Cerpen M Rosyid HW (Suara Merdeka, 24 Juli 2022)
FAJAR hari Senin masih berkabut saat aku membuka selubung selimut sambil berusaha membuka mata dan meregangkan otot-otot tubuh yang kaku—berusaha sadar dari mimpi panjang semalam—dan Ibu, berdiri di samping dipan, mengagetkanku, terlebih lagi lontaran kata-katanya: apa yang sebenarnya Ratna cari? Hidup hanya kerja, kerja, dan kerja.
Aku belum sepenuhnya tersadar hingga suara deru mobil mengembalikan isi kepalaku. Masih sepagi ini, Ratna telah bergegas menuju kantornya dan Ibu mengintipnya lewat jendela kamar. Mobil Ratna melesat membelah kabut. “Kelak, jika ia memutuskan untuk benar-benar tidak menikah, temanilah ia dalam hidupmu,” Ibu keluar kamar dengan wajah tertunduk, meninggalkanku mencerna kata-katanya.
Ritual pagi di dapur terasa kelabu hari ini. Bapak yang biasanya berkelakar sambil menghisap-embuskan lintingan tembakau, kini menutup mulutnya rapat-rapat. Ibu memasang raut cemberut ketika meracik bawang, kemiri, lombok, dan daun jeruk di atas cobek. Padahal, biasanya ia mengaduk bumbu seraya menyanyikan lagu-lagu nostalgia. Aku tak bertanya mengapa, kupastikan Ratna adalah penyebabnya, dan itulah yang terjadi.
Saat senja bernaung di pucuk ufuk, tanpa kutanya, Ibu bercerita tentang peristiwa pagi ini dengan mata sayu, “Ratna menolak calon dari bapakmu.”
Ibu terlihat putus asa. Ia telah berkali-kali berbicara dengan Ratna, agar ia lekas menikah mengingat umurnya yang hampir menginjak kepala empat. Ratna selalu menjawab: aku hanya mencari jodoh yang tepat. Dalam beberapa kesempatan, Ratna selalu menghindar jika arah pembicaraan menyinggung perihal pernikahan.
Bapak, Ibu, dan Ratna tak pernah duduk bersama dengan percakapan-percakapan panjang, karena Ratna mempersempit hubungan dengan kami. Ia selalu pulang larut malam, langsung menuju kamar dan menutup pintunya. Ia tidak membiarkanku masuk kamar.
Jika aku berada di kamar, Ratna terkadang mengusirku, kalau hatinya sedang mengeras. Keesokan harinya, ia bergegas berangkat ke kantor saat mega fajar masih menganga di ufuk timur.
Kupikir ia menenggelamkan dirinya kepada pekerjaan adalah caranya lari dari tekanan-tekanan. Ratna butuh tempat untuk lari, menyendiri, dan menjadi diri sendiri, batinku.
“Aku akan membeli sepetak rumah,” ujar Ratna suatu malam.
Sebagai perempuan pekerja sejak muda, tentu tidak ada kendala finansial baginya untuk mendapatkan hunian mewah. Mendengarkan perkataan Ratna, wajah Ibu langsung memerah terbakar amarah.
Namun, Ibu tidak meledak ataupun berteriak-teriak kepada Ratna seperti saat memarahiku, jika tingkahku tak dikehendakinya. Ibu berkata lembut, sebaiknya ia menikah lebih dulu sebelum memutuskan untuk memiliki rumah. Berhari-hari kemudian, aku mengerti Ibu lebih berhati-hati dalam memperlakukan perempuan dewasa.
“Maya, ayo beli baju minggu ini!”
Ratna akan bersikap lembut kepadaku, jika menginginkan sesuatu dariku. Tidak seperti teman-temanku yang memanggilku dengan nama depanku, hanya Ratna yang memanggilku dengan nama belakangku: Maya. Terdengar seperti panggilan keakraban antarsaudara kakak-adik. Ia sudah terbiasa memanggilku demikian sejak kecil.
“Tentu kau tak akan menolak tiga ekor gurami bakar kan?”
Ratna membuatku tak berkutik. Ia tentu tahu aku suka ikan bakar segar, tetapi bukan karena itu aku mengiyakan ajakannya berbelanja. Lagi pula, menunggunya memutari toko ke toko sangatlah membosankan. Namun, aku tidak tega membiarkannya pergi sendirian, terlebih lagi kepergianku bukan demi dia tetapi demi nasihat Ibu.
“Kalau bukan kamu, dengan siapa Ratna akan pergi? Kau tentu tahu, teman-temannya telah sibuk dengan keluarga dan anak-anaknya masing-masing.”
Melalui keluhan-keluhan mereka, aku memahami bahwa Ibu dan Bapak menyerahkan Ratna kepadaku. Bukan kepasrahan sepenuhnya, tetapi sebuah kepercayaan bahwa mereka tahu mungkin sebagai sesama anak perempuan aku bisa memahami dunia perempuan Ratna lebih daripada mereka.
