Cerpen A Muttaqin (Kompas, 07 Agustus 2022)
SAAT itu, hari telah senja dan Matuwar sendirian saja di ladangnya. Ia sungguh terpesona tatkala melihat langit mulai dipenuhi cahaya merah keemasan. Ia begitu gembira, melihat ladangnya juga dipenuhi tongkol keemasan, seolah ladangnya adalah bentangan langit lain dan tongkol jagungnya adalah bintang-bintang. Seharian Matuwar telah melepas kelobot jagung-jagung itu, membiarkan tongkolnya terbuka di bawah sinar matahari, agar jagung-jagung itu kering dan ia bisa menyimpannya dalam waktu lama tanpa takut rusak atau jamuran.
Matuwar sungguh bahagia. Wajahnya penuh syukur dan sukacita. Senyumnya senantiasa mengembang. Tapi itu tak lama. Kebahagiaan itu tumpas seketika tatkala ia melihat seekor tikus gemuk melenggang dan pelan-pelan menelusup ke lubang di dekat sana: “Bangsat! Malapetaka datang. Malapetaka telah datang…”
Buru-buru Matuwar menyingkap setumpuk tebon yang menutupi lubang itu. Dan ia sungguh terkejut saat mendapati sepasang tikus lain telah menggerogoti setongkol jagung miliknya. Dengan kecepatan sempurna, tikus itu menyusup ke celah tumpukan tebon dan masuk ke lubang gelap dalam tanah, tapi itu cukup membuat Matuwar murka. Matuwar tak bisa menahan amarah tatkala ia menyingkap tebon-tebon itu dan mendapati tiga lubang tikus menganga: “Duh Gusti, dosa apa telah kuperbuat sehingga Kau kirim tikus-tikus ini ke ladangku?” gumamnya.
Belum reda amarah Matuwar, tatkala seekor tikus lain tiba-tiba menyembul dari lubangnya, seperti hantu yang muncul dari kegelapan. Matuwar tahu apa yang harus ia kerjakan. Ia harus memanen jagung-jagung itu sekarang juga. Matuwar ingat satu dongeng yang dulu diceritakan oleh guru ngajinya, bahwa pada suatu masa, di Mesir sana, tikus-tikus telah melahap satu istana beserta isinya dalam waktu semalam saja. Ingatan itu sungguh menakutkan, kendati ia ragu, guru ngajinya itu menceritakan khayalan atau kisah betulan. Jagungnya sangat bagus musim ini dan tentu Matuwar tak mau menyerahkan begitu saja kepada tikus-tikus itu.
Matuwar kemudian berjalan ke arah gubug kecil di pojok ladangnya dan mengikat kambing semata wayangnya di tempat yang aman. Malam itu ia akan bekerja menuntaskan panennya dan ia tak mau kambingnya menjadi sasaran anjing liar yang masih banyak berkeliaran di sekitar ladang. Matuwar lalu mengambil karung goni yang diselipkan di sisi gedeg gubug itu. Ia mengencangkan celananya, melipat baju sampai ke bahu sebelum turun ke ladang untuk memetik jagung itu satu satu.
Malam mulai turun ke permukaan ladang. Langit berangsur gelap. Di langit yang mulai gelap itu, tampak satu dua bintang. Tapi cahaya cilik bebintang itu tak cukup menerangi ladang dan hati Matuwar yang bimbang. Baru saja Matuwar memetik tongkol pertama ketika dirasakan sebatang benda dingin menempel di telapak kaki kirinya. Ia terjingkat dan cepat-cepat mengangkat kakinya dan segera tahu, seekor ular telah diinjaknya: “Beruntung mbah Dumung itu tak menggigitku.”
Rupanya Matuwar lupa, hari telah malam. Dalam gelap, bahaya kapan saja bisa menyergap, sebab malam adalah surga bagi serangga dan hewan-hewan berbisa.
“Tikus semprul. Besok akan aku cari racun paling ganas agar kalian semua tumpas,” gerutunya.
Matuwar mempercepat kerjanya. Kendati gelap, tangannya cukup cekatan memetik tongkol-tongkol jagung yang kemudian dimasukkannya ke karung goni. Ia bekerja dengan segenap tenaga, dengan kecepatan yang sukar dipercaya, seolah berpacu dengan seribu tikus yang tengah dilepas ke ladangnya dan siap mengganyang seluruh jagungnya dalam sekejap mata. Matuwar tak berhenti sedetik pun, tak memedulikan apa pun, sampai-sampai ia tak tahu sesosok lelaki tua telah berdiri, tepat di sebelahnya.
