Cerpen, Koran Tempo, Rilda Taneko

Atkinsons Kafe, Sejak 1837

Atkinsons Kafe, Sejak 1837 - Cerpen Rilda Taneko

Atkinsons Kafe, Sejak 1837 ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

4.5
(20)

Cerpen Rilda Taneko (Koran Tempo, 14 Agustus 2022)

Macchiato dan Red Velvet Muffin

“Aku sudah putus asa dan ingin pindah ke kota lain saja,” kata Marie-Ann. Matanya yang kehijauan dan dihiasi celak hitam tampak berkabut. “Umurku hampir tiga puluh lima, laman kencan sudah kucoba, kolega di kampus sudah kuminta pertolongan mencarikan jodoh. Nada.”

“Ha. Kau ingin pindah ke mana? Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanyaku.

“Aku akan mencari kerja di universitas di kota-kota besar: Manchester, Birmingham, atau London. Pastinya banyak lelaki lajang di sana.”

“Apa memang sepenting itu jodoh bagimu? Sampai-sampai kamu ingin pindah kerja?”

“Sangat, sangat penting,” tegas Marie-Ann. Kini bibir merahnya menipis. “Aku bukan tipe orang yang bisa hidup bahagia sendirian. Aku ingin berbagi hidup dengan orang yang kucintai.

Meski sesungguhnya terkejut, aku mengangguk dan mencoba mengerti. Selama ini kukira menjadi lajang adalah pilihannya.

“Kota ini terlalu kecil,” lanjut Marie-Ann lagi, “Aku heran bagaimana bisa teman-teman lain mendapat jodoh di kota ini. Sementara aku sudah menetap lebih dari sepuluh tahun, tak ada seorang pun.”

Kusandarkan tubuh di kursi dan melayangkan pandang ke sekeliling kafe. Seperti namanya, The Hall merupakan aula besar, dengan lampu-lampu gantung dan meja-kursi bergaya industrialis. Proyektor di langit-langit ruang menayangkan film dokumenter hitam-putih ke dinding dekat pintu.

“Lama juga kamu tinggal di sini,” gumamku.

Marie-Ann mengangguk. “Sejak kuliah sarjana sampai mengajar. Sepuluh tahun di kampus yang sama.”

“Kau tahu tentang kutukan penyihir?”

Ia menyesap macchiato-nya. “Apa itu?” tanyanya.

Aku menggeser duduk dan mencondongkan tubuh. “Setelah tujuh tahun menetap di kota ini, takkan ada orang yang bisa pindah lagi—selamanya akan tinggal di sini.”

Marie-Ann tergelak. “Kau percaya legenda itu? Beberapa kolegaku pindah, setelah berpuluh-puluh tahun menetap.”

“Kamu yakin mereka tinggal di kota ini? Di pusat kota dan bukan di seberang sungai, atau di desa-desa sekeliling Lancaster? Sementara rumahmu dekat kastil, tempat para penyihir dikurung dan mati.”

Marie-Ann terdiam dan mengernyit. “Sebentar,” katanya, “Rose tinggal di Caton, Iris sepertinya di Galgate….”

See…” kataku cepat.

“Tunggu,” sambung Marie-Ann dengan penuh kemenangan, “Skye tinggal di Lindow Street juga, dan dia pindah ke Manchester. Seminggu saja di sana, dia bertemu suaminya.”

“Berapa tahun Skye tinggal di sini?”

“Aagghh,” geram Marie-Ann, “Baru lima tahun.”

See…” timpalku lagi, “Kutukan penyihir belum jatuh padanya.”

“Tetap saja aku tidak percaya. Lagi pula, sudah lama sekali penyihir-penyihir itu digantung, tahun 1612,” sambung Marie-Ann.

Baca juga  Kapotjes dan Batu yang Terapung

“Tidak terlalu lama untuk ukuran kota tua ini …” gumamku.

“Kalian penulis memang terlalu banyak berkhayal!” Marie-Ann tertawa keras-keras. Ia meraih muffin-nya dan menggigit sedikit. “Muffin ini enak, bagaimana dengan kuemu?”

Aku memotong ujung kue biji popi dengan garpu dan memasukkannya ke mulut. “Not too bad,” jawabku, “Lain waktu aku akan memesan kue ini lagi.”

.

Cappuccino dan Carrot Orange and Poppy Seed Cake

Marie-Ann menoleh ke arah pintu masuk. Dia tampak tak nyaman. “Semakin banyak orang yang datang,” bisiknya.

Aku mengangguk tanpa mengangkat pandangan dari laptop. “Salah kita juga. Kita bekerja di kafe, dan bukan di kampus, atau perpustakaan.”

