Cerpen Thomas Didimus Hugu (Media Indonesia, 07 Agustus 2022)
DI pulau kecil itu, jika orang hendak berhasil berkarier, mereka harus memiliki pengintai sewaan. Setiap pengintai bertugas melaporkan kepada tuannya, siapa-siapa yang telah mengirimkan janji bertemu dan menepatinya untuk menghatur sembah kepada bupati.
Seorang begundal bernama PK telah menjatuhkan pilihan kepada sesosok yang sengaja dianonimkan. PK berkomat-kamit aneh ketika pengintai sewaannya itu datang meminta tugas perdana. Pipi pengintai menggelembung, tetapi rambutnya yang gondrong sedikit rapi terikat tali pintalan pohon waru yang tumbuh dekat kawah gunung berapi di sebuah tempat antah-berantah. Giginya berkilauan emas putih tiruan yang dirampas dari pasar gelap di tepi kampung yang sebagian besar penghuni prianya tukang santet, tetapi para wanitanya adalah dukun-dukun beranak paling berpengalaman. Kalungnya berkepala taring ikan laut, sedangkan gelangnya akar bahar berusia ratusan tahun.
PK ingat, dahulu, dia pernah nekat sendirian mendatangi kastil sang bupati di atas bukit terjal yang hampir-hampir tak ditumbuhi satu pun pohon berdaun lebar. Pintu-pintunya menghadap ke lautan sempit yang dibatasi oleh dua pulau kecil di sebelah utara. Jendela-jendela lebarnya siap menadah embusan angin laut untuk meninabobokan tamu dari negeri nan jauh.
Siapa pun harus berhati-hati melangkah agar tidak terpeleset. Ujung bukit disanggah turunan sembilan puluh derajat tebing karang. Ombak yang terus menjilat pantai, mengasah bebatuan berparas ganjil hingga menyerupai mata pisau penikam babi. Hati-hati. Jika terpeleset, betapa sengsaranya karena bebatuan itu hanya akan membuat orang mati suri, sedangkan napas terakhirnya disedot pari beracun sebelum tubuhnya dicincang-cincang hiu paus.
Di hari kenekatan itu, PK julurkan leher-pelototkan mata ke sebuah sofa cokelat lusuh. Sang tuan sedang berselonjor, memijit-mijit telepon selular. Di lantai, seorang laki-laki yang dikenal baik oleh PK meremas-remas telapak, betis, dan pangkal paha bupati. Sang bos yang ber-training tipis tak sudi melirik si pemijit.
Sekonyong-konyong PK mendengar suara. Mula-mula adalah rintihan seperti ketika dia sendiri mengalami luka tusuk di ibu jari kakinya saat berjinjit di depan jendela kamar tidur selingkuhannya untuk memberi tanda kedatangan berahinya. Bupati bergeming. Sang pemijit kini bak seorang pesakitan. Dia memasukkan not-not selebar lebih dari dua oktaf ke dalam rengekan bak bocah yang tak tahan lagi untuk dikeloni di tetek ibu. Sang bupati malah tertawa kecil membaca komentar-komentar jenaka dari konco-konconya sesama pebisnis dari kota-kota dagang. Tanpa malu-malu tangis kawannya itu pecah di atas paha sang bupati.
“Apa maumu?” tanya sang Bupati akhirnya dengan malas.
“Dua tahun lagi saya akan pensiun,” jawab si pemijit memelas.
Nyali PK langsung ciut dan menggelandang tubuhnya menghilang dalam kabut bukit tandus.
Desas-desus mengabarkan kepada PK bahwa sang pemijit telah menjadi orang penting di sebuah departemen. Itu melecut semangatnya. Dia putuskan menjaga jarak, tapi mata dan telinganya adalah pengintai sewaannya tadi. Dan inilah beberapa kabar yang sampai ke telinganya.
Konon, seorang laki-laki muda berinisial WM rajin mengirim babi bakar yang dipanggang di lubang-lubang dapur alam bekas kawah. Setelah enam belas kali kiriman, si lelaki lantas menjadi pemimpin proyek pelatihan para pendamping desa.
