Cerpen Kak Ian (Padang Ekspres, 10 Juli 2022)
SUDAH dua minggu ini penjual koran langgananku tidak memberi kabar. Apalagi mengantarkan koran-koran yang aku pesan setiap Minggu tiba. Bang Raihan, begitu panggilannya.
Jika kalian ingin tahu pula kenapa aku berlangganan koran padanya, karena ketidaksengajaanku. Saat itu, dirinya berkeliling di tempat aku tinggal. Aku saat itu sedang berolahraga pagi.
Kulihat koran-koran yang dijajakannya itu masih banyak dan dikepit di bagian ketiaknya. Akhirnya, kudekati saja dirinya, lalu aku membeli beberapa koran. Di koran itu ada rubrik “Sastra dan Budaya”.
Usai membeli koran-koran itu padanya—dan sebelum meninggalkan dirinya, aku pun memberikan tawaran baik padanya. Aku menawarkan diriku untuk menjadi pelanggan tetap untuknya. Setiap Minggu pagi, ia harus mengantarkan koran-koran pesanan untukku—dan aku pun memesan beberapa koran darinya.
Ada lagi alasan aku berlangganan koran padanya. Tak lain sekalian berbagi rezeki. Mungkin dengan caraku berlangganan koran tiap Minggu pagi, bisa menambah kepulan asap di dapurnya—dan itu jugalah yang mendasari aku untuk berlangganan padanya. Tapi lain cerita saat dua minggu dirinya tidak memberi kabar atau tidak mengirimkan koran-koran yang tiap Minggu pagi kupesan. Ke mana dirinya?
“Kulihat akhir-akhir ini kamu gelisah sekali, Mas?” tetiba Kinan mengejutkanku suatu hari saat aku berada di teras depan rumah.
“Eh, kamu, Sayang!” tukasku. “Aku sedang memikirkan penjual koran yang menjadi langgananku itu. Sudah dua minggu ini ia tidak mengirimkan koran-koran pesanan, apalagi mengabari lewat pesan singkat. Apakah kau mengetahuinya?” lanjutku.
“Tidak, Mas! Aku sendiri malah ingin menanyakan hal itu padamu. Tapi karena kamu duluan yang bertanya, ya kujawab memang aku tidak mengetahui keberadaannya hingga saat ini,” Kinan memberitahukan panjang lebar padaku.
Ternyata Kinan juga memikirkan ketiadaan si penjual koran itu—yang dua minggu ini tidak ada kabar. Apalagi mengirimkan koran-koran pesananku. Heran ke mana ia?
“Oya sudah, Sayang! Kalau begitu aku ke green house dulu,” kataku.
“Oya, nanti bawakan aku kopi usai Zuhur. Tapi jangan manis-manis, karena manisnya sudah ada pada dirimu,” lanjutku menggombali Kinan.
Kulihat Kinan salah tingkah. Pipinya mulai bersemu. Merah jambu. Setelah itu ia balik ke dalam rumah untuk menyiapkan makan siang nanti untukku.
***
Esokkan harinya, tetiba ponselku menerima pesan singkat dari nomor yang tidak kukenal. Pesan singkat itu kuterima saat aku sedang mengontrol tanaman hias sambil memberikan obat pengusir hama dengan menyemprotkannya. Akhirnya kuhentikan sejenak aktivitasku saat itu.
Mendapatkan pesan singkat tanpa nomor yang dikenali membuatku menjadi penasaran. Siapa si pengirim pesan singkat itu?
Sambil menyerumputkan kopi kubuka pesan singkat itu.
Assalamulaikum. Ini saya Mas. Saya Raihan! Maaf saya pakai nomor baru. Dikarenakan hape saya hilang saat pulang kampung untuk merawat ibu saya yang sakit. Tapi seminggu kemudian ibu saya meninggal. Mungkin karena faktor usia. Makanya, dua minggu saya tidak mengantarkan koran-koran pesanan Mas. Saya minta maaf ya Mas, baru bisa mengabarkannya.
Begitulah pesannya yang cukup panjang layaknya sepucuk surat. Penjual koran itu mengabariku tentang dirinya yang dua minggu tidak memberikan kabar apalagi mengirimkan koran-koran pesananku.
Aku yang pertama kali membacanya, seketika itu tanganku yang sedari tadi seperti menggenggam sekam lantas kukendorkan. Begitu juga hatiku yang saat itu sangat amarah lalu kucoba mendamaikan. Karena penjual koran itu sudah membuatku getar-getir. Dua minggu tidak ada kabar dan mengirimkan koran-koran pesanan. Tetiba, mengirimkan pesan singkat mengabari kehilangan ponselnya dan kabar duka ibunya yang meninggal. Tanpa memikirkan aku selama dua minggu.
Namun, saat aku kembali mencerna pesan singkat itu lagi, aku pun kembali mendamaikan hati dan pikiranku. Baiklah, untuk kali ini aku memaafkan dirinya karena situasi dan kondisi yang membuat dirinya seperti itu. Tidak mengabariku dan mengirimkan koran-koran pesanan.
Tidak apa-apa! Saya turut berduka cita atas kepergian ibu sampeyan. Tapi minggu besok saya mohon kembali kirimkan koran-koran pesanan saya seperti biasanya. Jangan sampai lupa!
Tidak ada balasan. Hanya centang biru.
***
“Benar-benar tidak bisa dipercaya kembali itu penjual koran. Memang bangsat!”