“Nabi kita tentu gembira melihatmu, sebab kau seperti manusia dalam sabdanya, tekun bekerja seolah kau akan hidup selamanya. Andai saja lakumu juga seperti itu dalam beribadah…,” kata si Tua dengan aksen aneh, seperti lelaki dari dunia entah.
Matuwar tak menggubris lelaki itu. Pikirannya bahkan tak sempat mengusut, siapa gerangan lelaki itu. Ia tak peduli, lelaki itu manusia sungguh-sungguh atau hantu. Bagi Matuwar, tak ada yang lebih menakutkan selain tikus-tikus lapar yang dalam sekejap mata bisa menghabiskan jagungnya.
“Andai saja lakumu juga seperti itu dalam beribadah. Andai saja…” ulang si Tua.
Mendengar itu, Matuwar menjadi jengkel juga. Ia menatap si lelaki tua dan baru ia tahu sepenuhnya prejengan lelaki itu. Jubahnya tampak putih dan kuno, namun seperti bersinar di kegelapan. Matuwar melihat sekali lagi dengan saksama. Ternyata lelaki itu sangat tua, umurnya sukar diterka. Badannya kurus. Wajahnya kurus. Matanya cekung. Hidungnya mancung. Jari-jemarinya kurus melengkung, seperti kaki burung.
“Bolehkah aku membantumu?” tanya lelaki itu.
“Wahai Pak Tua, ambil jagung sesukamu, tetapi aku mohon, jangan kau ganggu kerjaku,” kata Matuwar.
“Aku tak butuh jagung, Matuwar. Aku hanya ingin membantumu, melekaskan kerjamu, agar aku dapat segera membawamu.”
“Berhenti mengada-ada, Pak Tua. Jangan sungkan, ambil jagung itu sebanyak yang kau mau…”
“Tahukah kau Matuwar, sejak tadi aku menunggumu? Mestinya aku mengambilmu tepat di waktu surup, saat matahari anglup, tapi Tuhan melarangku. Ia menyukai hamba-Nya yang giat bekerja dan Ia memberimu kesempatan untuk itu…”
“Sekali lagi aku mohon, berhentilah, Pak Tua. Tikus-tikus itu akan menghabiskan jagungku jika kau terus mengajakku bicara.”
“Baiklah. Rampungkan dulu. Nanti aku kembali. Jangan lupa, sempatkan memberi wasiat kepada ahli warismu, sebab kau tak akan mendapatkan kesempatan kedua,” kata lelaki tua yang kemudian lenyap entah ke mana.
Sepeninggal lelaki tua itu, keajaiban datang. Matuwar yang seumur-umur hampir tak memiliki rasa takut terhadap apa pun, tiba-tiba menjadi gamang. Tulang-tulang di badannya sekonyong-konyong terasa linu. Sendi-sendinya ngilu. Jantungnya berdetak kencang. Tubuhnya mulai gemetar. Meski tangan Matuwar terus berusaha memetik tongkol jagung, tapi jemarinya perlahan menjadi kaku. Menyadari hal itu, Matuwar buru-buru menuju gubuk di pojok ladangnya.
“Betulkah ia malaikat maut yang diutus menjemputku?” gumamnya.
Tentu aneh mendapati Matuwar kini menjadi gentar dan takut mati. Selama itu—seperti rata-rata petani di kampungnya—ia hidup sangat miskin dan sengsara, menggantungkan hasil ladang tadah hujan yang tak seberapa. Kemiskinan telah membuat ia sungguh tidak takut kepada apa saja, termasuk kematian. Bagi Matuwar, tak ada yang lebih menakutkan dari kelaparan. Ia tahu, mati hanya perkara ringan, saat kelaparan sudah tak tertahankan. Tapi kali ini, ia betul-betul takut. Mungkin jagung yang berlimpah telah mengubah segalanya. Diam-diam Matuwar berharap si maut sabar menunggu ia sebentar foya-foya sampai ludas segalanya. Tapi itu sungguh harapan sia-sia.
Matuwar kini yakin sepenuhnya, lelaki tua itu adalah malaikat maut yang akan membawa ia ke alam baka. Tapi bagaimana ia akan tenang dalam kuburnya, jika ia tak diberi kesempatan menikmati jerih payahnya? Bagaimana arwahnya tenang jika ia tak diizinkan sekali saja dalam hidup mencicipi nikmat dunia? Beberapa pertanyaan datang silih berganti. Dan jawaban dari pertanyaan itu sama: Matuwar belum bersedia untuk mati! Matuwar pun mencari cara menghindar dari Mata Maut yang mengintai.
