Oleh Ratih Rahayu (Rakyat Sultra, 11 Juli 2022)
BEBERAPA hari yang lalu umat Islam baru saja merayakan Iduladha. Iduladha merupakan salah satu hari besar umat Islam guna memperingati peristiwa kurban.
Peristiwa kurban adalah peristiwa ketika Nabi Ibrahim diuji Allah untuk mengurbankan putra kesayangannya, Nabi Ismail, sebagai wujud kepatuhan terhadap perintah Allah Swt. Saat Nabi Ibrahim telah bersedia dengan ikhlas mengurbankan putranya untuk disembelih, akhirnya Allah Swt. mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba.
Pada bulan Zulhijah, terdapat banyak ragam ibadah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh umat Islam, mulai dari puasa yang dimulai dari tanggal 1 hingga 9, melakukan salat Iduladha, menyembelih hewan kurban, dan memperbanyak amal ibadah lainnya. Khusus mengenai ibadah kurban, kaum muslimin yang mampu secara finansial dianjurkan untuk berkurban di hari Iduladha atau hari tasyrik.
Sebagai seorang pemerhati bahasa, ada beberapa hal menarik yang saya cermati dalam memperingati Iduladha yang layak dibahas dalam rubrik ini. Bila kita perhatikan berbagai kain rentang, iklan, atau tulisan di berbagai media, penulisan-penulisan kata Iduladha tersebut ditulis dengan jarak. Masyarakat pun lebih mantap menuliskan kata tersebut dalam pesan Whatsapp ucapan “Selamat Iduladha” menjadi dua kata, yaitu Idul dan Adha.
Sama halnya dengan penulisan Idulfitri, imbauan tentang cara penulisan yang tepat untuk kata tersebut telah disosialisasikan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan UPT-nya di daerah dalam berbagai media. Namun, masyarakat sepertinya lebih senang dan percaya diri menuliskannya secara terpisah. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jelas tertera kata yang baku adalah Iduladha, yang berarti ‘hari raya haji yang jatuh pada tanggal 10-13 Zulhijah yang disertai dengan penyembelihan hewan kurban (seperti sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu’.
Dalam buku yang berjudul Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia (2007), Abdul Gaffar Ruskhan menjelaskan bahwa Idulfitri berarti ‘hari raya berbuka’ yang terdiri atas unsur Id dan al-fitri. Pada posisi awal, Id yang menggunakan tanda harakat u (damah) semestinya menjadi unsur terikat yang tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, ketika diserap dalam bahasa Indonesia Idul harus ditulis serangkai dengan kata setelahnya.
Tidak sedikit masyarakat menyebut Iduladha dengan sebutan Idulkurban atau Lebaran Haji. Benarkan kedua bentuk kata tersebut? Dalam KBBI tidak ditemukan lema Idulkurban. Dengan demikian, kata tersebut termasuk kosakata yang tidak baku dan tidak disarankan untuk digunakan atau menjadi sinonim kata Iduladha. Sedangkan, kata Lebaran Haji termasuk kosakata yang sudah baku dan tercantum dalam KBBI. Namun, ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu cara penulisannya. Kata Iduladha, Idulfitri, dan Lebaran Haji, harus ditulis dengan huruf kapital di awal katanya.
Satu kesalahan lain yang masih sering ditemukan berkaitan dengan Iduladha adalah penulisan bulan Zulhijah (الْحِجَّةِ ذُوْ). Masih banyak masyarakat yang menuliskan bulan kedua belas dalam kalender Islam tersebut dengan Dzulhijah, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, atau Dulkaidah.
Perlu diketahui bahwa dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dijelaskan semua kosakata dalam bahasa Arab yang berawalan huruf ز (zai), ذ (zal), ظ (za) ditransliterasi dalam bahasa Indonesia menjadi z dan huruf ج (jim) menjadi j.
Penulisan kata tasyrik dalam paragraf kedua tulisan ini masih ditulis dengan huruf miring karena dalam KBBI lema tasyrik masih dirujuk pada kata hari. Beberapa pengertian kata hari pun tidak ada yang secara spesifik menjelaskan kata tasyrik yang berkenaan dengan bulan Zulhijah. Dengan demikian, kata tasyrik masih dianggap belum baku. Perlu kita ingat bahwa semua kosakata yang belum baku, baik dalam bahasa asing maupun bahasa daerah harus ditulis dengan huruf miring.
Perdebatan cara menuliskan kata serapan dari bahasa Arab memang sering menjadi polemik di masyarakat. Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa penulisan sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia akan mengubah makna aslinya.
Sesungguhnya penetapan kaidah transliterasi dalam bahasa Indonesia itu berguna untuk menyeragamkan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat sehingga kita memiliki bentuk serapan yang ajeg.
Keajegan bentuk penulisan kosakata serapan sudah dipertimbangkan agar sesuai dengan lidah orang Indonesia. Unsur asing tersebut juga diusahakan ejaannya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Pemanfaatan kosakata bahasa asing memang tidak dapat dihindari untuk pemodernan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memerlukan kosakata bahasa asing untuk gagasan-gagasan yang belum dikenal dalam khasanah budaya dan bahasa Indonesia.
Beberapa kosakata yang berkenaan dengan Iduladha adalah contoh kosakata yang diserap dari bahasa Arab karena tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Penyerapan yang dilakukan tentu saja tunduk pada kaidah bahasa Indonesia sehingga bentuk serapannya merupakan bentuk yang telah mengalami penyesuaian tulisan atau ucapannya, atau keduanya.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, tidak dapat dimungkiri bahwa munculnya kosakata serapan disebabkan adanya kontak budaya antarbangsa. Akibatnya, kontak bahasa pun terjadi sehingga bahasa nasional kita terpengaruh oleh banyak bahasa lain. Mulai dari bahasa Sansekerta, Arab, Jawa, Portugis, Belanda, hingga bahasa Inggris.
Namun, ada perbedaan yang berbeda dalam proses penyerapan zaman dahulu dengan zaman sekarang. Dulu, penyerapan suatu kosakata bersifat spontan berdasarkan cita rasa perorangan. Sekarang, di zaman yang segala sesuatunya direncanakan, pengembangan bahasa Indonesia pun dilakukan dengan perencanaan.
Hal tersebut menjadi dasar dibuatnya kaidah-kaidah penyerapan bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Penyerapan unsur bahasa asing diusahakan harus selektif dan bisa benar-benar mengisi kekosongan serta memperkaya khasanah bahasa Indonesia.
Pemakaian bahasa Indonesia di atas bahasa lain akan menunjukkan sikap dan pandangan hidup pemakainya. Masyarakat Indonesia sebaiknya memiliki kesadaran untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan penuh kebanggaan dan kesetiaan.
Salah satu caranya adalah mulai menggunakan bahasa ragam tulis yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan. Jika masyarakat Indonesia telah mampu setia dan bangga menggunakan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan modern, Indonesia mampu menjadi bangsa yang berdaulat di tanahnya sendiri.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat memberikan pencerahan bagi pembaca setia rubrik yang ditaja Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara ini. Selamat menikmati waktu bersama keluarga dan mencicipi hidangan spesial Iduladha bagi umat Islam Provinsi Sulawesi. ***
.
.
*) Ratih Rahayu. Peneliti Bahasa Badan Riset dan Inovasi Nasional, berdomisili di Bandarlampung.
.
.
Leave a Reply