Ternyata penjual koran itu kembali tidak mengabariku apalagi mengirimkan koran-koran pesanan. Aku kembali diliputi amarah sekaligus kekecewaan yang tidak bisa ditoleran.
“Sialan! Si penjual koran itu kembali bikin ulah! Kembali tidak mengirimkan koran-koran pesananku,” umpatku saat aku sedang mengecek pesan singkat di ponselku.
Kinan yang melihat mukaku yang merah padam, membuatnya mulai khawatir. Ia takut aku akan melakukan hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi!
“Mungkin bang Raihannya lagi ada halangan kali, Mas. Kemarin saja ia mengabari jika ponselnya hilang dan orangtuanya meninggal,” kata Kinan meredakan amarahku.
“Tapi dia lama juga memberitahukan alasannya,” ketusku.
“Iya, aku tahu Mas. Tapi tidak semua orang dalam keadaan dan kondisi itu sama. Jika kita dalam segi keuangan tidak bermasalah. Tapi untuk mereka bisa saja puasa Senin-Kamis,” Kinan kembali mengademkanku dengan kata-kata lembutnya.
Perlahan-lahan tensiku mulai mereda. Aku menghela nafas panjang.
Usai itu, aku tidak lagi peduli dengan penjual koran itu.
***
“Siapa yang menelepon pagi-pagi sekali, Sayang?” tanyaku ketika tidak biasanya Kinan menerima telepon sepagi itu di ponselku. Kinan tidak langsung menjawab. Ia memberikan isyarat jemari telunjuk dengan bibir tipisnya ke arahku. Tanda aku untuk diam sejenak.
“Oh, kalau begitu bang Raihan lebih baik bicara saja sama suami saya. Kebetulan dia sudah di depan saya,” ucap Kinan dari balik ponselku.
Usai itu, ponsel pun beralih ke tanganku. Kemudian aku mendengar panjang lebar cerita si penjual koran keliling itu.
“Bos saya bangkrut, Mas! Sudah gulung tikar dan tidak lagi menjadi agen. Katanya gara-gara pandemi koran-koran sudah tidak laku lagi. Terus semua pada beralih baca di ponsel, sudah tidak perlu lagi koran. Bukan itu saja, saya pun punya banyak hutang pada bos saya itu. Makanya dari itu saya harus putar otak untuk bisa melunasi utang-utang saya juga.”
Degh. Mendengar cerita penjual koran itu aku terdiam sejenak. Memikirkan apa yang ia rasakan. Tentunya dengan ia berhenti menjual koran keliling, lalu dari mana mendapatkan pemasukan untuk keluarganya?
Aku jadi turut memikirkan nasib penjual koran itu.
“Baik, baiklah, saya bisa memakluminya. Saya tidak apa-apa dan juga tidak masalah jika tidak lagi baca koran cetak. Seharusnya, bukan sampean yang minta maaf. Saya yang minta maaf karena saya tidak bisa mengerti dan memahami keadaan sampean dalam kondisi saat ini. Iya tidak apa-apa.”
Seusai aku panjang lebar mendengar cerita penjual koran itu, ingatanku melayang pada masa silam. Saat aku masih berseragam sekolah. Saat itu, aku menjajakan koran untuk membiayai sekolah.
Lama aku menjajakan koran, akhirnya memiliki banyak pelanggan. Tapi ketika waktunya meminta tagihan langganan koran pada para pelanggan, kukira mudah ditagih. Ternyata, ada yang macet bahkan ada pula yang menghilang secara diam-diam.
Akhirnya, akulah yang kena getahnya. Orang yang makan nangkanya aku dapat getahnya. Aku harus menggantikan dan membayar utang-utang koran pada agen koran.
“Sudahlah, Mas, setiap apapun yang terjadi ada sebuah ibrah dan iktibarnya. Dan aku pun sudah tahu suka-duka sebagai penjual koran. Bukankah suamiku dulu mantan penjual koran juga,” tetiba Kinan menyentuh pundakku.
Lalu aku menoleh ke arahnya. Kulihat di paras ayunya tampak seperti mentari pagi yang terbit. Seketika itu aku pun tersadar jika aku ada janji seusai olahraga pagi. Aku ditunggu oleh calon pembeli tanaman hiasku.
Setelah aku berpamitan pada Kinan untuk bergegas olahraga pagi. Belum lama aku melangkah keluar rumah. Ekor mataku melihat ada satu ikatan koran-koran yang diikat rapi seperti apa yang dilakukan penjual koran langgananku, jika mengantarkan koran-koran pesananku. Karena pagi hampir menjelang siang aku tidak mengambil koran-koran itu? Apalagi memperhatikan jika ada sebuah pesan masuk di ponselku.
Saat itu pagi terasa muram. Walaupun mentari pagi begitu hangat menyinari dan asyik untuk membaca koran Minggu pagi di depan teras rumah. Tapi aku tetap tidak menyentuh koran-koran itu apalagi untuk membacanya. ***
.
.
KAK IAN, penulis, aktivis dunia anak, dan penikmat sastra. Karya-karyanya sudah termaktub di Koran Tempo, Kompas Minggu (Dongeng Nusantara Bertutur), Solopos, Suara Merdeka, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Surabaya, Fajar, Riau Pos, Pontianak Post, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, Majalah Balai Bahasa Lampung KELASA, Majalah Utusan dan lain-lain. Bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
.
Penjual Koran yang Meratapi Nasibnya. Penjual Koran yang Meratapi Nasibnya. Penjual Koran yang Meratapi Nasibnya.
Leave a Reply