Cerpen Agus Dermawan T (Kompas, 21 Agustus 2022)
“AKU sama sekali tidak ingin api datang berlebihan. Itu mengerikan. Itu malapetaka. Bahkan omong soal itu saja pali, pamali, ora ilok!” kata istri Ipung. Wajahnya tampak ketakutan.
Ipung merengut.
“Kau ingat, api selalu ingin diambil seukuran yang diperlukan. Jika kau berlebih mengambilnya, jika kau behasrat merampoknya, semuanya akan terbakar,” sambung istri Ipung yang mulai menangis.
Ipung mulai gusar.
“Jangan menangis! Janganlah kau cengeng, berhati lembek!”
Ipung merangkul pundak istrinya. Dibimbingnya ke sebuah tempat yang agak lowong dan bebas dari kesimpangsiuran, beberapa puluh meter dari tempat kejadian. Di sana, Ipung dan istrinya duduk di sebuah batu besar. Pandangannya menyorot tajam ke arah peristiwa yang luar biasa. Bara api merah menyala-nyala. Istri Ipung menutupi wajahnya.
“Aku tak ingin melihatnya. Bukankah itu yang paling tidak kita inginkan. Bagai masuk neraka jahanam!” katanya.
Ipung mulai marah.
“Hapus air matamu. Air setetes-setetes, mustahil bisa membinasakan api sebesar itu! Hapus!”
Istri Ipung menuruti kehendak itu. Dengan punggung tangannya dikibaskan air yang deras mengucur. Dikibaskannya jauh-jauh, seperti mengusir sesuatu yang benar-benar dimusuhinya.
“Bagus. Begitu mestinya. Bunuh saja air mata itu!” Ipung membakar sikap istrinya yang mulai menuruti segala kehendaknya.
“Dan sekarang, dengan perasaan gembira, dengan perasaan lega, terbuka, lepas, bebas, atas kemauanmu sendiri, atas dorongan nuranimu, atas suruhan hati kecil atau hati besarmu, atas persetujuan mutlak isi jiwamu, pandanglah api di sana. Dan tataplah keindahannya. Tatap geraknya. Dan amati betapa gagahnya ia. Betapa bergolak jiwanya! Karena itu, tertawalah. Bersukacitalah melihat dia bertingkah!”
Mereka kemudian seperti terjun ke alam mimpi. Tak sedetik pun mata mereka melewatkan gerak api yang membakar hangus rumahnya itu. Kini, mereka melihat, dinding sebelah kiri yang baru dibangun mulai dijilat-jilat singa merah. Gemeratak dan mendengus-denguskan suara berat. Seperti udara mampat yang menyembur dari sebuah lubang besar. Dan kemudian tampak dinding yang sempal. Pelan-pelan rontok dan bergedebum. Menimpa sebuah mobil yang diparkir di bawahnya. Teriakan orang-orang di sekitarnya menjadi-jadi.
“Mereka terlambat,” kata Ipung. “Mestinya mobil itu diseret ke luar dulu,” sambungnya. Istrinya seperti tak mendengar.
Di hadapan mereka, api semakin memamerkan keperkasaannya. Setelah berhasil meledakkan suara gedebur, singa merah itu membentuk bulatan-bulatan menggumpal. Seperti berseloroh api berebut mendaki angkasa dan kemudian melebur dan menjelma jadi bayangan-bayangan hitam. Sementara jilatan yang lain sibuk merogoh-rogoh kayu-kayu usuk rumah. Seperti dicekal-cekalnya kayu-kayu itu sampai berpatahan sehingga genting-gentingnya berguguran. Suara riuh terdengar.
Beberapa orang kelihatan menyingkir sambil melepaskan timba-timba yang ditentengnya. Pekikan histeris terdengar setiap kali.
“Ada yang berusaha mengeluarkan televisi!” Ipung berteriak. Tapi, kemudian diam, karena ia akhirnya merasa bahwa kalimatnya hanya untuk meyakinkan penglihatannya sendiri saja. Istrinya memang tak ambil peduli dengan televisi itu. Mata Ipung tetap tak berkejap. Persis seperti ketika ia menatap lukisan “Hutan Terbakar” karya Raden Saleh. Sinar mripat-nya memancarkan jiwa kekaguman yang amat sangat.
Tiba-tiba terdengar suara berdentam bagai mortir. Dan dalam sekejap bara api tampak menjulang amat tinggi. Bagai tangan-tangan raksasa api itu menggaruk-garuk langit.
“Tangki kompor gas meledak!” seseorang menjerit.
Orang-orang segera berhamburan menyingkir. Berserakan. Dan lantas bengong sesaat, seperti mengambil ancang-ancang untuk putus asa. Ipung melihat barang-barang yang berhasil dikeluarkan penduduk untuk diselamatkan di lokasi di sebuah lapangan. Kasur, lemari, mesin jahit, kulkas, dua lukisan, ranjang, radio, meja tamu, kursi tamu, meja tulis, dan sejumlah buku tebal.
Ipung dan istrinya tak henti-henti memperhatikan. Api terus meluruhkan segala sisi rumahnya. Terus dan terus menghitamkan segala yang bisa dihitamkan. Bagai bakaran daun-daun kering, suara-suara renyah bersahutan. Letupan kecil, letusan besar, bagai mercon kanak-kanak yang menghibur. Merahnya merekah. Disusul hitam memekat bersusulan ke langit bebas. Yang kemudian lebur dan menjadi kelabu.
