Cerpen Komang Adnyana (Kompas, 16 September 2012)
“CEGAT mereka! Cegat! Jangan diberi jalan!”
“Tahan mereka! Tahan. Jenazah itu tak boleh dikuburkan!”
“Mereka tak punya hak!”
“Usir saja!”
“Mereka melanggar adat. Bukan saudara lagi!”
“Hentikan mereka!”
Sore yang gerimis terasa makin memilukan dengan teriakan orang-orang kampung yang sudah dibakar emosi. Entah dari mana datangnya, warga seisi desa tumpah ruah di jalanan sempit itu. Mereka berkumpul beramai-ramai. Membuat blokade dengan berdiri berderetan. Beberapa datang tidak dengan tangan kosong. Ada yang membawa balok kayu, batu, bahkan senjata tajam.
Di depan mereka, para penggotong jenazah yang hanya berjumlah enam orang, dan beberapa anggota keluarga pengiring di belakangnya hanya bisa berdiri kebingungan. Wajah-wajah mereka mendadak pucat pasi. Bulir gerimis yang mengenai kepala mereka lalu menggelincir ke pipi seolah-olah membuat mereka semua terlihat menangis.
Di antara wajah-wajah kuyu itu terselip satu wajah yang menatap dengan sorot tajam. Kilatan matanya menyiratkan marah luar biasa. Dialah, Sadru. Nama lengkapnya I Gusti Ngurah Sadru. Nama yang kemudian diperdebatkan oleh seisi desa dan membuat seluruh keluarganya dikucilkan. Nama yang membuat keluarganya dianggap melanggar adat dan tidak mendapat hak apa pun sebagai warga desa. Termasuk menguburkan jenazah ibunya, Ni Gusti Ayu Sulatri.
Satu per satu diamatinya wajah orang-orang di hadapannya yang kini berdiri layaknya musuh. Padahal mereka semua teman-temannya dulu. Tak ada yang memandang dengan bersahabat, apalagi menunjukkan rasa duka. Mulut-mulut mereka terus saja riuh agar akses jalan ditutup dan mayat yang sudah dibungkus dengan kain kafan di atas page, alat penggotong itu, dipulangkan saja.
Kepala desa tidak bisa berkutik. Kalah dengan teriakan massa yang diamuk amarah. Petugas kepolisian yang baru saja tiba juga tak bisa berbuat banyak. Mereka belum berhasil membujuk perwakilan warga agar mau bernegosiasi. Sementara hujan makin deras. Kain kafan pembungkus mayat Sulatri makin basah. Kaki-kaki para penggotong tak kuasa menahan letih yang begitu cepat datang dalam kondisi ketakutan seperti itu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku takut,” bisik adik perempuan Sadru sambil terisak.
“Aku takut mereka akan menyerbu dengan ganas,” kata saudaranya yang lain.
“Lakukanlah sesuatu. Kau anak laki-laki satu-satunya. Kau saudara tertua. Ayah sedang berusaha bernegosiasi dengan tokoh desa, tapi kau juga mesti melakukan sesuatu.”
Sadru masih bergeming. Otaknya dipaksa berputar dengan cepat. Tapi tak juga dia temukan cara untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapinya. Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Memohon dan berlutut di hadapan warga yang jelas-jelas bertindak semena-mena? Membawa jenazah ibunya kembali pulang? Tak mungkin! Pantang membawa kembali jenazah yang sudah dimandikan dan diberangkatkan melewati pekarangan rumah. Leteh, mendatangkan bencana.
Sadru terdiam. Lama sekali. Dalam serbuan kaki-kaki gerimis yang makin keras, otaknya bertambah buntu.
Sepintas tak ada yang salah dengan namanya. Sadru, khas nama pedesaan di kampungnya. Tapi tambahan nama Gusti Ngurah yang baru beberapa tahun terakhir disandangnya menjadi sumber masalah. Gusti adalah gelar kebangsawanan untuk para ksatria di Bali. Gelar ini diwariskan secara turun temurun. Derajat orang yang menyandangnya lebih tinggi daripada orang kebanyakan.
Orang-orang dengan gelar gusti biasanya mendapat tempat lebih tinggi di masyarakat. Lebih dihormati. Bahkan dalam percakapan sehari-hari misalnya, rasa hormat dengan penyandang nama gusti sangat terlihat. Bicara dengan orang gusti mesti memakai bahasa halus, bukan bahasa kebanyakan. Sama seperti bicara dengan penyandang gelar Ida Bagus, Ida Ayu, Anak Agung atau Cokorda.
