A Warits Rovi, Cerpen, Republika

Proses Kedatangan Haji Halim

Proses Kedatangan Haji Halim - Cerpen A Warits Rovi

Proses Kedatangan Haji Halim ilustrasi Rendra Purnama/Republika

5
(6)

Cerpen A Warits Rovi (Republika, 07 Agustus 2022)

SUNA duduk letih pada sebongkah batu. Wajahnya suram. Linang air matanya menempuh belah garis keriput pipinya hingga bermuara di dagu tuanya yang menampakkan dengkulan tulang. Isaknya sambung berantai dengan suara serak yang dalam.

Dadanya serasa pecah saat melihat belasan pohon pisang miliknya bergelimpangan di tepi ladang yang berbatasan langsung dengan bahu jalan kampung. Sebagian pohon pisang yang sudah berbuah itu ditebang paksa oleh aparat desa dan beberapa warga karena alasan demi kebersihan untuk menyongsong kedatangan Haji Halim dari Tanah Suci.

“Mungkin pohon pisang bagi mereka tak seberapa, sementara bagiku sangatlah berarti. Ia menjadi harapanku satu-satunya untuk menyambung hidup bersama keluarga setelah kakiku diamputasi.” Suna menyeka air mata dengan ujung sarungnya yang setengah dipilin.

“Kenapa haji membiaskan tindakan keji?” tanya Suna disertai geletar angin. Ia lantas menoleh—kedua matanya menatap bagian panjang bahu jalan yang berbatas langsung dengan ladang-ladang lain milik warga; dipenuhi aneka pohon pisang, akasia, jati, dan kelapa yang telah roboh ke datar tanah tanpa seizin pemiliknya.

Sudah hampir seminggu aparat desa dan warga melakukan persiapan menyambut kedatangan Haji Halim, orang paling kaya di Kampung Alon. Jalan kampung diperbaiki. Semak dan pohon yang ada di pinggir jalan ditebang bersih. Beberapa warga yang mencoba mempertahankan pohon miliknya sia-sia. Atas nama kebersihan dan menyambut orang datang haji, semua harus tunduk pada aparat: wajib ditebang. Petugas menutup mata dan telinga kepada siapa pun yang meminta belas kasih agar pohon-pohonnya tidak ditebang.

“Ini jalan akan digunakan untuk menyambut kedatangan Haji Halim. Orang yang datang dari Tanah Suci itu mulia, maka tak ada alasan apa pun untuk mempertahankan pohon-pohon di pinggir jalan saat sang haji sudah datang,” ucap Ketua RT tempo hari kepada warga yang memohon agar pohon miliknya tidak ditebang.

“Itu pohon-pohon pisang satu-satunya sumber pendapatan saya, Pak. Jika ditebang, saya tak punya sumber pendapatan lain,” bela Suna saat itu.

“Aku tidak mau tahu itu. Pokoknya ini demi kedatangan Haji Halim. Berhaji itu perilaku mulia.”

Suna berdiri, lalu beranjak ke pohon[1]pohon pisangnya yang sudah seperti orang tidur pulas. Tangannya gemetar meraba bagian gedebok pisangnya yang mulai sedikit mengering. Isaknya masih menyuarakan keadaan hati orang jelata yang sedang terluka.

Baca juga  Segala yang Mati Harus Dikubur

“Kenapa perbuatan baik harus dicampur perbuatan yang merugikan orang lain semacam ini?” Kembali Suna bertanya dalam dirinya. Kembali air matanya berlinang.

***

Seminggu sebelum Haji Halim datang, para kerabat dan tetangganya berduyun-duyun memadati rumah juragan sapi karapan itu. Mereka menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan prosesi kedatangan haji. Para wanita sibuk membuat kue dan makanan lainnya di dapur. Sedang para lelaki berbagi kerja, ada yang membantu proses pemotongan tiga ekor sapi.

Ada yang membuat pernak-pernik hiasan dinding berupa kaligrafi dari penggalan ayat dan hadis yang menjelaskan perihal haji lengkap dengan gambar-gambar yang menghadirkan suasana tanah Arab. Ada yang membuat labang saketeng [1]. Ada pula yang ditugas khusus membuat rentengan mercon belasan meter dan segala jenis petasan lainnya. Selebihnya ada yang sebatas duduk-duduk sambil berbincang—tak henti-henti membahas kehebatan Haji Halim yang sudah lima kali ke tanah suci bersama keluarganya dan selalu disambut meriah saat kepulangannya.

Rumah Haji Halim yang besar dan megah itu kian tampak mewah dengan aneka hiasan. Semakin jauh berbeda dengan rumah bambu kumuh milik Suna di sampingnya yang hanya berbatas pagar. Rumah kumuh itu sudah tampak sedikit miring. Terdapat banyak lubang bekas kunyahan rayap pada gedeknya, bahkan sebagian masih diliputi rumah rayap yang meliuk-liuk dan bercabang mirip pecahan cahaya kilat.

Suna berjalan tertatih dengan bantuan peyangga buatan dari bilah bambu yang diikat bercabang untuk menampung bagian ketiaknya. Untuk keluar ke berandanya saja, ia harus menyeret pahanya yang tinggal berpangkal lutut sisa amputasi. Napasnya terengah-engah dan berkali-kali ia mengaduh.

Saat tiba duduk di lincak bambu yang ada di berandanya, Suna menoleh ke arah rumah Haji Halim. Ia tersenyum dan turut bahagia walau kerap tebersit tanya dalam benaknya, “Kenapa uang Haji Halim tidak digunakan untuk membantu yang miskin saja? Apakah itu tidak lebih baik dari berhaji?”