Ya, sebagai perempuan, aku mengerti ada luka menganga di palung hati Ratna. Ia tidak lekas menikah bukan karena ia tidak hendak menikah. Ratna sepertinya ingin menyembuhkan luka-luka masa lalunya terlebih dahulu. Aku tidak tahu itu apa, aku hanya menduga-duga. Mungkin, ia tidak mau menikah karena ia memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan dengan laki-laki.
Dari cerita Ratna, ia juga pernah punya teman lelaki yang dekat. Beberapa kali ia juga pernah punya pacar. Dan pacar-pacarnya menyakiti Ratna. Sekarang, mungkin ia jadi takut punya teman dekat, nanti ia bisa terluka lagi. Tetapi, kukira ada satu luka yang paling dalam dan itu bukan ulah dari pacar-pacarnya. Lelaki itu adalah Bapak. Ratna bercerita tentangnya kepadaku.
Seorang lelaki memang sulit memahami anak perempuannya, Ratna memulai kisahnya. Dengan terisak ia bertutur bagaimana ia sewaktu kecil seringkali menjadi sasak bagi amarah Bapak. Ia ditendang, dipukul hingga dicelupkan kepalanya di bak mandi. Ratna meronta-ronta dan menjerit hingga Ibu datang.
“Cukup! Kau apakan anakmu, Pak!?” Ibu berteriak sambil menangis.
“Jangan sekali-kali kau berulah lagi di sekolah!” Bapak melepaskan genggamannya pada rambut Ratna. Ia meraung-raung di tepi bak kamar mandi. Padahal, Ratna hanya menghilangkan pensil yang ia pinjam dari temannya.
“Itu hanya kekerasan kecil! Bapak dapat bertindak sangat-sangat-sangat kasar kepada Ibu,” ucap Ratna lirih, “Aku bahkan tak mampu menceritakannya kepadamu. Sesekali, lihatlah punggung Ibu saat ia mandi.”
Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Aku mengingat-ingat sikap Bapak kepadaku. Bapak sangat menyayangiku. Ibu yang lebih sering memarahiku, jika tidak menjadi anak penurut. Apa karena aku perempuan terakhir? tanyaku dalam hati, atau Bapak tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalunya? Aku tidak tahu, tetapi Bapak selalu memanjakanku dan membelaiku dengan penuh kasih sayang, tetapi tidak bagi Ratna.
“Kalau bukan karena Bapak, aku tidak pernah sebenci ini dengan lelaki!” gumam Ratna dengan isak-tangis sambil memelukku.
“Lelaki itu kasar dan keras. Seperti batu.”
Memang, Bapak begitu keras kepala. Bapak selalu menghadirkan lelaki-lelaki untuk menikah dengan Ratna, meski Ratna selalu menjawab “tidak”. Sudah puluhan laki-laki yang Ratna tolak, tetapi Bapak masih terus mengalirkan tamu-tamu ke rumahnya. Lelaki-lelaki datang silih-ganti ke rumah dan tak pernah ada satu pun yang menetap. Kenyataannya, Ratna tidak butuh laki-laki, ia lebih butuh mengobati lukanya.
“Sudahlah, Pak. Ratna sudah dewasa. Biarkan Ratna memilih jalan hidup Ratna sendiri,” tegas Ratna kepada Bapak ketika lelaki yang berkunjung telah meninggalkan rumah.
“Kalau kau tidak menikah, mau ditaruh mana muka Bapak?” sergah Bapak.
“Kenapa Bapak yang malu? Hidupku ya hidupku. Tak usah diatur-atur. Titik.”
“Anak bajingan!”
Ratna tetap bersikukuh. Ibu hanya dapat menangis di pojokan sambil merapal doa-doa. Esok harinya, Ratna tak pernah muncul di rumah selama sebulan. Aku diserang kesepian.
“Kau tahu, Maya. Aku tak ingin tergesa-gesa dalam menjalin hubungan. Cinta dan kasih sayang adalah tiang pernikahan. Jika kau hidup bersama lelaki tanpa pilar-pilar cinta, pernikahanmu akan cepat roboh,” bisiknya saat memboncengku berjalan-jalan mengelilingi pemukiman warga demi menghirup segar senja selepas seharian bekerja.
“Semoga kau berbahagia dengan menemukan cinta di usiamu yang tak muda lagi,” doaku dalam hati.
Doaku untuk Ratna, bertahun-tahun kemudian, tidak benar-benar kuharapkan. Aku terlampau menyesal telah berdoa untuk kebaikan cintanya. Cinta Ratna berlabuh pada seorang lelaki beristri dengan dua anak. Ratna memaksa kekasihnya untuk menceraikan istrinya. Mereka pun pergi jauh ke pulau seberang.
Mungkin, mereka bahagia, tetapi aku begitu merindukan Ratna dan cerita-ceritanya. Kini, tak ada lagi Ratna di sampingku. ***
.
.
—M Rosyid HW lahir dan tinggal di Sidoarjo. Mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya Pascasarjana Universitas Airlangga. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media massa. Kumpulan cerpennya Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya (Pelangi Sastra, 2021).
.
Anomali Cinta Ratna. Anomali Cinta Ratna. Anomali Cinta Ratna. Anomali Cinta Ratna.
Leave a Reply