Cerpen, Koran Tempo, Wendoko

Kuta, Setahun Kemudian

Kuta, Setahun Kemudian - Cerpen Wendoko

Kuta, Setahun Kemudian ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

1.5
(2)

Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 05 Juni 2022)

DIA masih di teras kafe ini. Jam 05.10 pm, atau di pulau ini biasa disebut jam 17.10. Matahari menghunjam ke bangunan-bangunan ruko dan pohon-pohon palem di Kuta Square. Sekarang pertengahan musim kemarau di Bali.

Jam 05.10 pm. Berarti belum lima belas menit dia duduk di teras kafe ini. Tapi rasanya lama sekali.

Dia melihat laki-laki berkemeja pantai motif daun, dengan dua kancing terbuka, duduk di dekat pintu. Rambut pirangnya diikat ke belakang. Laki-laki itu seperti termangu, dengan earphone menancap ke telinga. Di sebelah kanan, dua laki-laki muda—keduanya berkaus buntung dan bercelana tiga perempat—saling mengoceh sambil menggoyangkan tangan. Di dekat kedua laki-laki itu, seorang perempuan duduk menghadap ke trotoar. Dia hanya melihat rambut pendek perempuan itu yang hitam pekat, blus cokelat muda yang lebih muda dari warna kulit, dan rok longgar bermotif ombak.

Meja-kursi di teras kafe ini hampir penuh. Dia mendengar orang-orang bercakap dalam suara rendah. Dia melihat orang berlalu-lalang di trotoar. Di depan teras kafe mereka agak menepi ke pinggir trotoar. Sesekali mobil atau sepeda motor melintas di jalan.

Jam 05.15 pm.

Udara agak gerah, meski air cooler di sudut teras kafe sejak tadi mendengung.

Di belakang perempuan yang menghadap ke trotoar, ada laki-laki dan perempuan paruh baya di satu meja. Keduanya diam. Si laki-laki menyedot minuman dan si perempuan—yang memakai blus abu-abu tanpa lengan—seperti merengut. Di depan mereka, anak perempuan itu menyantap es krim.

Agak ke kanan, dia melihat tiga perempuan muda bergerombol di satu meja. Dua perempuan sedang bercakap. Apakah mereka kembar? Keduanya berkulit putih, sama-sama berambut pirang, memakai pewarna bibir yang sama, dan kaus hijau pupus yang sama. Sementara perempuan ketiga diam, merokok, dan memandang ke samping. Rambut cokelatnya setengah menutupi mata.

Jam 05.18 pm.

Dia berpikir, apakah perempuan berambut cokelat itu tengah memandang ke arahnya?

Agak ke sudut, perempuan berwajah bulat itu sedang mengikat rambut. Lalu satu tangan menyangga dagu dan jari-jari tangan bermain-main di dagu. Laki-laki di sampingnya mendekat dan berbisik. Keduanya tertawa.

Dia tersenyum. Setelah satu tahun, Kuta Square tak berubah—atau rasanya tak ada yang berubah. Bangunan-bangunan ruko berderet di kedua sisi jalan, yang terpisah oleh pembatas kansten selebar 60 sentimeter. Di tengah pembatas kansten itu ada tanaman semak dan pohon palem. Dia melihat etalase-etalase dalam berbagai ukuran dan bentuk, lalu papan-papan reklame. Orang berlalu lalang di trotoar atau menyeberang jalan. Beberapa mobil dan sepeda motor melewati jalan konblok, yang cukup untuk satu mobil setelah dikurangi tempat parkir.

Jam 05.21 pm.

Di sampingnya, tiga pengunjung kafe—dua perempuan dan satu laki-laki—sedang memesan minuman.

Mint, almond, lemon….”

“Bagaimana kalau air soda?”

“Ah, ya! Air soda dengan sirop almond.”

“Hmm, tidak buruk. Aku minta teh lemon es.”

“Jus markisa.”

“Satu air soda dengan sirup almond, satu teh lemon es, dan satu jus markisa. Pesanan segera datang.”

Pramusaji itu melekatkan sepotong kertas ke tepi meja.

Perempuan yang duduk menghadap ke trotoar berdiri dan berjalan ke trotoar. Seorang perempuan muda menggantikan tempatnya. Rambutnya acak-acakan. Kaus putihnya yang longgar melorot ke bahu. Pramusaji mendekat, mengelap meja, meletakkan buku menu, dan mengangkat gelas.