Marie-Ann meringis. “Entah mengapa kafe memang lebih menarik untuk jadi tempat bekerja.”

“Ya, The Castle sampai membatasi waktu untuk pengunjung yang bekerja.”

“Aku belum pernah ke sana,” gumam Marie-Ann, “Aku pernah ke Atkinsons The Music Room. Tapi aku lebih senang di sini. The Hall ini kafe yang paling tua dan tepat di sebelah toko mereka. Aku suka ke toko dulu, membaui kopi di sana, baru duduk di sini. Aroma kopi yang mengendap sejak ratusan tahun tak ada tandingnya.”

Aku mengangkat kepalaku dari laptop dan memandang Marie-Ann.

“Hei, kupikir hanya aku yang melakukan hal itu,” kataku.

Lalu kami tertawa berbarengan.

“Kau tak jadi pindah, kan?” tanyaku.

“Tentu saja jadi,” jawab Marie-Ann, “Aku sedang melamar ke beberapa kampus.”

“Tapi kau akan meninggalkan semua …” sahutku. “Kafe tua, kastil Abad Pertengahan, toko buku tua, dan, jika nanti kau punya anak, ada sekolah tua yang berdiri sejak 1235. Apa lagi yang kau perlukan?”

“Yang kuperlukan …” sahut Marie-Ann dengan getir, “adalah lelaki yang mau punya anak bersamaku.”

“Lalu bagaimana dengan temanmu ini?” tanyaku pelan.

“Maafkan aku, Maya,” jawab Marie-Ann, “Tapi hanya ada satu cara untuk membuatku tetap tinggal di kota ini: carikan aku jodoh di sini. Kau tidak pernah mengenalkanku dengan siapa pun, bahkan bertanya saja segan. Kau dengan keinginanmu menjaga perasaan orang lain dan kesopananmu yang berlebihan!”

Aku tertawa dan menghapus busa cappuccino yang tersisa di ujung bibirku. “Kukira kau tak memerlukan bantuan. Kau yang sangat kuat dan mandiri dan bisa meraih apa pun yang kau mau.”

“Aku tidak sekuat itu …”

“Mau kubeberkan daftar kelebihan dan kebisaanmu?” kataku sambil membelalakkan mata, “Kamu cantik dan pintar, bergelar Ph.D., dosen universitas Top 10, memiliki rumah mahal. Kamu bisa memasak, mengemudi antar-kota, mengerjakan DIY ….”

“Aku tidak bisa bergaul …” potong Marie-Ann, “Well, setidaknya aku harus minum dulu. Sementara kamu bisa berdansa dan berbicara dengan siapa saja tanpa memerlukan bantuan alkohol. Aku bersyukur bisa mengenalmu saat ikut book club itu.”

Baca juga  Tubuh Kurus

Kami tertawa, mengingat pertemuan pertama kami di sebuah klub buku. Klub itu ternyata bagian misi agama, dan kami memutuskan berhenti datang. Kami janji bertemu berdua saja, setiap Kamis, jam sepuluh pagi, di kafe ini.

“Kamu masih punya waktu beberapa minggu,” tegas Marie-Ann, “Apa tidak ada lelaki Indonesia yang kamu bisa kenalkan padaku?”

Aku menggeleng. “Hanya sedikit orang Indonesia di sini.”

“Aagghh,” geram Marie-Ann, “Kau mesti bilang pada teman-temanmu: mereka harus lebih banyak berkelana, jangan hanya di Indonesia.”

“Nasihat dari seseorang yang tak pernah meninggalkan Inggris,” jawabku sambil tersenyum miring.

Marie-Ann tertawa keras. “Kau benar. Mungkin aku yang perlu berkelana. Apa menurutmu aku akan menemukan jodohku di Indonesia? Atau mereka akan rasis padaku?”

“Mereka mungkin rasis padamu. Mereka akan langsung menyukaimu karena kamu bule—berkulit putih dan berambut pirang. Rasis juga, tapi setidaknya menguntungkanmu.”

“Ha-ha-… aneh juga. Coba aku google universitas internasional di sana …”

.

Chemex dan Rhubab, Lime and Coconut Cake

“Maaf mengganggu, tapi sepertinya aku harus mengusir kalian.”

Marie-Ann dan aku mendongak bersamaan. Seorang barista—berambut kecokelatan yang dicepol tinggi dan mengenakan celemek hitam—menghampiri kami. Lawrence Haye tertulis di label nama di dadanya. Ia tersenyum jenaka.

“Apa kami sudah terlalu lama di sini?” tanya Marie-Ann.

“Kupikir hanya di The Castle yang membatasi waktu untuk bekerja,” tambahku cepat-cepat.