Sadru sebenarnya tak membutuhkan semua itu. Ia dan keluarganya tak menuntut diperlakukan istimewa. Meskipun menyandang nama gusti, mereka bersikap layaknya warga biasa. Nama gusti yang disandangnya kembali beberapa tahun ini hanya karena tuntutan silsilah keluarganya. Setelah membuka-buka kembali catatan sejarah lama yang tak diketahuinya.
Mereka juga tidak menambahkan nama gusti itu dengan sembarangan. Ada proses bertanya ke sana kemari, bahkan ke beberapa orang pintar. Mungkin terdengar tak masuk akal, tapi warga tentu tidak tahu ketika gelar itu tidak dipakai atau dihilangkan, mereka menderita. Bencana demi bencana silih berganti. Sakit menyerang satu persatu anggota keluarganya.
Hal inilah yang tak bisa dijelaskan secara nyata oleh Sadru dan keluarganya. Warga marah. Menganggap mereka mengada-ada dan meninggikan diri sendiri. Perlahan-lahan, hukum tak tertulis bernama kasepekang, dikucilkan, itu diberlakukan. Sadru dan keluarganya tak diterima dalam berbagai kegiatan adat. Semua warga dilarang bercakap-cakap dengan mereka, atau hanya sekadar bertegur sapa. Yang berani melanggar akan didenda.
Bahkan upaya mediasi yang dilakukan tokoh agama dan bupati ke kampung ini beberapa waktu lalu juga tidak membuahkan hasil. Desa tetap menolak Sadru, dan keluarganya menggunakan nama gusti. Memang beberapa anggota keluarga terdekat Sadru seperti paman-pamannya dulu pernah memakai gelar Si di depannya, golongan penduduk Bali mule, Bali asli, tapi bukan Gusti. Si berbeda dengan Gusti.
Yang mereka tahu, Sadru adalah I Wayan Sadru. Ayahnya I Nengah Lebur. Ibunya Ni Ketut Ayu Sulatri. Tiga adik perempuannya juga bernama biasa. Mereka sudra, orang kebanyakan. Bukan ksatria. Jika tetap tidak tunduk pada aturan, mereka harus siap-siap meninggalkan desa. Bila tetap kukuh tinggal, teror demi teror menghantui tiap saat.
Terakhir kaca jendela rumah mereka pecah karena dilempari batu sebesar kepalan tangan oleh orang yang tak diketahui. Beberapa waktu sebelumnya atap rumah mereka terkena lemparan botol air mineral yang di dalamnya ternyata berisi bensin. Seperti biasa, Sadru dan keluarganya tak bisa berbuat banyak. Apalah artinya mereka yang hanya berjumlah beberapa orang melawan warga seisi desa.
Dalam kecamuk konflik itu, bencana baru muncul. Kemarin ibunya meninggal karena sakit asma yang sudah lama dideritanya. Sadru dan ayahnya sangat terpukul. Bukan karena teramat kehilangan, tapi membayangkan masalah baru yang akan dihadapinya. Sudah menjadi hukum tak tertulis bila warga yang dikucilkan tak akan mendapatkan hak untuk menguburkan jenazah anggota keluarganya. Hari inilah hukuman itu menimpa Sadru. Kejam sekali!
“Pergi! Pergi!”
“Jangan beri ampun. Usir! Usir!”
Teriakan warga kembali mengagetkan Sadru. Tak ada jalan keluar lain. Darah Sadru ikut mendidih. Tak ada lagi yang dipertaruhkannya. Yang harus dia punya saat ini hanyalah keberanian. Ya, keberanian untuk sekalian menjadi sosok yang paling dibenci sekalipun. Toh apa bedanya? Daripada mengikuti kemauan warga yang seolah-olah membenarkan setiap tindakan massal mereka?
Menerobos kerumunan orang-orang itu sangat tidak mungkin. Tak ada yang menjamin mereka tidak akan berbuat nekat. Sudah bukan rahasia lagi bila banyak konflik massal berakhir dengan menyedihkan. Korban dihakimi beramai-ramai seperti seekor anjing.
