Analisa, Cerita Remaja, Siska Damanik

Surat untuk Oppung

Surat untuk Oppung - Cerita Remaja Siska Damanik

Surat untuk Oppung ilustrasi Toni B/Analisa

0
(0)

Cerita Remaja Siska Damanik (Analisa, 15 Oktober 2017)

“TIDAK ada yang tahu jelas apa yang akan terjadi esok, nanti, atau sedetik setelah ini. Kita hanya menjalankan saja sambil menerka-nerka bersama setiap harapan yang sangat indah. Jangan pernah mengabaikan setiap nasihat. Banyak orang yang melihat tapi tidak memperhatikan. Banyak yang berpikir tapi tidak memahami.” Kalimat-kalimat tersebut seakan menari-nari di dalam otakku setiap kali aku memulai pagiku.

Dulu Oppung selalu mengingatkan untuk belajar bahasa Batak. Kata beliau, “Semakin banyak bahasa yang kamu ketahui, semakin mudah kamu berteman. Budaya Batak adalah budaya kita, warisan yang tak akan pernah punah. Jangan malu jadi orang Batak. Kamu harus bangga, budaya kita sangat unik.”

Aku selalu saja mengabaikannya. Beliau bilang aku pasti membutuhkannya. Aku menganggap itu hanya pemikiran kolot, hanya untuk mereka yang tinggal di kampung yang perlu mempelajari bahasa seperti itu.

Terang saja, aku tinggal dengan mama dan papa di kota yang kerlap-kerlip lampu tiada henti. Kemacetan yang menjadi bagian pelengkap dan banjir yang menyeka setiap jalanan. Ya, jelas saja di sini jarang ada yang memakai bahasa Batak. Bagaimana mungkin aku membutuhkan bahasa itu? Belum lagi, papa mama saja yang berdarah Batak tetap menggunakan bahasa yang cukup karib di kota ini. Apalagi di sekolah, tak pernah aku mengunyah bahasa seperti itu di sini.

Tadi pagi, oppung menelepon bahwa ada anak dari kampung oppung yang pindah ke Jakarta. Oppung menyarankan agar dia masuk ke sekolah yang sama denganku. Oppung juga menyuruhku untuk belajar budaya Batak darinya. Ya, gitu, pesannya yang membosankan terulang lagi.

“Cia, budaya Batak itu unik loh. Kamu harus melestarikannya juga, biar gak punah kayak dinosaurus. Nanti Lindung akan mengajarimu, dia itu pintar banget tentang budaya. Semoga cucu oppung bisa ya?”

Tiba-tiba aku teringat dua minggu lalu aku mempunyai teman baru dari Sipiongot. Lindung, begitu dia memperkenalkan dirinya. Logatnya masih sangat kental dengan penekanan yang cukup berbeda dengan yang biasa kugunakan. Dia tinggal tak jauh dari rumah oppung tapi baru ini kali pertama aku bertemu dia. Ketika dia memperkenalkan diri, kami tertawa terbahak-bahak karena logatnya yang masih pekat seperti sirup yang belum diaduk dengan air. Lindung memang datang dari kampung namun ia cukup jenius sehingga ia tidak sulit untuk bergaul dan dia ia punya banyak teman di Jakarta ini. Aku terkesan dengan dirinya, baru seminggu sekolah di Jakarta dia sudah bisa akrab dengan dunia Jakarta ini. Hampir semua temanku menerimanya dengan baik tanpa peduli logatnya. Namun, berbeda denganku. Aku merasa gengsi berteman dengannya. Aku sering mengolok-olok dia.

Baca juga  Stasiun Terakhir (2)

“Gengsi dong, Alicia berteman dengan anak kampung,” demikian jawabanku setiap mama menyuruhku mengajak Lindung main ke rumah.

Aku malu punya teman dari kampung, apalagi dari Sipiongot. Belum lagi dia sering bawa bekal makan siang nasi goreng pete dan jengkol rendang yang katanya makanan kesukaannya. Bayangin aja kalau makan bareng dia, yang ada hanya menurunkan selera makan. Aku tak sanggup membayangkan bau pete yang akan menusuk rongga hidungku.