Senyum barista bertambah lebar. “Tidak, bukan mengusir kalian ke luar. Hanya berpindah meja, itu pun kalau kalian tidak keberatan. Saya Lawrence, ngomong-ngomong.

“Hai, Lawrence,” sahut Marie-Ann dan aku. Lalu, kami menunggu penjelasannya.

“Hari ini ramai sekali. Ada rombongan yang belum mendapat meja. Tapi meja di ruang belakang masih kosong untuk tiga orang. Orang yang duduk di meja itu tak keberatan jika kalian bergabung dengannya.”

“Oh,” kataku lega.

Kami membawa laptop dan tas, dan mengikuti Lawrence ke sebuah ruang berisi tiga buah meja—satu mejanya dibuat dari mesin penggiling kopi. Meja di sudut belum terisi penuh. Setelah berbasa-basi, Lawrence beranjak untuk mengambilkan minuman dan makanan kami.

Seorang pemuda jangkung dengan laptopnya, juga gelas chemex dan kue kelapa—berambut gelap, berhidung dan berdagu runcing, dengan mata yang tajam. Namanya John Ramsden, dan ia baru saja menyelesaikan sidang doktoralnya.

“Kamu sendirian?” tanyaku, pura-pura sambil lalu, “Tidak bersama pacarmu?”

“Umurku dua puluh delapan,” kata John sambil tersenyum kecil, “tapi aku masih lajang. Sulit sekali sepertinya mencari pacar di kota kecil ini.”

Baca juga  Soto Mi Tanpa Mi

Aku menoleh pada Marie-Ann, di saat bersamaan ia juga menoleh padaku dengan mata melebar.

“Aku tahu seseorang yang bisa kukenalkan padamu,” kataku cepat. “Cantik, pintar, baik, dan bisa banyak hal. Tapi ia tujuh tahun lebih tua darimu.”

“Aku tidak mempermasalahkan umur,” kata John.

“Aku juga,” sahut Marie-Ann.

“Sungguh?” tanya John, “Meski empat ratus tiga puluh delapan tahun?”

Marie-Ann tertawa. “Mengapa spesifik sekali? Tapi, sungguh, aku tidak peduli. Lima ratus tahun sekalipun.”

“Kalau begitu,” kataku sambil mengedipkan mata, “John, kenalkan temanku: Marie-Ann.”

Kami bertiga tertawa, dan bicara tentang banyak hal. Lalu, perlahan-lahan aku menarik diri dan berpura-pura sibuk dengan laptop, kopi dan kue—membiarkan Marie-Ann dan John terus berbincang dengan penuh semangat.

.

Atkinsons Kafe, sejak 1837

Kamis ini aku datang ke The Hall tanpa Marie-Ann. Ia dan John sedang pergi menonton festival musik di Glastonbury. Marie-Ann telah membatalkan semua lamaran pekerjaannya dan memutuskan untuk tetap tinggal di Lancaster. Ia dan John kini menjadi pasangan yang tak terpisahkan.

Jam dua belas, dan aku mulai beranjak untuk pulang, ketika tiba-tiba pikiran itu berkelebat: aku ingin berterima kasih pada Lawrence yang tanpa sengaja telah menjadi “mak comblang” untuk Marie-Ann.

“Lawrence Haye,” ulangku, “H-A-Y-E.”

“Maaf sekali, tapi tidak ada nama itu di sini,” kata barista di belakang konter.

“Tidak mungkin,” kataku, “Seminggu lalu ia bekerja di sini.”

“Aku di sini sudah bertahun-tahun, tapi tak mengenal satu pun Lawrence Haye.”

“Sebentar,” kataku, “Coba aku Google. Mungkin ada fotonya.”

Aku mengambil telepon genggam dari tas ransel dan mulai mengetik: Lawrence Haye Lancaster. Anehnya, yang muncul malah berita dan artikel tentang pengadilan penyihir pada 1612. Tentang seorang anggota Samlesbury Witches bernama Lawrence Haye. Ia dan beberapa penyihir lainnya selamat dari tiang gantungan.

Tepat di sebelah nama Lawrence, ada satu nama yang juga akrab bagiku.

—John Ramsden. ***

.

.

Lancaster, Juli 2022

Rilda Taneko, penulis asal Indonesia yang telah menetap di Eropa sejak 2005. Ia menerbitkan cerpen-cerpennya sejak 2002 di sejumlah media. Buku-bukunya: Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010), novel Anomie (2017), dan Seekor Capung Merah (2019).

.

Atkinsons Kafe, Sejak 1837. Atkinsons Kafe, Sejak 1837. Atkinsons Kafe, Sejak 1837.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 20

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!