Cerpen Dody Widianto (Radar Kediri, 10 Juli 2022)
“BOCAH bajang nggiring angin, anewu banyu segoro, ngon ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi gumarang (1) ….”
Di malam purnama di hari Anggara Kasih (2), ketika hitungan tanggal akan berganti beberapa menit lagi, sesaat ketika kidung Bajang Kerek dinyanyikan, setelah kemenyan dinyalakan dan kembang setaman (3) ditaburkan di atas leyeh (4) di sudut kamar, Kiwung menangkupkan kedua telapak tangan. Merekatkannya ke dada. Memejam mata.
Detik kemudian berhenti. Terbukalah pintu dari lain dimensi. Suara dari sana jelas terdengar. Memanggil namanya berulang-ulang. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Ini sebuah pilihan. Kiwung hanya ingin terus bertahan hidup di tengah gempuran wabah virus yang menyengsarakan. Duka masa lalu yang sengaja ia manfaatkan.
“Bapak, Bapak ….”
Sekali lagi, suara itu datang membawa salam kerinduan. Bocah yang seharusnya masih hidup dan terbuai dalam ayunan sekarang. Namun, sebuah perjanjian mengikatnya dalam satu ketentuan. Ia akan tetap menjadi bocah di alamnya sendiri. Membantunya dalam segala urusan. Walaupun ia pergi dalam kematian yang tak pernah diharapkan.
***
Di dalam toilet dengan pintu terbuka, Kiwung melirik jam di atas meja dapur. Jarum pendek hampir di angka tiga, jarum panjang bergelantungan di angka sembilan. Perutnya mulas. Berulang kali ia pergi ke belakang. Tak satu pun ada benda yang dikeluarkan dari saluran usus menuju pantatnya. Suara jangkrik dan burung kedasih tetiba terdengar bersahutan di belakang rumah.
Kiwung gemetar menahan nyeri di perutnya. Ini sudah yang ketujuh kali. Ketika ia memaksakan untuk berjongkok lebih lama dari tadi, keluarlah apa yang membuat mulasnya tak henti-henti. Ia lega. Lalu mengingat-ingat apa yang dimakannya. Namun, ketika dua matanya menunduk dan melihat apa yang ada di bawah sana, tubuhnya bergetar hebat. Bagaimana mungkin gumpalan darah yang hampir mirip anatomi bayi tiga bulan itu dikeluarkan dari pantatnya.
Hihhhhhhh …!
Kiwung terbangun. Tergagap. Sangat kaget. Napasnya tersengal. Mimpi yang sama untuk ketiga kali. Ia bingung harus berbuat apa. Istrinya ikut kaget dan terbangun karena teriakan itu. Melihat tubuh Kiwung tiba-tiba menggigil di sebelahnya. Ia paham, dengan sigap menarik selimut menutupi tubuh suaminya lalu memijat lembut pundak suaminya.
“Dari awal sebenarnya aku tak mau Mas.”
Kiwung hanya diam. Berusaha mengatur irama napasnya kembali. Melihat langit-langit kamar dengan tatapan hampa. Perlahan ia membayangkan yang telah lalu. Seandainya tak pernah ada malapetaka pandemi seperti ini, barangkali ia tak akan mengambil sebuah keputusan. Baginya, tak ada guna menangisi sebuah penyesalan. Istrinya awalnya tak setuju. Bagaimana mungkin bayi yang bersarang di dalam perut istrinya dan telah berumur tiga bulan direlakan untuk sesembahan. Sebuah ritual mengisyaratkan pengorbanan.
Kiwung terus meyakinkan istrinya. Tak ada cara lain mempertahankan bisnis rental mobilnya setelah pemerintah menganjurkan pelarangan bepergian. Pemasukannya benar-benar anjlok. Satu mobil telah mereka jual hanya untuk bisa tetap makan. Kiwung tak mau puluhan mobil yang lain juga ikut terjual. Ia ingat bagaimana dulu memulai bisnisnya hanya dengan tiga mobil pemberian mendiang orang tuanya. Ia seakan tak rela jika lambat laun usahanya di ambang kehancuran. Maka dini hari itu, ketika perjanjian telah ditetapkan di lereng gunung Arjuno, diantar oleh juru kunci, sampailah mereka di tempat yang telah dijanjikan.
“Kau siap?”
Istrinya tak menjawab. Semacam ada keraguan dalam dadanya. Namun, ia benci miskin. Ia ingat dulu bagaimana diri dan suaminya dihina para keluarga yang lainnya. Hanya mereka yang hidupnya sengsara dan banyak berutang pada orang-orang. Saudara suaminya banyak yang berhasil jadi polisi, pengacara, bidan, juga guru. Hanya suaminya yang kerja serabutan.
“Ini pilihan. Percayalah. Setelah ini kita akan punya anak lagi.”
Setelah ritual dilakukan dan mahar telah disiapkan, mendadak ada yang aneh di dalam perut istri Kiwung. Ia seperti mengeluarkan sesuatu dari rahimnya.
“Kenapa aku tak sakit sama sekali ya, Ki?”
“Aku hanya mengambil jiwanya, bukan raganya. Setelah ini ia akan membantumu dalam mencari rezeki.”
“Apa setelah ini aku bisa punya anak lagi, Ki?”
Kiwung mencubit lengan istrinya. Dari mata Ki Anom yang membantunya mengisyaratkan untuk tidak mempertanyakan hal lain di luar apa yang mereka inginkan. Kiwung menempelkan telunjuk ke bibir istrinya. Mengajaknya langsung pulang setelah mahar diberikan.