Tak lama setelahnya, seorang aparat desa menemui Suna. Yang dibincangkan masih seputar persiapan menyambut kedatangan Haji Halim dari tanah suci.

“Saya datang ke sini mau minta izin kepada Pak Suna untuk memasang pagar di sepanjang halaman ini,” ucap si petugas mulai masuk ke topik inti, setelah sebelumnya bercakap seputar kaki Suna yang harus diamputasi.

“Kenapa mau diberi pagar? Saya tidak merasa terganggu kok,” kata Suna bingung sembari mengernyitkan dahi. Matanya yang agak bengkak sejenak menyala oleh rasa penasarannya. Si petugas tak langsung menyahut, ia cuma menghela napas, sebelum akhirnya ia harus bicara jujur kepada Suna.

Baca juga  GERILYA KALIJAGA - DONGENG ARKEOLOG

“Pak Suna memang tak merasa terganggu, tapi mungkin Haji Halim terganggu dengan keadaan rumahmu ini.”

Kalimat itu membuat dada Suna kembali sakit. Lebih sakit daripada saat melihat pohon-pohon pisangnya yang ditebang pada hari sebelumnya. Bahkan lebih sakit daripada saat kakinya diamputasi.

Hari sesudahnya, meski Suna masih belum mengucapkan kata iya, aparat dan warga langsung memacakkan tiang-tiang besi di depan rumahnya. Tiang-tiang itu kemudian diberi sirap yang berbanjar rapat dan kokoh hingga rumah kumuh Suna tak terlihat dari jalan.

Bibir Suna hanya mampu melihat semua itu dengan bibir menggetarkan istighfar. Linang air matanya terus merambahi lekuk garis keriput pipinya yang mirip plastik usang.

***

Siang itu Haji Halim datang. Sejak dari kantor kecamatan, ia diarak konvoi ratusan motor yang memanjang dengan suara knalpot memekik telinga. Semua pengendara konvoi itu diberi kaus seragam yang di bagian dadanya memuat foto Haji Halim dan tepat di bawahnya terdapat tulisan besar dengan warna merah mencolok “Semoga Menjadi Haji Mabrur”.

Pengendara konvoi itu tidak hanya laki-laki, yang di bagian depan adalah pengendara perempuan; semua berkacamata hitam, jilbabnya disingkap ke bahu demi memperlihatkan foto Haji Halim di kausnya. Tepat di belakang konvoi itu, Haji Halim duduk di mobil mewah. Dari balik kaca, ia selalu melempar senyum sembari melambaikan tangan kepada warga yang berada di pinggir jalan. Mobil mewah milik Haji Halim itu diiringi puluhan mobil mewah lainnya yang membuntut perlahan di belakangnya. Mobil-mobil mewah itu sengaja disewa demi ke meriahan acara penyambutan.

Arak-arakan konvoi itu berjalan perlahan demi mempertontonkan kepada warga sebentuk penyambutan mewah. Klakson dan pekik knalpotnya terus berbunyi mulai dari kantor kecamatan, di jalan yang meliuk dan berlekuk sepanjang desa dan perkampungan. Pengendara lain harus mengalah ke pinggir jalan dan terpaksa berhenti hingga barisan konvoi itu berlalu. Kepulan debu dari putaran roda motor dan mobil merempahi udara. Membuat sebagian orang harus menutup hidung.

Sedang di rumah Haji Halim, aneka makan an lezat disiapkan. Sound system termahal yang didatangkan dari ibu kota provinsi menggemakan suara keras. Orang-orang berkumpul—bahkan sebagian rela berdiri dan berdesakan—menunggu kedatangan Haji Halim.

Baca juga  Ode Api

***

Suna beranjak mendekati pagar yang membentang di sepanjang halaman rumahnya dengan bantuan penyangga bambu meski harus tertatih menyeret kakinya yang diamputasi. Saat tiba menyentuh pagar, ia sedikit menjinjitkan kaki agar kepalanya melampaui pagar itu demi bisa melihat konvoi kedatangan Haji Halim yang sudah ada di depan pagar.

Bunyi knalpot iring-iringan motor itu cukup menusuk telinga. Debu jalanan diterbangkan angin ke segala penjuru. Suna pun berkali-kali bersin dan menutup mulut dan hidungnya oleh sebab kepulan debu itu.

Bunyi petasan —yang direnteng dan digantung ke tiang khusus di dekat rumah Suna—terus melengkapi keriuhan. Sobekan halus kertas letusannya berhamburan ke halaman rumah Suna, asapnya putih tebal menghalau pemandangan, membuat mata Suna perih dan bau potasiumnya membuat Suna terasa sesak.

Suna kembali melangkah perlahan balik ke beranda rumahnya. Suara petasan dan suara sound system menyatu riuh memisau telinga Suna. Suna merasa pusing. Dalam pandangannya, alam seperti berputar-putar. Lantas ia duduk di lincak usangnya, bersandar cagak bambu yang sudah rapuh.

“Ya Allah! Jangan takdirkan hamba berhaji, apabila prosesi kepulangannya hanya dipenuhi kegiatan yang mubazir, mengganggu orang lain, dan sekadar pamer kekayaan,” ucapnya lirih sembari mengelus dada, sekitar 30 detik sebelum satu petasan jatuh nyasar dan meletus di dekat Suna. ***

.

.

Rumah Filzaibel, 2022

A Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangi lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur, Gapura, Sumenep, Madura 69472.

.

Proses Kedatangan Haji Halim. Proses Kedatangan Haji Halim. Proses Kedatangan Haji Halim. Proses Kedatangan Haji Halim.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Micha27

    Apa orang Madura memang punya kebiasaan bodoh seperti itu setelah pulang haji?

Leave a Reply

error: Content is protected !!