Aku selalu menjauhkan diri setiap kali dia mengajakku berbicara. Belum lagi kebiasaannya sangat aneh menurutku. Dia suka menyanyikan lagu Batak dengan gitar di kelas. Dia suka tertawa sampai seluruh isi mulutnya terlihat, ya tertawa menganga. “Kampungan banget,” pikirku. Lebih anehnya, dia suka teriak memanggil teman lainnya. Ya gitu, teman yang ada sekitar tujuh belas langkah aja harus teriak? Aku pikir dia ‘kan bisa menghampirinya, trus ngomong pelan-pelan. Emang dia pikir ini hutan? Heran deh! Semenjak kehadiran Lindung di Jakarta ini, mama jadi lebih sering ngomel.

“Kamu harus pintar berteman, Cia. Gimana pun dia itu ‘kan temanmu. Kamu lupa kata oppung?”

“Mama gak tahu sih, dia itu norak, Ma. Dia bau pete, Ma. Lagian oppung gak ngerti kehidupan di kota, Ma.”

Ya gitu, ini yang sering jadi perdebatan setiap kali pulang sekolah. Mama selalu mengomel, berteman dengan Lindung, Lindung anak baik, Oppung bilang kamu harus belajar bahasa Batak. Kalimat itu seolah berubah menjadi santapan makan siangku semenjak kedatangannya.

Karena bosan dengan omelan mama yang tak ada habisnya, meski dimulai dari pertama kali aku menulis cerita ini bahkan sampai selesai pun mama belum juga selesai marah-marah. Pernah sekali aku berpikir untuk mengajak Lindung ke rumah. Bukan karena aku ingin berteman dengannya tapi aku berniat menunjukkan ke mama kenapa aku tak ingin berteman dengannya.

Bel pulang sekolah merambat ke telinga semua orang yang berada di sekolah. Aku bergegas menghampiri Lindung dan mengajaknya ikut ke rumah. Dia awalnya menolak, katanya dia mau membantu mamanya membuat ombus-ombus untuk dijual. Sebenarnya aku ingin sekali menertawainya, “Apa iya ombus-ombus laku di ibukota?” Tapi demi usahaku mengajaknya ke rumah, aku berusaha juga menahan tawa. Ya mantap, usahaku menahan tawa sebanding dengan usahaku mengajaknya ke rumah. Dia mengiyakan dengan wajah yang sedikit malu, segan, atau apalah.

“Ma, ini Lindung. Aku mau ajak dia ke rumah.”

Mama langsung menarik tangan Lindung dan merangkulnya masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah ditambah dengan macet-macet yang melengkapi perjalanan kami, mama dan Lindung tampak sangat akrab. Mereka bercerita sambil ditemani tawa yang cukup renyah. Sementara aku sibuk dengan headset dan handphone-ku. Aku mulai mengisi otakku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mampu membuatku hampir muntah karena isi otakku hampir penuh.

Baca juga  Petisi

“Apa mama tak merasakan aroma pete yang cukup mencekam hidung? Kenapa mama bukannya mulai menjauh, justru semakin akrab dengannya? Apa karena mama juga mengerti bahasa yang dipakainya? Apa karena mama senang dengan logat Bataknya? Atau justru dia mampu membuat mama flashback dengan masa kecilnya di Sipiongot?”

Semua ini membuatku merasa malas dan berniat untuk melupakan semua pertanyaanku itu. Aku tetap menikmati musik dari handphone-ku.

Tiba di rumah, mama mengajak kami makan siang. Mama menyediakan ayam goreng dan sayur asam kesukaanku. Aku merasa sangat lapar dan ingin segera makan. Namun, semua ini ditunda dengan kata-kata si Lindung kampung yang satu itu.

“Nantulang, bisanya aku minta bawang mentah?”

Aku benar-benar terkejut dengan kata-kata itu. Untuk apa dia minta bawang mentah? Aneh-aneh saja tingkahnya. Anehnya lagi mama seakan mengerti permintaannya, mama segera mengambil bawang dari kulkas dan mengupasnya. Lindung lalu mencucinya dan memakan bawang itu mentah-mentah bersama nasi. Seakan-akan bawang mentah adalah lauk paling lezat yang pernah ia rasakan. Aku benar-benar benci terhadap semua kebiasaannya. Mama semakin sering memuji-mujinya apalagi kepiawaiannya memainkan gitar sambil bernyanyi.

