Ahmad Baharuddin Surya, Esai, Pos Bali

Menimbang Kembali Objektivitas Kata

Menimbang Kembali Objektivitas Kata - Oleh Ahmad Baharuddin Surya

Menimbang Kembali Objektivitas Kata ilustrasi Istimewa

5
(1)

Oleh Ahmad Baharuddin Surya (Pos Bali, 02 Juli 2022)

PEMAKNAAN bahasa penting untuk diperdebatkan. Saya punya pengalaman kecil dengan teman soal itu. Awalnya cuma sekadar memberi informasi, tapi karena pembahasan di chat itu bertopik, maka yang awalnya memberi informasi, jadi keterusan sampai berjam-jam.

Topik yang kami bahas waktu itu sebenarnya sangat umum. Hanya membahas kata lemot. Kata tersebut sering digunakan orang-orang untuk melabeli orang lain dengan predikat kurang baik.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jelas tercantum kata itu. Ia memiliki makna yang kurang enak didengar, yaitu lambat dan lemah otak. Saya yakin, siapapun saja, jika dikenai kata itu, pasti akan sakit hati. Sesakit apapun, namanya bahasa tetap memiliki makna. Entah bermakna buruk atau baik, bahasa itu tetap ada. Digunakan atau tidaknya bergantung si penutur yang menggunakan.

Terkadang, sesakit apa makna kata itu, jika suatu kata digunakan pada wilayah pengakraban, kata itu justru akan jadi media penyatuan silaturahmi. Tepatnya lebih pada metode hubungan kemanusiaan.

Teman antar teman, saudara dengan saudara, atau sering pula dipakai dua atau lebih banyak orang yang misalnya lama tak ketemu, kemudian menyepakati waktu bertemu. Bahasa-bahasa seperti itu sering mereka jadikan sebagai media untuk mengembalikan hubungan yang semula renggang, jadi rekat.

Dari kata lemot itu sekarang saya lebih berhati-hati menggunakan kata. Kehati-hatian pengguanaan kata memang sudah jadi narasi lama. Nasihat lama mengatakan, mending tidak berbicara, daripada berbicara tapi menyakiti hati seseorang.

Bukan soal apa-apa, bahasa dalam konteks sosial, kadang sering digunakan pemakai untuk memberi predikat pada orang lain. Sehingga seolah-olah terbangun identitas pada orang itu dan akan ia bawa ke mana-mana.

Baca juga  Kasta Berbahasa

Teman di chat saya tadi mengatakan, ia kurang suka dengan orang yang menurutnya lemot. Pasalnya, berhadapan dengan orang lemot itu sama saja menghambat proses dia belajar. Misalnya, saat ia sedang memberi suatu informasi ke orang itu, maka informasi yang disampaikan akan mengalami proses keterlambatan. Ia lambat sekali menyerap informasi itu, terutama pada poin-poin yang disampaikan. Apalagi saat ia menyampaikannya empat mata ke satu orang saja.

Ia juga tidak bisa membayangkan bila dalam satu forum ada sepuluh orang. Lalu dari kelimanya lemot. Sudah pasti informasi tadi yang sudah ditarget tentu akan mengalami hambatan.

Maka kemudian jadi yang namanya human eror. Ia mengalami kekhawatiran tersendiri saat menghadapi orang-orang semacam itu. Bukan hanya informasinya saja yang eror, tapi ia juga bisa tertular virus lemot-nya.

SALAH SANGKA

Tiba-tiba saya ingat kata Fouclat, dalam relasi kuasa, orang yang merasa berpengetahuan lebih dari orang lain, kemungkinan besar ia menganggap orang lain ada di bawahnya. Tekanannya lebih besar ke orang yang dianggapnya rendah.

Atau bisa juga dia menyalahartikan dirinya sendiri. Seperti efek Dunning Kruger yang mengatakan, kebanyakan orang merasa benar, tapi sebenarnya ia tidak tahu apa-apa tentang apa yang dia omongkan.

Anggapan kadang menemui salah dan benarnya. Tidak mungkin anggapan itu selalu benar. Tidak mungkin juga selalu salah. Jika seperti itu, solusinya adalah tidak perlu menilai seseorang dengan anggapan-anggapan.

Apa susahnya tidak menilai orang? Jangan seolah-olah semua orang bisa diberi rapor oleh kita. Alangkah baiknya menilai diri sendiri. Mengevaluasi baik buruk kelakukan yang sudah kita lakukan.

Kalau menganggap merupakan suatu hal mudah, maka untuk tidak menganggap pun justru lebih mudah dilakukan. Penilaiannya berdasar asesmen sama rata. Tidak ada orang lemot dan tidak lemot. Semuanya bergantung dengan bagaimana cara orang menerima informasi dan mengelolahnya.

Baca juga  RUANG TAMU

Begitu juga bergantung cara orang menyampaikan informasi. Ada orang pintar, tapi dia tidak bisa menyampaikan pemahamannya dengan mudah ke orang lain. Ada juga yang menurut orang biasa-biasa saja, tapi diam-diam ia mengetahui poin-poin apa saja yang perlu disampaikan ke orang.

Bisa saja ia lemot karena banyak faktor. Mungkin disebabkan ada masalah pribadi. Orang lain tidak boleh tahu, cukup dia saja yang tahu, sehingga menyebabkan ia kurang fokus menangkap suatu hal.

Kita juga kadang mengalami hal serupa. Ada kalanya kita lemot, ada pula momen kapan kita harus bergerak dan berpikir cepat. Jadi itu soal momen dan waktu saja.

Contohnya saat orang terlilit utang, susah bayar, sedangkan waktu yang bersamaan sudah jatuh tempo. Apa mungkin orang itu bisa fokus?

Sungguh tidak mungkin. Atau di saat itu ia habis bertengkar dengan istrinya. Apa mungkin juga ia bisa fokus maksimal terhadap informasi yang diterima?

Berusaha fokus dan tidak lemot itu pasti, tapi namanya juga manusia biasa. Ada satu titik kelemahan pada setiap masing-masing orang, dan saat satu titik itu tersentuh, bisa saja semua yang sudah direncanakan justru malah jadi runyam.

Bahkan terkadang lemot dan tidak lemot itu pilihan. Merealisasikan pilihan itulah yang bisa dibuat indikator lemot dan tidaknya seseorang. Artinya, di dalam kelemotan ada tanggung jawab yang harus diterima. Ketika orang sudah memilih, mau tidak mau itu sudah jadi kewajiban dan harus dilakukan. Lemot dan tidaknya itu yang dinamakan risiko.

Kesimpulannya, lemot itu tidak berasal dari anggapan. Asalnya memang harus ada bukti. Jika hanya berdasar asumsi, kemungkinannya ada dua. Orang itu benar-benar lemot atau orang yang menganggap lemot bersalah sangka terhadap dirinya atau biasa disebut efek Dunning Kruger. Kelihatannya benar, padahal sebenarnya tidak. ***

Baca juga  Menulis sama dengan Mencari Cinta

.

Menimbang Kembali Objektivitas Kata. Menimbang Kembali Objektivitas Kata .

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!