Cerpen Kusuma Tanjung (Koran Tempo, 10 Juli 2022)
SAYA tiba di Bandara Tokushima lalu buru-buru naik taksi ke Restoran Hirotchan di Miyanogo. Ogima tampak duduk menghadap jendela dengan raut wajah kaku, menunggu kedatangan saya.
Dua belas tahun yang lalu—saya jadi ingat ketika kini telah berhadapan dengan Ogima—dia menyatakan cintanya kepada saya. Dengan cara paling absurd, dia menggunting kain perca membentuk huruf-huruf yang setelah disusun menjadi kalimat: Aku Cinta Padamu Soekma Ara. Mengingat ini, saya jadi canggung dan tidak tahu cara memulai semua hal yang pernah tergores dengan aksi konyol muda-mudi, pada masa lalu.
“Apa kabar?” tanya Ogima dengan aksen Jepang yang kental.
“Oh. Masih bisa bahasa Indonesia, ya?” saya tanya balik, merasa lega karena Ogima memulai kecanggungan ini.
Ogima mengangguk dan tersenyum.
Banyak yang berubah dari Ogima. Tentu saja. Saya pikir Ogima juga merasakan hal yang sama terhadap saya. Dua belas tahun tidak bertemu dan berkirim pesan, kami hampir lupa pernah kenal. Waktu begitu cepat dan halus membunuh momen bergerak membawa langkah pada sesuatu hal yang baru, menjadi tua. Kalau bukan karena Hiruka yang meminta Ogima mengirimi saya pesan, saya tidak akan pernah datang lagi ke Jepang.
“Saya kira anak kamu ikut ke Jepang,” kata Ogima, memulai percakapan setelah pesanan makan dan minum tiba di meja.
“Anak saya ikut mantan suami.”
“Sudah pisah?”
“Ya,” kata saya.
Saya melihat ke luar jendela, tampak sepasang kekasih bergandengan tangan sambil berjalan menyusuri malam, malam yang barangkali telah hilang dalam ingatan saya sejak harus pulang ke Tanah Air.
“Tapi masih bisa bertemu?” tanya Ogima.
“Ya. Sering,” jawab saya sambil melihat ke mata Ogima yang dulu saya kenal, lebih dari apa pun.
***
HIRUKA menelepon saya. Dia ingin bertemu pukul sepuluh pagi. Semalaman saya berpikir, karena tidak biasanya Hiruka seperti ini.
Pagi-pagi sekali, saya berangkat dan datang lebih awal di tempat sesuai janji. Menunggu sebentar sambil menyelesaikan cerita pendek Osamu Dazai, Hiruka datang tepat pukul sepuluh. Dia langsung menangis saat duduk di sebelah saya.
“Soekma Ara, saya tahu Ogima akan menjadi milikmu,” ucap Hiruka terbata-bata.
Saya menutup buku cerita dan merapatkan tubuh saya ke Hiruka.
“Hiruka, apa yang kamu katakan?” tanya saya sambil menyentuh bahunya, “Kamu keliru. Saya tidak menerima cinta Ogima, bukan karena saya tahu kamu mencintainya. Tapi memang karena saya tidak mencintai Ogima.”
“Kamu pasti bohong!”
“Tidak. Saya tidak berbohong.”
“Apa buktinya?”
Sebetulnya saya tidak ingin rahasia dari tanah air ini diketahui oleh siapa pun. Tapi Hiruka adalah sahabat saya yang begitu mencintai Ogima. Kadung terjebak dan saya tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, saya pikir-pikir lebih baik memberi tahu Hiruka. Dia sangat kaget ketika saya berikan surat dari orang tua saya di Indonesia.
“Jadi, kamu tidak akan meneruskan kuliah?” tanya Hiruka, setelah membaca dengan tangan yang bergetar.
Saya menggeleng lambat dan Hiruka merangkul saya. Dia menangis berderai meski saya tahu kesenangan kecil bercuap di bagian lain sisi terdalam hatinya. Saya ingin berpesan untuk menjaga Ogima saat dia menjadi milik Hiruka. Tetapi itu tidak pernah sanggup saya ucapkan.
Satu-satunya hal yang saya pikirkan saat itu, Hiruka memang pantas bersama Ogima. Sedangkan saya, tidak lebih pantas dan seharusnya segera pergi, mengikuti kemauan orang tua atas surat yang saya anggap sebagai kutukan.
***
“TURUT berdukacita,” kata saya, memecah kecanggungan yang tumbuh dari tatapan dan kebisuan.
Ogima menunduk persis ketika saya tahu dia menunduk setelah sadar berbuat kesalahan. Waktu terjadinya penyesalan itu malam panjang di bulan Februari dan sepertinya bukan kesalahan Ogima sepenuhnya.
“Dia yang memberi nomor telepon dan meminta saya menghubungimu,” kata Ogima.
Saya diam sebentar. Bukan karena saya sudah lebih dulu mengetahuinya, tapi saya berusaha memberanikan diri untuk menceritakan hal yang tidak diketahui Ogima. Sambil menenggak sake setelah bertahun-tahun bahkan tidak mencium baunya, saya menarik napas lalu menceritakan ini kepada Ogima:
Dua bulan sebelum Ogima mengirim pesan, saya telah menerima surat dari Hiruka. Pesta ulang tahun di bulan Februari itu membawa cinta dan petaka, tulis Hiruka pada pembuka. Jatuh cinta telah membuat Hiruka seperti iblis yang mengacaukan semuanya. Dia tahu, Ogima benar-benar mencintai saya tetapi tetap memaksakan kehendaknya yang lebih mencintai Ogima. Dia juga tahu saya mengikhlaskan segala yang saya miliki, sejak dulu ketika kami bersahabat. Namun, berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, baru disadari Hiruka ternyata tidak menjamin kebahagiaan beserta di dalamnya.