Seorang ibu-ibu, JD, berpanas-panasan menjaga perapian di tungku masak kastil kemudian mendinginkan dirinya dengan memimpin doa-doa malam yang selalu diselingi sang bupati dengan air mata keharuan. Ibu itu kemudian mengepalai sebuah bidang, tempat meloloskan program-program kerja yang diusulkan tiap-tiap departemen. Sementara itu, seorang bapak-bapak, yang PK sendiri tak tahu inisialnya, menjadi tukang pengangkat piring sang bupati dalam resepsi-resepsi umum yang dihadiri kepala-kepala departemen. Perilaku jongos membawanya kepada sebuah kursi empuk di bidang kesehatan hewan.
Jika dihitung, ratusan rupa pendekatan telah lahir dari kreativitas sesama begundal. PK merasa, semakin lama dia menunda, semakin ganas waktu mengoyak, sebab nyaris setiap trik telah terpakai. PK memutar otak dan majulah ia dengan sesuatu yang baru setelah mendapat informasi dari pengintainya.
“Saya mendengar, Bapak pencinta burung?”
“Ehm…..iya, ada benarnya.”
“Jadi, saya tidak terlalu keliru, kan, Bapak?”
“Iya. Tapi burung yang mana dulu. Situ, kan, harus to the point.”
Itu percakapan PK dan sang bupati. Singkat, canggung, aneh. PK mau tak mau percaya sebab kini hanya dengan pengawalan seorang pegawai keamanan pribadi bupati, mereka bertiga berjalan beriringan jauh di pegunungan di wilayah selatan pulau. Bupati dan pengawalnya melangkah takut-takut. PK menenangkan mereka dengan berwibawa. Itu bukan soal bagi PK. Dia kepala suku, pemegang hak atas tanah-tanah sekitar.
Dengan napas terputus-putus dari Bupati dan pengawalnya, mereka bertiga lalu sampai di pinggiran kawah purba yang telah jinak. Kadar oksigen yang rendah menggetarkan lutut.
PK membawa keduanya memasuki kawah dua tiga langkah. Ini cukup, pikirnya. PK menghipnosis tamunya dengan mantra-mantra agar berani memandang jauh ke dasar lalu menuntun mereka perlahan memelototi dinding-dindingnya.
Ribuan titik gelap muncul di mana-mana. PK menggenggam sebongkah cadas, menggamit lengan sang bupati, mencolok hidung si pengawal, kemudian menghantam dengan keras salah satu titik yang diperkirakannya paling kelam. Lemparan itu menciptakan keributan hebat. Ketiganya terkepung dalam pusarannya. Jutaan burung walet berbagai ukuran terbang keluar dari lubang-lubang hitam.
Dalam keringat dingin, sang bupati menepuk-nepuk bahu PK. Ia tersenyum lalu membalikkan badan dengan gestur seorang penguasa tulen. Pengawalnya terbirit-birit mengejar, diekori PK yang sekonyong-konyong kembali menjadi tikus got.
***
Kini kampung PK terang benderang. Lampu minyak tanah disingkirkan. Mereka tinggal ongkang-ongkang sekembalinya dari ladang karena dua puluh empat jam pembangkit listrik melayani kebutuhan mereka. Di sisi dekat bibir kawah, sebuah menara indah empat lantai didirikan. Masyarakat desa bergotong-royong menegakkan tiang-tiang pancang untuk melilitkan kabel menuju menara. Konon, di dalam ruangan-ruangnya, lampu-lampu khusus dengan cahaya yang tidak menyilaukan dipasang. Sang bupati bilang kepada orang-orang desa untuk tidak berhenti mengagumi segala kemajuan termasuk terhadap menara di puncak. Lehernya kemudian dikalungi selendang sarung.
