itu. Kami bukan kawan akrab, jadi tak sempat berbicara banyak semasa hidup, terutama tentang luka-luka yang dia simpan. Ingatan terbaikku tentangnya adalah dia adik kelasku yang cerdas saat SD dan SMP. Namun nasib dan takdir telah mengombang-ambingkannya. Aku selalu ingat permintaannya saat aku menggunting rambut di tempatnya bekerja dulu.

“Jangan panggil Wahyu, Bang. Panggil aku Suci.”

Aku memanggilnya Suci. Wajahnya terlihat senang. Aku tak tahu, apakah yang kulakukan itu sangat berarti baginya. Ada beberapa hal yang kuyakini, salah satunya setiap orang berhak dipanggil dengan nama yang dia sukai. Aku tidak ingin bicara tentang benar dan salah. Sebab, setiap orang dewasa bebas memilih jalan hidupnya. Urusan dosa, itu urusan dia dengan Tuhan-nya. Aku tak berhak menghakiminya.

Tentang arwah Suci yang gentayangan, aku juga tak tahu, apakah itu benar arwah Suci yang tidak diterima tanah bumi seperti yang diucapkan orang-orang kampung kami? Namun, aku ingat, dulu guru ngaji kami pernah mengatakan, “Tak ada hantu. Roh orang yang meninggal tidak akan bisa gentayangan. Yang kalian lihat itu jin. Jin yang menyerupai dan menakut-nakuti.” ***

.

.

Pali, Mei 2022

Untuk istriku, Murni Oktarina, yang menyukai cerita horor

.

GUNTUR ALAM. Buku kumpulan cerita pendeknya yang bertema gotik, Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Seri novel horor urban legend-nya terbit di Elex Media Komputindo, yakni Arwah, Tumbal, Ritual, dan Teman, yang cetak ulang di bulan April-Mei 2022. Guntur bekerja sebagai aparatur sipil negara dan tinggal di Penukal Abab Lematang Ilir.

.

.

 1,348 total views,  8 views today

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: