Ayna Indiera, Cerpen, Koran Tempo

Menunggu Sum

Menunggu Sum - Cerpen Ayna Indiera

Menunggu Sum ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

4.6
(10)

Cerpen Ayna Indiera (Koran Tempo, 24 Juli 2022)

INI hari kesepuluh kamu tidak masuk sekolah, Sum. Kursi dan mejamu sengaja dibiarkan kosong. Teman-temanmu juga tidak mau menempatinya. Kalaupun ada, aku akan memintanya mencari tempat lain yang bisa ia duduki. Tempat itu khusus untukmu. Kupikir mungkin suatu saat kamu akan datang sembari menyelempangkan tas berwarna biji kemiri di bahumu.

Hari ini aku berencana mengajarkan matematika kepada teman-temanmu. Aku butuh bantuanmu untuk menerangkan kepada mereka tentang bangun ruang yang telah kamu pelajari lebih dulu dari sebuah buku yang kamu temukan di tempat sampah.

Masih ingatkah kamu ketika pertama kali memamerkan buku itu kepadaku? Tiga bulan lalu, kamu datang dengan senyum bunga matahari dan matamu berkilau. Aku bertanya apa yang membuat senyummu merekah dan matamu cerah? Tetapi kamu malah menyembunyikan kedua tangan di pinggul dan menggoyang-goyangkan badanmu. Senyummu menjadi lucu, sebab hidungmu mengembang seperti adonan donat, dan kedua lubangnya bagai dua buah terowongan gelap. Aku bertanya lagi, apakah kamu baru saja bertemu dengan anak lelaki tampan? Bibirmu mencebik.

“Di tempat saya mana ada anak lelaki yang tampan, Bu.”

“Lantas karena apa?”

Cuping hidungmu kian mekar dan badanmu bergoyang ke kanan dan kiri. Kamu memintaku menebaknya. Jika berhasil, kamu akan mentraktirku sebungkus salome isi telur puyuh. Harganya hanya tiga ribuan dan tentu saja aku bisa membelinya dengan uang sendiri. Tetapi, demi menghargai senyum bunga mataharimu itu, Sum, aku berusaha menebaknya.

“Kamu menemukan uang di jalan?”

“Kamu libur membuat bata?”

“Bapakmu mendapat bantuan uang dari kecamatan?”

“Ayammu bertelur empat?”

Sudah banyak jawaban kusebut, tetapi kedua tanganmu selalu membentuk huruf X. Karena itu, aku menyerah. Tidak menjadi masalah meskipun aku tidak mendapatkan sebungkus salome.

Matahari sudah mengecup kening kita. Aku bilang, kita harus menyudahi permainan tebak-tebakan itu. Kawan-kawanmu harus belajar. Kamu juga. Kalian harus belajar supaya jadi orang pintar. Tidak usah muluk-muluk menjadi insinyur atau dokter. Paling tidak, kelak kalian tidak mudah kena tipu. Bukankah kamu pernah bercerita bahwa karena tidak bisa baca-tulis, bapakmu kerap kena tipu?

Akhirnya kamu juga menyerah. Kamu membuka ritsleting tas, lalu mengeluarkan sebuah buku berwarna hijau. Pada sampulnya tertulis “Matematika 6” karya Sukahar dan Siti M. Amin. Matamu kian berbinar, seolah-olah buku itu memantulkan cahaya berlian ke kedua bola matamu. Katamu, sekarang pelajaranmu sudah naik tingkat. Kamu tidak lagi bermain pada penjumlahan angka belasan, tetapi kamu akan menghafal sebuah rumus dan kamu menggunakannya untuk menghitung berapa volume dalam 1 batu bata. Kelak kamu juga akan menghitung berapa banyak batu bata yang akan ditumpuk untuk sekali pembakaran.

Baca juga  Liang Kubur Eksekutif

Sungguh aku menyukai kilau matamu itu, Sum. Aku rasa semua guru akan merasakan hal yang sama jika memiliki murid sepertimu.

Hari itu kamu tidak membawa Jun, adik lelakimu yang masih berumur dua. Biasanya kamu menggendongnya sejak dari rumah dan baru diturunkan bila sudah berada di dalam kelas. Seperti kamu, kuku-kuku Jun selalu penuh tanah liat dan liurnya sering kali membasahi bajunya, juga bajumu. Rambutnya sewarna abu. Ketika aku penasaran apakah warna rambut di dalam kerudungmu juga sama, kamu tersipu malu. Pertanyaan itu memang tidak sepantasnya kutanyakan kepada seorang bocah seusiamu, yang buah dadanya mulai membentuk anak bukit, dan kamu marah setiap kali Jun menyentuhnya. Entah kenapa aku merasa adikmu itu lebih lengket denganmu ketimbang ibu kalian. Dia selalu ikut ke mana pun kamu pergi. Namun hari itu kamu bilang, Jun tidak boleh mengganggu pelajaranmu untuk sementara waktu. Kamu akan belajar matematika. Kamu mulai menyukai pelajaran matematika dan berharap bisa segera memahami isi buku itu.

Pukul 11 tadi matahari bersiap-siap memukul ubun-ubun kami, tetapi teman-temanmu kesulitan menangkap pelajaran. Salah seorang dari mereka bertanya kenapa hari ini aku tidak mengajarkan bahasa Indonesia atau membuat prakarya dari daun pisang saja? Katanya, biarlah kamu saja yang belajar matematika. Mereka ingin belajar bahasa Indonesia. Orang-orang di kampung kalian, selain buta huruf, tidak pandai berbicara dengan bahasa Indonesia, meskipun mereka lahir dan hidup di negeri ini. Bapakmu termasuk di dalamnya, bukan? Kami pernah bertemu di Pasar Manggar. Ia sedang membeli ikan bete-bete karena harganya murah dan kalian jarang makan ikan. Ia tampak kesulitan menjelaskan, sementara ibumu tersipu malu mendengar pengakuan bapakmu. Perempuan itu menundukkan kepalanya saat tersenyum. Rupanya ibumulah yang mewariskan senyum lucu itu kepadamu.

Kamu tahu, Sum? Kadang, tiba-tiba saja aku mendengar suara kertas tersibak dari meja belajarmu. Kadang juga aku mencium bau tanah basah menguar di kelas ini. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencarimu. Sesekali aku membayangkan kamu berada di kursimu lalu membuka buku, atau membayangkan kamu mengelap bingkai foto Pak Presiden, lalu mengganti bunga asoka kering dengan yang mekar. Hanya kamu yang memperhatikan foto presiden, Sum. Agar terlihat lebih indah, kamu menggantung bunga asoka di bawahnya. Sebab, cuma bunga asoka yang tumbuh di sekolah kita. Selebihnya ditumbuhi daun beluntas sebagai pagar, sementara bagian belakang sekolah dipenuhi pohon pisang awa. Aku pernah meminta tanaman lain kepada kepala yayasan, misalnya bunga terompet ungu atau mawar, tetapi kepala yayasan bilang bunga-bunga itu akan membuat sekolah kita tampak indah. Ia khawatir hal itu membuat sekolah kita tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah.

Baca juga  Percumbuan Topeng

Kamu sedang apa sekarang, Sum? Apakah menstruasimu sudah selesai? Beberapa hari lalu, aku membeli sebungkus pembalut untukmu. Aku sengaja tidak menitipkannya kepada seorang temanmu. Aku ingin memberikannya langsung kepadamu tanpa perantara.

Aku ingat, saat hari pertama menstruasi, kamu menenggelamkan wajah ke dalam lipatan tanganmu di atas meja. Kamu terisak dan ingusmu gigih mencoba menyeberangi bibir. Kamu membuatku kebingungan karena mogok belajar dan hanya menangis.

Kawan-kawanmu berbisik satu sama lain. Mereka saling bertanya apa yang terjadi denganmu. Tetapi tidak ada satu pun yang berani bertanya langsung kepadamu. Aku menduga seorang lelaki yang kamu sukai ternyata telah memiliki kekasih. Jika memang benar, aku akan menguatkanmu dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Ada banyak lelaki di luar sana dan salah satunya mungkin tergila-gila kepadamu kelak. Sayangnya, mulutmu tetap terkunci.

Aku memutuskan menyerah dan meninggalkanmu.

Baru satu langkah, tiba-tiba kamu membuka suara. Pelan sekali. Aku terpaksa berdesis kepada teman-temanmu agar bisa mendengar ucapanmu.

“Saya menstruasi, Bu,” katamu. “Kenapa saya menstruasi sekarang?” kamu memukul meja.

Aku mengelus kepalamu. Kubilang, semua perempuan pasti mengalami menstruasi. Umurmu dua belas, sama seperti umurku saat pertama kali menstruasi dulu. Pertama kali memang terasa tidak nyaman. Badanmu menjadi pegal, buah dadamu terasa nyeri, tetapi lambat laun kamu akan terbiasa.

Itu hari terakhir kita bertemu. Setelahnya, tidak selembar pun surat kamu kirim kepadaku. Kabar terbaru yang kudengar dari seorang murid lain adalah kamu akan menikah dengan sopir truk yang mengangkut kayu-kayu untuk pembakaran bata di samping rumahmu tahun depan, saat umurmu tiga belas, dan kamu harus bersiap-siap dari sekarang.

“Sum sudah bisa dinikahi, kan, Bu?” kata temanmu. “Umurnya hampir sama dengan umur kakak saya, tetapi kakak saya sudah menikah.”

Akhirnya, aku baru paham kenapa kamu menangis saat mendapatkan menstruasi pertama, Sum. Aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin datang ke rumahmu dan membujukmu untuk kembali sekolah.

Ternyata rumahmu jauh sekali dari sekolah. Kakiku serasa mau lepas di perjalanan setelah melewati padang ilalang dan beberapa bukit. Sebelumnya, aku pikir jalan pintas yang biasa kamu lalui tidaklah jauh, sehingga aku tidak perlu naik kendaraan ke sana. Tiba-tiba saja aku membayangkan menjadi dirimu, Sum, menggendong Jun setiap pagi melewati jalanan itu dengan alas kaki tipis. Kemudian kalian kembali ke rumah saat matahari memukuli ubun-ubun. Rumahmu berada di balik bukit terakhir, kecil, dan hanya terbuat dari papan-papan. Meski begitu, angin tidak mudah merobohkannya. Ia sekuat semangatmu dulu. Dan mungkin kelak ia juga akan roboh seperti semangatmu sekarang.

Bapakmu memandangiku dari gubuk kecil di samping serobong. Kulitnya hitam mengkilat oleh titik-titik keringat yang memantulkan cahaya matahari. Ia bercekak pinggang, berjalan menghampiriku, lalu kami berbincang-bincang di atas bukit.

Baca juga  Sangkar Madu

Angin kering berusaha merontokkan seluruh rambutku. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar tempat tinggalmu. Rumahmu, kursi di halaman rumahmu, beberapa lembar pakaian di jemuran, semuanya sewarna tanah. Aku tidak melihatmu ataupun Jun di sekitar. Pikirku, mungkin kalian sedang tidur siang di dalam rumah. Aku ingin bertemu denganmu, karena sesuatu di dalam dadaku meronta-ronta. Namun bapakmu bilang, kita tidak perlu bertemu lagi. Kamu sudah bisa membaca dan berhitung. Itu sudah cukup sebagai bekal untukmu memulai kehidupan baru. Kehidupan yang disibukkan oleh urusan dapur, sumur, dan kasur, melayani suamimu kelak.

Aku tidak habis pikir, kenapa bapakmu rela menikahkanmu dalam usia yang sangat belia?

“Sejak dulu kami memang begini,” kata bapakmu. “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi.”

“Tapi Sum masih terlalu muda. Alat reproduksinya belum sempurna.”

“Itu hanya pendapat orang dari kota. Kebiasaan kita berbeda.” Nada bicara bapakmu mulai menyebalkan. Tatapan matanya juga menyebalkan. Ia sangat berbeda dengan yang pernah kutemui di Pasar Manggar beberapa bulan lalu.

Bapakmu memintaku meninggalkan tempat itu, tetapi aku berkeras ingin menemuimu. Aku harus membebaskan sesuatu yang meronta-ronta di dalam dadaku ini, Sum. Dan satu-satunya cara hanyalah bertemu denganmu. Mulanya bapakmu menolak memberi tahu keberadaanmu. Tetapi mungkin ia melihat pelupuk mataku penuh air, sehingga—tanpa menoleh–ia menunjuk sebuah tempat di belakang serobong.

Kadang-kadang aku ingin memukul dadaku dengan batu bata, Sum. Kurasa aku harus memberi pelajaran pada sesuatu yang meronta-ronta dalam dadaku ini. Selain itu, ia—sesuatu yang meronta-ronta dalam dadaku itu—juga membuat lututku bergetar menapaki jalan yang ditunjukkan bapakmu.

Kamu duduk membelakangi sinar mentari. Tanganmu berada di atas lutut sembari menggenggam buku. Buku yang sangat kuhafal warnanya. Buku karya Sukahar dan Siti M. Amin.

“Sum.”

Kamu menoleh dan diam memandangiku untuk beberapa detik. Kakiku melangkah maju. Kakimu juga. Satu langkah lagi, jarak kita semakin dekat.

Mataku terasa pedih, sedangkan pelupuk matamu tampak dipenuhi air. Mungkin kamu juga merasakan pedih yang sama di mata, sehingga kamu memelukku. Bau tanah basah menyusup ke hidungku, Sum. Kemudian sesuatu yang meronta-ronta di dalam dadaku terasa berlompatan ke tanah.

“Ibu…, Sum masih ingin sekolah,” katamu. ***

.

.

Balikpapan, 6 Mei 2022

Ayna Indiera lahir di Bekasi, Jawa Barat, dan menetap di Balikpapan, Kalimantan Timur. Beberapa karyanya pernah tayang di media cetak ataupun online.

.

Menunggu Sum. Menunggu Sum. Menunggu Sum. Menunggu Sum. Menunggu Sum. Menunggu Sum.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!