Setelah ritual dilakukan, memang bisnisnya tetap bertahan. Bahkan cenderung meningkat dari yang sebelumnya. Ada saja wisatawan dari Semarang, Surabaya, Solo, dan kota-kota besar lainnya tiba-tiba menelepon dirinya dan menanyakan harga sewa mobil untuk jalan-jalan ke Madiun, Bromo, Gunung Semeru, dan sekitarnya. Ia bangga. Bisnisnya tak jadi berakhir hampa. Namun, detik itu juga, dimulailah petaka demi petaka.
Di dapur, istrinya sering diganggu kedatangan seorang bocah. Awalnya ia tak paham itu siapa. Melihat seorang bocah tanpa busana dengan tubuh masih merah darah keluar dari pintu kamar mandi. Menatapnya lekat-lekat lalu tiba-tiba ingin memeluknya. Namun, melihat wajahnya yang gompal dan rusak, tidak perlu bertanya istri Kiwung akan berteriak seperti apa.
Saat itu Kiwung tak di rumah. Tabuh zuhur baru saja berkumandang. Istrinya berlari masuk kamar dan menggigil ketakutan. Ia bergidik ngeri membayangkan apa yang baru dilihatnya tadi. Berkali-kali ia lantunkan ayat-ayat Ilahi yang ia bisa, tetapi itu semua seakan tak berguna. Hatinya masih saja tak tenang. Sangat paham bocah tadi siapa dan ia telah berlaku salah.
Di hari selanjutnya saat malam hari tiba, ketika suaminya baru pulang, ia tak ingat itu adalah malam purnama di hari Anggara Kasih. Malam yang seharusnya mereka ingat untuk sebuah larangan. Kiwung malah mengajaknya ke kamar. Lewat kedipan, istrinya paham apa yang Kiwung inginkan.
“Dulu, waktu aku kecil dan sering menangis, Buyut sering mendongengiku tentang suara Bajang Kerek yang mirip gangsir. Buyut sering menyanyi kidung Bajang Kerek jika aku menangis. Kata Buyut, Bajang Kerek terlahir dari bayi-bayi yang sengaja digugurkan dan senang menculik anak-anak yang nakal dan hobi menangis.
Cerita itu membuatku berhenti menangis karena takut dan tenang sesaat walau aku tak begitu percaya. Kini setelah dewasa lalu di perutmu telah tertanam benih yang seharusnya menggambarkan kesempurnaanku sebagai laki-laki, aku malah memercayai cerita itu. Sekarang, kau masih ingin punya anak lagi bukan?”
Kiwung berucap manja sambil mengedipkan mata di pangkuan istrinya. Ia tak dapat menolaknya. Dua manusia beda jenis terbiasa lupa diri ketika hanyut di dalam berahi.
***
Subuh hari, Kiwung baru saja pulang. Badannya terasa pegal-pegal. Ingin sekali ia berendam dan mandi di air hangat. Entah kenapa ia mau mengantarkan tamunya sampai pedalaman Ponorogo daerah selatan. Kebetulan tak ada jadwal karyawannya yang kosong hari itu. Terpaksa ia sendiri yang mengantarkan tamunya.
Selesai memarkir mobil di garasi dan ingin mengetuk membangunkan istrinya, ia mengerutkan dahi, kenapa pintu depan tidak terkunci. Ketika ruang tamu dibuka, vas bunga terlihat pecah berhamburan di lantai. Sofa dan meja kaca pecah terbalik saling berpelukan. Dahi Kiwung terangkat. Memikirkan sesuatu telah terjadi. Ia gegas berlari menuju kamar.
Kiwung menggeser mundur kakinya. Mulutnya sedikit menganga. Pantas saja telepon darinya tak diangkat-angkat. Tubuh Kiwung mendadak lemas. Di tangannya kunci mobil masih tergengggam erat. Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh hebat.
Perlahan, ia meyakini jika penyesalan selalu datang belakangan. Bagaimana mungkin kerakusan akan harta membuatnya melakukan hal-hal yang tak pernah ia duga lalu berujung petaka.
Tubuhnya layu bersandar di depan pintu kamar. Dari ujung matanya keluar air tanpa kehendaknya. Pipinya basah untuk beberapa saat. Ia masih tak sanggup untuk berkata-kata. Melihat tubuh istrinya menggantung dengan leher terlilit jarik yang mengait di ventilasi pintu kamar, dengan sorot mata tajam ke arahnya. Seakan menyimpan dendam.
Dada Kiwung terasa panas. Ia ingat bagaimana dulu isi kesepakatan dengan Ki Anom. Tak ada nyawa istrinya dalam kamus perjanjiannya.
Maka ketika ia masih terduduk lemas melihat tubuh istrinya yang masih menggantung, ia melihat parang yang selalu terselip di belakang pintu kamar. Matanya menyala. Ia bangkit. Mengambil parang lalu segera keluar dengan dada membara. ***
.
.
Keterangan:
(1) Tembang bahasa Jawa tentang anak bajang yang punya tekad kuat, ada kebodohan dalam diri anak bajang yang sekaligus punya kepintaran dan keberanian
(2) Selasa Kliwon
(3) Kumpulan beberapa bunga, biasanya mawar, melati, kantil, kenanga, dan daun pandan
(4) Cobek
.
.
Dody Widianto. Penulis lahir di Surabaya. Karya cerpennya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional. Penulis bisa ditemui di IG: @ pa_lurah.
.
Bajang Kerek.
Leave a Reply