Orange juice, please.”

Perempuan yang baru datang itu bahkan tak menengok ke buku menu.

Perempuan itu duduk, mengeluarkan buku dan pulpen dari tas ransel, lalu mulai mencoret-coret. Sebentar kepalanya terangkat, memandang ke trotoar, lalu kembali mencoret-coret.

Jam 05.26 pm.

Dia berpikir, apa ada persoalan dengan jam tangannya?

Orang-orang bercakap. Tertawa ringan. Orang-orang berlalu-lalang di trotoar.

Laki-laki paruh baya di depan anak perempuan yang menyantap es krim itu menggeleng. Tidak, katanya. Perempuan di sampingnya melengos.

Perempuan muda yang diam dan merokok itu sekarang menoleh pada dua kawannya yang masih bercakap. Dia menyibakkan rambut. Matanya biru atau kehijauan. Sangat kontras dengan kulitnya yang cokelat.

Baik, akan kupikirkan lagi. Perempuan yang tadi melengos sekarang tersenyum.

Jam 05.29 pm.

Jam 05.29 pm? Sebentar lagi jam 05.30 pm. Apakah Luna akan datang?

Dan dia mengingat. … Setahun yang lalu, dia bertemu perempuan bernama Luna di teras kafe ini. Perempuan berumur 25 tahun, bertubuh ramping, berkulit sangat bening, berwajah oval, dan mata agak sipit. Waktu itu sekitar jam 10.00 pm, dan Luna muncul di depannya di tengah gerimis. Rambut dan jaket tipis perempuan itu agak basah. Luna menyodorkan buku koleksi foto yang baru satu setengah jam lalu didiskusikan di Times, toko buku tak jauh dari kafe ini—dan Luna meminta tanda tangannya. Malam itu, dia memang berada di Bali atas undangan Times, untuk mendiskusikan buku koleksi foto yang sudah membawanya ke pelbagai ekshibisi itu, atau menjadi pembicara di depan banyak komunitas fotografi.

Setelah menandatangani buku itu, mereka mengobrol sambil menunggu gerimis reda. Luna berkata, waktu tiba di Times, ternyata acara diskusi sudah selesai. Manajer Times memberi tahu bahwa dia baru saja berjalan ke arah ini, dan Luna terus mengejarnya hampir di sepanjang Kuta Square. Lalu turun hujan. Setelah hujan reda, Luna berbalik ke arah Times dan tak sengaja melihatnya di teras kafe ini. Malam itu perempuan yang 10 tahun lebih muda itu juga menanyakan teknik memotret matahari terbenam, tapi tak paham penjelasannya.

Setengah jam kemudian mereka meninggalkan teras kafe dan berjalan ke arah Pantai Kuta. Sebetulnya dia ingin mengantar perempuan asal Melbourne itu sampai ke hotel tempatnya menginap, tapi ternyata mereka menginap di hotel yang sama, yaitu Mercure Kuta….

Pramusaji meletakkan gelas berisi cairan kuning di samping perempuan yang sedang mencoret-coret.

Baca juga  Ama Tewo

“Jus markisa.”

“Hei, aku memesan jus jeruk!”

“Oh, sorry!

Pramusaji meletakkan gelas lain yang berisi cairan jingga, lalu mengangkat gelas berisi cairan kuning dari meja.

Jam 05.35 pm.

… Malam itu mereka mengobrol di lounge hotel. Sekitar jam 00.30 am, dia mengantar Luna sampai ke pintu kamar dan mengucapkan selamat malam. Esok pagi dia menelepon ke kamar Luna untuk mengajaknya sarapan, karena setelah sarapan dia harus ke bandara dan terbang ke Kuala Lumpur. Ternyata Luna sudah di restoran hotel. Pagi itu mereka sarapan di meja yang sama, dan sebelum masuk ke mobil yang menunggu di depan hotel, dia memeluk dan mencium perempuan itu.

“Sampai bertemu, Luna,” katanya.