Mereka semakin mesra dengan tuan bupati. Pada suatu hari yang terpilih, orang-orang terbaiknya, dan tentu saja PK, dikirim menjadi tuan rumah sebuah pesta besar di kastil bukit gersang. Para pembesar kelas tinggi datang menghadiri keberhasilan pulau ini menyelamatkan pantai lewat program penanaman bakau. Tidak ketinggalan kelompok dadakan pecinta lingkungan, politisi, wartawan televisi nasional, penyiar radio lokal dan nasional, ahli internet, seorang wanita pembawa acara petualangan dari televisi swasta yang dengar-dengar piaraan sang bupati, para musikus untuk meninabobokan orang dan tentu saja beberapa investor. PK memimpin seremonial adat untuk menyucikan perhelatan itu. Kebanggaan menyala di wajah orang-orang kampung.
Tidak mereka ketahui, beberapa hari sebelumnya sang bupati mendatangkan seorang ahli walet, tamatan perguruan tinggi terkemuka. Diam-diam, ahli itu mengerjakan segala-galanya di rumah menara di bibir kawah. Dengan kecermatan seorang ilmuwan, dia menempatkan sebuah robot pemanggil walet yang dilengkapi tape recorder yang berfungsi memperdengarkan suara walet yang telah disunting secara hati-hati dengan teknologi komputer. Suara merdu itu digelontorkan ke langit melalui pelantang suara kecil yang ditautkan ke badan robot. Di setiap sudut bangunan bagian dalam dan luar, dipasang CCTV yang terkoneksi internet sehingga sang tuan hanya perlu menekan tombol dari istananya dan mengontrol perkembangan usahanya.
Tak menunggu lama, tuan bupati tersenyum sebab keramaian telah usai, tetapi pesta yang sesungguhnya baru dimulai. Di dalam ruang kontrolnya, kalkulasi dibuat. ‘September 2021: di dusun kecil di pulau tetangga, seorang saudagar Jakarta menghargai sekilo sarang putih dari jenis walet Aerodramus fushipagus dengan 20 juta rupiah’. ‘Awal 2022: sarang jenis patahan turun ke angka tujuh juta rupiah per kilogram’.
Tenaga ahlinya telah meyakinkan sang bupati bahwa yang akan dihasilkannya adalah sarang walet putih. Tak perlu risau dengan pasaran sebab di antara tetamu yang dininabobokan di kastil terdapat pebisnis besar yang memiliki hubungan erat dengan para pemilik restoran di Jakarta, Surabaya, dan Hong Kong yang menawarkan menu sarang walet dengan harga selangit. Jika semuanya berjalan lancar, dia akan bertambah kaya raya tanpa harus merisaukan tekanan dari pemeriksa keuangan negara. Ini toh bisnis pribadi, bukan kerja dinas!
PK sendiri menendang pengintai sewaannya bersama segala cerita magisnya entah ke mana. Ia kini duduk manis di atas kursi putar di ruangannya. Ini dunia nyata. Jika perlu sesuatu, tinggal menekan bel dan siapa saja di luar muncul tergopoh-gopoh dengan bundelan-bundelan, laporan-laporan atau segelas kopi dan handuk pelap keringatnya.
Ia tidak merisaukan gerakan-gerakan berbahaya penduduk kampung. Mereka telah disumpahnya secara adat untuk tidak memasuki area menara tanpa sepengetahuan tuan tanah meski sekadar mencari babi hutan atau menyadap aren. Siapa melanggar, leluhur memburu nyawanya. Bupati menunjukkan hormat atas adat istiadat orang desa yang menempatkan tuan tanah sebagai penjaga ketenteraman, yang turun-temurun memegang kendali penghubung kehidupan dengan roh para leluhur agung yang bersemayam di gunung.
Begitulah. Kastil bukit terjal pongah menampung tamu-tamu dari negeri yang jauh.
Orang-orang sekampung PK riuh rendah di depan televisi. Rupa mistik roh leluhur memudar dalam sorotan cahaya lampu listrik. Di wilayah-wilayah lain di pulau, PK mendengar para rekan tuan tanahnya membuat kongsi dengan sang bupati. PK telanjur hanyut di atas kursi putar. Persetan dengan arena berburu dan lahan aren yang menciut. ***
.
.
Thomas Didimus Hugu, lahir di Lembata, NTT, 1974. Setelah berkuliah di Surabaya, dan Arkansas, Amerika Serikat, ia kembali ke Lembata untuk berkarya.
.
.
Leave a Reply