Aku merasa tak peduli lagi dengan saran mama untuk mempelajari sedikit demi sedikit bahasa di Toba. Sampai akhirnya, papa terserang penyakit yang membuatnya berhenti bekerja. Mama mulai tidak sanggup membiayai kehidupanku dan sekolahku di kota ini. Mama berniat memindahkanku ke Sipiongot. Mama bilang aku harus bersekolah di sana dan tinggal bersama Oppung untuk sementara. Aku sangat sedih dengan keputusan mama, aku merasa akan sangat kesepian. Aku membayangkan kehidupan di sana. Seakan semua berputar dan aku bertukar posisi dengan Lindung, orang yang paling sering kuejek-ejek.

Aku mulai bersekolah di sini, di SMA yang mama pilihkan untukku. Semua orangnya masih berlogat Batak kental, bukan hanya sekadar logat. Mereka juga sering menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa komunikasi mereka. Aku merasa tersingkir dari pertemanan mereka karena sama sekali tak mengerti yang mereka katakan. Aku sering menyendiri dan tidak berniat bergabung dengan mereka. Mereka sering menatapku sinis, aku mendapatkan apa yang kulakukan pada Lindung.

Dua minggu terakhir, Oppung sering sakit sehingga tak ada yang masak makanan seperti biasanya, dan aku tak bisa memasak. Ketika aku tinggal bersama mama, jangankan untuk memasak, ke dapur saja aku jarang. Oppung menyuruhku untuk makan kerupuk, bawang mentah dan pete saja sebagai lauk untuk sementara ini. Aku menolak, aku menahan lapar. Aku berusaha memejamkan mata, berusaha tuli akan teriakan cacing-cacing di perutku.

Baca juga  Bunyi Guruh di Kejauhan

Sebentar-sebentar mataku terbuka, perutku semakin lapar. Aku menyibukkan diri dengan handphone. Tapi tetap aja tak bisa menahan lapar. Aku mencoba memejamkan mata, menutup wajah pakai bantal. Tapi, aku tetap tak bisa tidur. Aku pun berniat memaksakan diri untuk makan seperti yang disarankan Oppung. Sebelumnya aku berpikir untuk membangunkan oppung untuk menemaniku ke dapur.

“Oppung, Cia mau makan. Temani Cia ke dapur ya pung?” ungkapku sambil mengetuk pintu kamar oppung.

Tapi, oppung sama sekali tak menjawab. Biasanya, oppung selalu menyahut dengan lembut setiap kali kupanggil meskipun tengah malam. Aku pernah berpikir apakah oppung tak pernah tidur. Aku kembali memanggil oppung. Tapi, sama sekali tak ada jawaban. Aku penasaran dan masuk ke kamarnya. Kulihat oppung sedang tidur. Sebenarnya aku tak tega membangunkannya namun perutku sangat lapar. Aku membangunkan oppung tapi tidak juga dijawab. Aku mulai menangis dan mulai berteriak. Orang-orang mulai berdatangan. Ternyata oppung tertidur dan tak akan bangun lagi. Padahal aku belum juga belajar budaya Batak darinya.

Kini aku akan tinggal sendiri di sini setelah masa berkabung selesai. Karena mama, papa dan sanak kami yang lain akan segera kembali ke tanah perantauan mereka. Aku harus belajar sendiri untuk bertahan di sini sampai masa SMA-ku selesai.

Aku masuk ke kamarku dan menggoreskan tinta di kertas,

Untuk: oppung di surga

“Andai saja oppung masih hidup. Andai saja aku belajar bahasa dari dulu, dari awal oppung menawarkan untuk mengajariku. Aku tak akan diolok-olok oleh temanku. Sekarang aku harus belajar sendiri, tak ada lagi oppung yang akan menemaniku. Tapi, aku akan tetap menjaga budaya kita. Budaya ini warisan yang tak akan pernah habis. Tidak seperti warisan yang diberikan oleh para koruptor untuk anak cucunya, pasti akan habis atau disita seiring berjalannya waktu. Batak tak akan pernah seperti dinosaurus. Terimakasih oppung, aku sangat merindukanmu.”

Alicia

“Cia, ayo makan siang,” suara mama memanggilku. Kumasukkan surat ini ke amplop dan menyimpannya di bawah bantal. Aku segera menemui mama. ***

.

.

Pematang Siantar, Januari 2016

.

Surat untuk Oppung. Surat untuk Oppung. Surat untuk Oppung. Surat untuk Oppung. Surat untuk Oppung.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!