Setelah hari itu, dia tak bisa memahami reaksinya yang spontan itu. Kenapa tiba-tiba dia memeluk Luna, padahal malam sebelumnya dia sudah menjaga jarak karena—bagaimanapun—perempuan itu hanya seorang fan? Dia tak mengerti. Kadang dia berpikir, apakah karena kenangan itu? Tiga atau empat tahun yang lalu dia kehilangan perempuan lain, yaitu Naomi, di Bali—yang pergi begitu saja dan sejak itu seolah-olah raib dari bumi. Dia berpikir, apakah karena Luna sangat mirip dengan Naomi? Sama-sama bertubuh ramping, berkulit bening, dengan wajah oval dan mata agak sipit? Ketika bertemu pertama kali, dia kaget karena mengira Luna adalah Naomi. Umur mereka pun tak terpaut jauh. Hanya saja bentuk hidung dan mulut Luna tidak sama dengan Naomi.

Sejak hari itu mereka saling mengontak. Dia yang pertama-tama mengontak Luna. Dia kerap mengirim pesan, dan beberapa kali melakukan panggilan video—dari banyak kota dan negara. Sebagai fotografer profesional, dia memang kerap bepergian, dan karena itu tak punya jadwal yang tepat.

Lalu sebulan yang lalu dia mengajak Luna bertemu di pulau ini, di kafe ini….

Dua laki-laki berkaus buntung dan bercelana tiga perempat itu berdiri. Pramusaji yang tadi mendekat, mengelap meja, menaruh gelas-gelas ke nampan, lalu sebentar mendekatkan tangan ke mulut.

Apakah pramusaji itu baru saja menguap?

Jam 05.41 pm.

Miss, jam berapa sekarang?” Dia bertanya kepada pramusaji lain yang lewat di sampingnya.

“Jam 17.40, Sir.”

Jadi tak ada persoalan dengan jam tangannya!

Dia mulai gelisah. Lalu dia memandang ke trotoar. Orang berlalu-lalang, tapi tak satu pun yang dikenalinya.

… Empat tahun yang lalu, berdua dengan Naomi, mereka berlibur di Bali—juga pada pertengahan musim kemarau. Itu adalah kunjungan pertamanya ke Bali, setelah beberapa tahun dia hanya mendengar dari kawan-kawannya tentang pulau ini. Selama tiga hari, dia sudah mendatangi Pantai Sanur, Nusa Dua, Ubud, dan tentu saja Pantai Kuta karena mereka menginap di Mercure Kuta. Masih banyak tempat yang akan didatanginya, dengan peralatan memotret, tapi setelah tiga hari tiba-tiba Naomi pergi.

Malam itu, waktu dia kembali dari memotret di Pantai Kuta, dia mendapati kartu terlipat di kamar hotel. Pesan dari Naomi. “Aku pergi”. Lalu coretan yang ditulis tergesa, “Mari kita berjanji untuk bertemu di pulau ini setahun lagi, pada hari dan jam yang sama seperti malam itu, di bungalo tempat kita bersantap malam. Jika salah satu dari kita tidak muncul hari itu, berarti kita sudah membuat keputusan.”

Dia terperangah, sekaligus tak mengerti. Tapi tampaknya Naomi bersungguh-sungguh dengan pesan itu. Sejak malam itu, dan hari-hari sesudahnya, dia tak bisa menghubungi Naomi. Dia menelepon, mengirim pesan, surel, atau apa saja—tapi tak satu pun yang tersambung atau dijawab….

Jam 05.46 pm.

Dia makin gelisah. Lalu dia berdiri dan mengamati orang-orang di trotoar.

Baca juga  Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

… Waktu itu dia berpikir, apakah Naomi tengah menguji dirinya, atau menguji sesuatu? Itu pikiran yang pertama-tama muncul jika dia mencermati pesan Naomi. Dia tak mengerti. Lebih dari setahun dia bersama perempuan itu, dan selama itu hubungan mereka baik-baik saja. Akhirnya dia memutuskan untuk menuruti kemauan Naomi. Setahun kemudian dia kembali ke Bali. Dia memesan kamar yang sama di Mercure Kuta. Juga bungalo yang sama untuk bersantap malam. Hari itu, tiga tahun yang lalu, sampai larut malam Naomi tidak muncul….

Sekarang, apakah kenangan itu akan berulang?

Dua orang bersepeda melintas di jalan.

Sebuah mobil melintas.

Jam 05.50 pm.

Lalu, lewat sudut matanya, dia melihat seseorang mendekat. Dia hampir tak menyadari, karena sedang memandang ke arah lain.

“Zack, maaf, aku terlambat.”

“Hei, Luna!”

Kali ini dia tak ragu memeluk dan mencium perempuan itu.

“Pesawatmu terlambat?”

Dia menggeser kursi. Luna memakai kaus merah marun dan rok longgar 20 sentimeter dari mata kaki. Rambut sebahunya dibiarkan lepas.

“Tidak. Perjalanan dari bandara kemari yang tersendat. Terima kasih sudah memesan kamar untukku di Mercure Kuta. Jadi aku tak perlu berlama-lama di hotel.”

Dia tersenyum. Dia memang tak menjemput ke bandara, karena dia ingin bertemu Luna di kafe ini—di tempat mereka pertama bertemu. Tapi mereka hanya menginap semalam di Mercure Kuta. Dia sudah memesan kamar di sebuah hotel kecil di Kintamani, sekitar dua jam berkendara dari Kuta. Seorang kawan pernah bercerita panjang-lebar tentang hotel itu. Kata kawan itu, ada hotel kecil di Kintamani dengan pemandangan ke danau dan Gunung Batur. Hotel itu kecil, tapi nyaman dan sangat mengesankan melihat matahari terbit atau tenggelam dari balkon kamar atau teras restoran di tengah udara yang dingin-sejuk. Pemiliknya sepasang suami-istri yang ramah. Kintamani cocok untuk berlibur, kata kawan itu, dan banyak yang bisa dilakukan di sana. Mulai dari menyeberang danau dengan perahu motor, mendatangi sumber air panas, mendaki gunung, atau sekadar bersepeda menjelajahi desa-desa.

Dia sudah membuka situs web hotel itu, lalu melakukan reservasi. Dia memang tak berbicara dengan “sepasang suami-istri yang ramah” itu, tapi dengan putra mereka yang dipanggilnya Kadek. Dan dia belum memberi tahu apa-apa pada Luna. Mungkin nanti malam….

“Oh ya, kau minum apa?”

“Tidak.”

“Eh, setahun lalu kau juga menolak waktu kutawari minum di kafe ini.”

Luna tertawa renyah.

“Kalau begitu, kita berjalan-jalan ke pantai. Nanti kita bisa mencari tempat makan di sana.”

“Baik. Mudah-mudahan aku masih bisa melihat matahari terbenam,” kata Luna.

Matahari terbenam? Setahun lalu Luna juga bertanya tentang matahari terbenam, lalu teknik memotret matahari terbenam. Mungkin sekarang dia bisa menjelaskan dengan mencontohkan Pantai Kuta.

Mereka berjalan ke trotoar.

***

PEREMPUAN ITU membuka pintu kamar di Kuta Paradiso. Kamar itu kosong. Berarti Elle belum kembali dari sesi pemotretan di Gianyar.

Perempuan itu menaruh tas selempang di ranjang. Udara dingin di lobi hotel, dan sekarang di kamar ini, mulai membuatnya nyaman. Hampir jam 06.30 pm, tapi udara di Bali panas menekan dan dia merasa gerah. Dia lalu membuka pakaian dan masuk ke kamar mandi.

Guyuran air dingin dari pancuran itu mulai membuatnya agak tenang. Sambil bertumpu ke dinding marmer, dia membiarkan air dingin menyiram kepalanya. Sore ini dia hampir berpapasan muka dengan laki-laki itu, setelah empat tahun.

Setengah jam yang lalu, waktu dia berjalan sendiri di sepanjang Kuta Square, dia merasa melihat seseorang yang dikenalnya di teras Dulang Café—kafe yang pernah disinggahinya empat tahun lalu. Ketika itu dia di seberang jalan, lalu dia menyeberang. Tentu akan menyenangkan bertemu orang yang dikenal di pulau ini, begitu dia berpikir. Setelah hanya berjarak beberapa meter dari Dulang Café, dia mengenali laki-laki itu—laki-laki yang duduk sendiri itu—adalah Zackary.

Baca juga  Laki-laki yang Tersedu

Lalu dia melihat Zack berdiri dan memandang ke trotoar. Lalu dia melihat seorang perempuan mendekat dan mereka berpelukan. Lalu mereka duduk mengobrol dan sebentar kemudian mereka berdiri dan berjalan ke arahnya. Dia menunduk dan agak menepi ke pinggir trotoar. Bahunya sempat bersinggungan dengan Zack, tapi Zack tak menyadarinya.

Sekarang perempuan itu membiarkan air dingin menyiram mukanya.

Laki-laki itu adalah Zackary, fotografer terkenal itu. Tapi lebih dari fotografer terkenal, empat tahun lalu Zack adalah kekasihnya. Dia masih mengingat dengan sangat jelas, ketika empat tahun lalu dia melihat Zack untuk terakhir kalinya. Waktu itu mereka berlibur di Bali. Sore itu Zack berkata akan memotret di Pantai Kuta. Dia memilih tidak ikut, karena jika sedang memotret, Zack akan lupa pada apa saja. Dia memilih berjalan sendiri di Kuta Square, tak jauh dari hotel tempat mereka menginap di Mercure Kuta.

…. Sore itu dia singgah ke sebuah bar kecil yang dipenuhi pengunjung. Setelah duduk dan memesan bir, dia melihat hampir seluruh pengunjung bar adalah orang-orang muda. Suara musik agak keras, ditingkah suara orang bercakap-cakap.

Pramusaji berlalu-lalang

Lalu, setelah beberapa saat, seseorang mendekat.

“Hei, Naomi! Masih ingat aku?”

Dia memandang perempuan bertubuh jangkung, sangat langsing, dan berkulit agak gelap yang tiba-tiba berdiri di depannya. Rambut hitam perempuan itu mengombak dan tatapan matanya redup.

“Eh, kau fotomodel itu, ya?”

Dia teringat Zack pernah memotret perempuan ini.

“Benar! Aku Elle. Apa kabar, Naomi?”

Mereka bersalaman. Lalu perempuan itu duduk di sampingnya.

“Sedang apa di Bali?”

“Berlibur. Dengan Zack.”

“Zackary?”

“Ya.”

“Ah, fotografer itu.”

“Kamu? Sedang apa di Bali?”

“Berlibur juga, setelah seminggu di Perth. Di mana Zack?”

“Sedang memotret di Pantai Kuta.”

“Sampai kapan di Bali, Naomi?”

Dan dia tersentak, ketika Elle tiba-tiba mengelus pahanya. Bukan tersentuh, atau menyentuh, tapi betul-betul mengelus. Dia terkesiap. Tatapan Elle yang redup langsung menghunjam ke matanya. Beberapa saat dia terpaku.

“Kau tahu lagu ini, Naomi?”

… The Girl from Ipanema.”

Dia menjawab agak terbata-bata.

“Mulai sekarang, ini lagu kita. Jangan membuat aku patah hati, please.”

Elle meletakkan sesuatu di meja. Dia hanya perlu melirik sekilas untuk mengetahui sesuatu itu adalah lembar tisu dengan sederet angka. Mungkin nomor telepon.

Elle pergi.

Lalu dia melewatkan sisa hari itu dengan pikiran kacau. Dia gelisah, meski di depan Zack dia bersikap wajar. Esok, waktu Zack kembali ke Pantai Kuta untuk memotret, dia mengemas barang-barangnya dan pergi….

“Naomi, itu kamu?”

“Ya!”

Elle sudah kembali.

Dia mulai menyabuni tubuhnya.

… Sebetulnya empat tahun yang lalu dia tidak ke mana-mana. Dia tetap di Bali, setelah menelepon Elle. Dia memang meninggalkan pesan untuk Zack, agar mereka bertemu di Bali setahun kemudian. Ketika itu dia merasa kalau dia membutuhkan waktu, sekaligus untuk menguji dirinya sendiri. Tetapi setahun kemudian—jadi tiga tahun yang lalu—dia memilih tak kembali pada Zack….

Sebetulnya dia agak bingung waktu melihat Zack di teras Dulang Cafe. Dia tahu laki-laki itu melankolis. Zack tak akan kembali ke tempat di mana ada kenangan pahit di sana. Tapi Zack kembali ke Bali. Apakah karena perempuan itu?

Sekarang, setelah empat tahun, apakah dia masih membutuhkan waktu? Atau masih menguji dirinya sendiri?

Elle masuk ke kamar mandi.

“Bagaimana pemotretanmu?”

“Baik. Dan aku capek. Karena itu aku butuh penyegaran.”

Elle mendekat dan mereka berci***n. ***

.

.

WENDOKO menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya, Gerimis di Kuta, terbit pada 2018.

.

Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian. Kuta, Setahun Kemudian.

Loading

Average rating 1.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!