“Kembali! Kita kembali!” teriak Sadru dengan tiba-tiba kepada saudara-saudaranya.
Semua kaget. Para penggotong yang masih kerabatnya itu bertanya-tanya kebingungan. Warga yang dari tadi menghadang mereka dengan santai seolah tanpa beban juga kaget.
“Suruh ayah menghentikan pembicaraan. Kita kembali pulang,” pinta Sadru kepada adik perempuannya yang pertama.
“Kau bercanda Sadru? Kau tak sungguh-sungguh bukan?” adik perempuannya memekik.
“Aku sungguh-sungguh. Kalian pulang lebih dulu, suruh yang lain menyiapkan mobil,” teriaknya kepada yang lain.
“Kita kembali, cepat!”
Hujan kian deras. Pakaian mereka sudah basah. Dengan bergegas, para penggotong membalik posisi mereka. Jenazah yang tadi berada di pertengahan jalan menuju kuburan desa kini berbalik ke arah rumah Sadru. Semua tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Warga berteriak-teriak seolah merayakan kemenangan mereka.
“Huuuuuuu….”
“Pergi! Pergi!”
“Kubur saja di rumahmu sekalian!”
“Kubur di halaman biar tanahmu subur!”
“Pengkhianat!”
Mengubur di rumah? Tak mungkin! Mustahil Sadru bisa senekat itu. Tak mungkin dia mengikuti istri Wayan Tanggu yang menguburkan jenazah suaminya di dalam kamar. Tak mungkin juga dia menjadikan rumahnya sebagai rumah makam. Semua dipenuhi tanya. Tak ada yang tahu apa yang ada di kepala Sadru, termasuk ayahnya sendiri. Pandangan anak laki-laki satu-satunya itu begitu lurus ke depan. Kini tak terlintas sedikit pun keraguan di wajahnya.
Setiba di depan gerbang rumahnya, Sadru memberi isyarat memasukkan jenazah ibunya ke dalam mobil. Penggotong tak berani membantah. Mereka memasukkannya dengan hati-hati. Memegangnya di setiap sisi. Sadru sendiri yang menyetir mobil itu. Ayahnya menemani di samping. Saudara-saudaranya yang lain akan menyusul dengan mobil lain.
“Ke mana kita? Mau kau bawa ke mana jenazah ibumu?” ayahnya tak kuasa menahan tanya.
“Tak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan.”
“Apa kau gila? Bagaimana dengan kehidupan kita seterusnya? Sanksi itu akan berlanjut untuk anggota keluarga yang lain.”
“Apa ayah mau tunduk dan membenarkan setiap tindakan mereka?”
Ayahnya tak menjawab. Juga tak ada protes dari kerabatnya yang lain meski mereka semua diliputi ketakutan. Sadru terus menyetir dengan penuh keyakinan. Mobil melaju kencang, seperti mobil ambulans sungguhan yang membawa pasien gawat darurat.
Besok, mayat ibunya akan dibakar di krematorium di pusat kota. Dengan upacara lengkap layaknya upacara pengabenan biasa. Hanya tak akan ada riuh ramai suara pelayat seperti orang-orang meninggal lain di kampungnya. Yang datang hanya keluarga terdekatnya. Tak akan ada arak-arakan massal wadah, menara tinggi penuh hiasan nan megah itu menuju kuburan desa.
Pengkhianat? Tak tahu adat? Katakan saja. Memang, membakar jenazah di krematorium tidak lazim di sini, bahkan seperti sebuah kegagalan bermasyarakat, tapi Sadru dipaksa tak peduli. Untuk apa memelihara adat, menjaga kebiasaan, ketika manusia justru kehilangan rasa kemanusiaannya? Apakah dia akan dikutuk leluhur, dikutuk dewa-dewa hingga roh ibunya tak mendapat tempat di alam sana? Entahlah. Setidaknya leluhur tahu dia dikutuk karena ulah manusia lainnya.
Mobil terus melaju. Melaju. Krematorium di pusat kota terasa begitu jauh. Sementara di kampungnya, mungkin orang-orang tengah mengutuknya beramai-ramai. Menyiapkan pembalasan lebih lanjut. ***
.
Mayat di Simpang Jalan. Mayat di Simpang Jalan. Mayat di Simpang Jalan. Mayat di Simpang Jalan.
Leave a Reply