Tiba-tiba, Matuwar seperti mendapat mukjizat tatkala ia melihat kambingnya bergidik mengibaskan nyamuk di kedua kupingnya. Ia tatap kambing itu lekat-lekat. Sebentar kemudian, ia ambil clurit yang tadi sore ditancapkan di salah satu tiang gubug itu. Tanpa ragu, dibacokkan celurit itu ke batang leher si kambing. Ia kemudian melumurkan darah kambing itu ke sekujur tubuhnya.
“Dengan begini, malaikat itu pasti mengira aku bunuh diri,” pikirnya.
Matuwar tahu, agar penyamarannya sempurna, ia perlu melempar bangkai si kambing ke sungai terdekat. Tak mau membuang-buang waktu, ia langsung menggotong bangkai kambing itu. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa tolak. Baru saja Matuwar menggotong bangkai itu tujuh belas langkah, kakinya tersandung karung goni yang hampir penuh berisi jagung. Matuwar terjengkang. Wajahnya yang malang tertimpa bangkai kambing itu. Susah payah ia berupaya bangkit, namun embun yang mulai turun membuat kakinya licin. Beberapa kali ia mencoba dan rasa gugup membuat usahanya sia-sia belaka. Matuwar hampir saja tegak berdiri untuk kembali menggotong bangkai kambingnya tatkala anjing-anjing liar datang dan menyalak di depannya.
Seperti bersahut-sahutan, anjing-anjing kelaparan itu menyalak dan Matuwar menjadi semakin ketakutan. Seekor anjing yang paling besar tiba-tiba melompat dan menerkam Matuwar. Anjing itu menggigit wajah dan mencakar perut Matuwar dengan ganasnya. Sementara anjing-anjing lain yang lebih kecil tapi tak kalah buasnya, mencabik-cabik bangkai kambing itu.
Tak kenyang dengan bangkai kambing, anjing-ajing itu lalu mengeroyok Matuwar, bersama anjing besar yang telah melumpuhkan dan mencabik-cabik seluruh badan Matuwar. Sekejap kemudian, Matuwar sekarat. Tanpa ampun, anjing-anjing itu menyayat dan mengganyang Matuwar dan hampir tak menyisakan apa-apa selain tulang-tulang keras yang tak sanggup mereka lahap.
Mendengar gemuruh aneh terjadi di ladang Matuwar, dua petani yang hendak kemit malam itu pun datang. Beberapa petani memang kemit di musim panen itu, menjaga hasil ladang mereka dari serangan tikus atau celeng yang mulai berdatangan. Tapi mereka sungguh terlambat. Matuwar telah dimangsa anjing-anjing liar yang langsung semburat pergi tatkala melihat dua petani itu mendekat.
“Tragis tenan nasibmu, Cak Mat,” kata seorang petani itu. Tangannya terus mengarahkan cahaya lampu senter ke tulang serta serpihan tubuh Matuwar yang terserak bersama tongkol-tongkol jagung.
“Apes. Baru kali ini panenmu bagus. Tapi nasibmu sungguh apes, Cak Mat,” kata petani yang lain.
Di sisi dua petani itu, malaikat maut menatap Matuwar dengan sedih, seolah ia sendiri tak percaya: “Sungguh bukan seperti ini mautmu andai kau tak abai kata-kataku,” gerutu si Malaikat yang tentu saja tak didengar dan tak tampak oleh dua petani itu.
Sementara itu, di dekat tumpukan tebon, tikus-tikus telah keluar dari lubangnya. Seperti tersihir, tikus-tikus itu terdiam, melihat tongkol jagung dan sisa tubuh Matuwar berserakan, seolah tengah menyaksikan akhir dari semua kesedihan, seluruh kepedihan. ***
.
.
Perajurit Kulon, Mojokerto, 2022
A Muttaqin, menulis puisi dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit adalah Pembuangan Phoenix (2010) dan Tetralogi Kerucut (2014). Cerpennya terkumpul dalam bunga rampai Klub Solidaritas Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan Kasur Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2017. Ia menggunakan sebagian waktunya di Surabaya dan sebagian lain di Mojokerto, Jawa Timur.
Slamet Riadi, seniman kelahiran Malang yang kini tinggal di Yogyakarta. Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini aktif berpameran sejak 1987 baik dalam pameran bersama atau pameran tunggal. Terakhir, dia terlibat dalam pameran “Mei Bulan Menggambar Nasional” di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta, 2022.
.
Maut di Ladang Jagung. Maut di Ladang Jagung. Maut di Ladang Jagung. Maut di Ladang Jagung.
Leave a Reply