Ogima serius mendengarkan saya bercerita seperti tak ingin melewatkan sepatah kata pun.
“Dalam surat ini, Hiruka juga menulis bahwa dia tahu dosa apa yang telah kita lakukan.” Saya sodorkan surat itu kepada Ogima. Ogima tidak menyentuhnya. Ogima termenung panjang seperti melihat ke masa-masa kesalahan yang tidak dapat kami hindari.
“Maaf,” kata Ogima. “Harusnya sejak dulu saya mengatakan maaf kepada kamu.”
“Ya. Seharusnya memang begitu.”
Saya tidak kuat menahan air mata. Tapi tentu saja saya harus bersikap demikian. Bayang-bayang masa lalu, muncul dalam pikiran. Saat pertama kali bertemu, saya tahu Ogima telah menaruh perhatian lebih terhadap saya. Kerap ngobrol dan bepergian, Ogima banyak belajar bahasa Indonesia sampai akhirnya dia menyatakan ingin datang dan tinggal di mana saya dilahirkan. Tetapi itu tidak pernah terjadi, bahkan sampai detik ini.
Begitu saya tiba di Indonesia dan memasrahkan nasib pada takdir atas pilihan orang tua waktu itu, saya sering berkhayal suatu hari surat yang saya tuliskan untuk Hiruka, dibaca Ogima dengan tidak sengaja. Saat-saat seperti itu Ogima akan kembali ingat apa yang telah kami lakukan dan hasratnya kian memuncak. Saya bayangkan Ogima dapat menenangkan Hiruka tanpa membuatnya sedih, untuk dapat terbang dan menculik saya dari laki-laki yang berusia dua puluh tahun lebih tua dari saya.
Namun semua itu hanya khayalan. Sampai pada surat pertama dan terakhir yang ditulis Hiruka—setelah memutuskan bunuh diri—saya tidak pernah tahu bagaimana kenyataannya. Apakah Ogima—yang mengaku masih mencintai saya—pernah terpikirkan akan diri saya selama ini?
Saya semakin tidak bisa menahan diri. Saya tidak sadar ketika berdiri dan entah pula dengan dorongan apa saya pamit. Ogima kaget dan menahan dengan mencengkeram tangan saya.
“Kamu tidak bosan-bosannya mengganggu saya, Ogima. Dua belas tahun telah berlalu dan saya terlalu bodoh untuk semuanya. Cengkeraman ini juga pernah kamu lakukan untuk menarik saya menjauh dari Hiruka,” kata saya, berderai air mata. “Kamu ingat, kan? Usai pesta kita berpisah dan menghilang beberapa hari. Ingat-tidak?”
Saya betul-betul menangis dan tidak dapat menahannya. Saya tidak peduli beberapa orang memerhatikan, bahkan mungkin memotret. Saya hanya ingin pergi dari sini. Melepaskan cengkeraman Ogima, saya berlari dan segera memanggil lalu naik taksi. Ogima mengejar dan menahan taksi untuk tidak pergi. Ia memukul-mukul pintu seperti orang yang kehilangan akal sehat. Saya tidak kuat terdesak di posisi seperti ini dan terpaksa membuka kaca jendela.
“Jangan bilang apa yang saya pikirkan selama ini benar, Soekma Ara.”
“Kalau memang benar kamu mau apa? Berengsek! Seharusnya saya pulang denganmu waktu itu dan mengakui dosa yang saya bawa ke hadapan papa dan mama!”
Ogima seperti mengerti dengan apa yang saya katakan dan memang seharusnya dia mengerti sejak awal. Tidak kuat melihat matanya yang mendadak berair dan tubuhnya goyah melemah, saya minta sopir taksi untuk jalan tapi Ogima masih menahan dan memohon-mohon sampai menarik baju saya. Saya berteriak supaya Ogima tidak lagi mengganggu tapi dia berkeras meminta sedikit waktu. Sambil terbata-bata, saya tidak salah mendengar ia meminta diperlihatkan foto anak saya.
Ini tidak seperti apa yang saya rencanakan.
“Tolong, Soekma Ara. Saya tidak ingin kehilangan apa yang benar-benar milik saya. Bilang kalau saya telah hidup sebagai orang hina selama ini.”
Permintaan Ogima seperti pisau yang menusuk jantung. Terlalu pedih untuk saya kabulkan, terlebih untuk memberi tahu namanya Ogimara, seperti nama Ogima. Saya tidak sanggup harus menjelaskan perpisahan dan keputusan hak asuh Ogimara jatuh kepada si tua bangka keparat yang tidak pernah tahu itu bukan anaknya.
Saya diam menangis di depan Ogima yang juga menangis, tersesak seribu pisau yang berulang kali mengiris hati. Saya lepaskan tangan Ogima yang mulai melemah itu pelan-pelan, lalu menutup kaca jendela dan sopir membawa saya pergi.
Saya tahu ini keputusan buruk yang salah dan sejujurnya saya tidak pernah tahu mana yang benar, sampai pada perasaan lebih hancur dari apa pun meledak dalam dada saya, menemani perjalanan taksi tanpa tujuan. ***
.
.
Kusuma Tanjung adalah seorang yang gemar membaca. Saat ini sedang belajar menulis.
.
Ogima dan Ogimara yang Tidak Saya Miliki. Ogima dan Ogimara yang Tidak Saya Miliki. Ogima dan Ogimara yang Tidak Saya Miliki.
Leave a Reply