“Langit mulai hitam. Angin mengarah kita. Kita tak bisa lagi melihatnya!” tiba-tiba Ipung berkata. Tak ada tawar-menawar, diseretnya istrinya dari batu besar itu.
“Kita cari tempat yang lebih aman,” ujarnya lagi.
Beberapa puluh langkah telah diayunkan. Beberapa orang menyapanya dengan sedih dan dengan muka-muka berusaha seperti duka. Tapi, Ipung menyambutnya dengan senyum. Keramahannya seperti keramahan yang disampaikannya di hari-hari biasa. Seseorang memeluknya sambil mencucurkan air mata. Ipung menolaknya.
“Kenapa. Ada apa hingga kau menangis?” katanya. Mulutnya menyungging tawa. Matanya dinaikkan oleh urat-urat wajahnya, seperti menanyakan sesuatu dengan isyarat. Sampai kemudian ia menyambung.
“Maaf. Maaf. Kami berterima kasih atas simpatimu. Tapi, yang kami butuhkan sekarang adalah sebuah tempat yang lebih tinggi. Sebuah tempat yang memungkinkan kami melihat rumah kami yang terbakar itu dengan lebih bebas. Adakah Bapak punya tempat?”
Lelaki yang tadi memeluknya itu dengan tergagap dan terbungkuk-bungkuk menyorongkan jempolnya ke arah rumahnya.
“Silakan. Silakan, Pak. Rumah saya di ketinggian. Bisa dipakai,” ucapnya terbata-bata.
Ipung dan istrinya memasuki rumah itu. Di belakang kamar tamu mereka mendaki sebuah tangga. Di ujung tangga terbukalah sebilah pintu. Dan mereka masuk. Tanpa memperhatikan lagi si tuan rumah, Ipung dan istrinya menyeret dua buah kursi ke sebuah jendela terbuka. Di sana, mereka lantas duduk. Tak berbeda seperti beberapa saat sebelumnya, mata mereka lantas tanpa terkedip menyorot api yang menggulung rumahnya itu.
“Ya. Dari sini lebih jelas!” Ipung mengucap.
Dari jarak seratus meter segalanya tampak lebih menarik bagi mereka. Apalagi dari ketinggian. Semua kelihatan lebih jelas. Kemauan bara api seperti sangat mudah dilacak mata-mata mereka. Dan semakin mudah dihayati. Diresapkan dalam kalbu mereka yang terdalam. Ipung berdiri, tangannya lantas berkacak pinggang. Istrinya juga ikut berdiri. Tangan menyilang di dadanya. Ipung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan main,” katanya berdesah. ”Tak juga surut. Sekarang menjilat atap tetangga!”
Istrinya mengangguk-angguk. Mereka tetap berdiri.
Beberapa detik setelah itu terdengar sirene mengaung-aung. Dari jauh, sesosok benda merah merayap. Mobil pemadam kebakaran. Begitu mobil berhenti di depan bara mengamuk itu, beberapa manusia bertopi bundar tampak berloncatan. Pipa-pipa besar ditongolkan. Sejenak kemudian, bersemburanlah air dengan santer dan penuh semangat.
Ipung dan istrinya menyaksikannya dengan antusiasme penuh. Mereka seperti menyaksikan atraksi khusus yang selama ini tak pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terduduk lagi. Dengan tangan memegang erat bibir jendela, Ipung bergumam.
“Tak bisa tidak, aku harus mengagumi dua jenis makhluk itu. Pemadam kebakaran dan api itu! Mereka seperti ditakdirkan hanya untuk memberi kesenangan kepada kita. Mereka dibuat untuk menjelmakan atraksi yang mesti kita tonton. Mereka diciptakan dengan warna-warna yang saling berlainan. Dengan putih, dengan merah, dengan hitam! Warna-warna itu, lihat, betapa kontras. Betapa indah dilihat di tempat terbuka!”
Istrinya berdiri. Kepalanya sedikit mendongak menatap kepul hitam di angkasa. Kemudian lehernya seperti dijulurkan ke atas. Seolah-olah ada sesuatu yang diperhatikan. Sambil tersenyum, ia menoleh ke suaminya. Dan lagi-lagi, sambil mengangguk.
“Indah memang,” kata istri Ipung. Dan mereka berpelukan.
Ipung merasakan dirinya seperti Raja Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus. Kaisar Romawi abad ke-5 yang sengaja membakar kota Roma, dan menyaksikan kebakaran 39 hari itu dari ketinggian demi kepuasan hatinya. Hanya bedanya, apabila Nero mengambinghitamkan orang-orang Kristen sebagai penyebab kebakaran, Ipung memosisikan diri sebagai orang yang terkena musibah akibat keteledoran.
“Kebakaran rumahku adalah kesalahanku. Karena itu, api yang menghukum diriku adalah milikku. Hei api! Kutatap khidmat kau sepenuh-penuh mauku,” kata hati Ipung.
“Aku sangat bahagia melihat kau tak mencucurkan air mata hanya karena api itu. Kita pernah memerlukan api, tetapi kita juga pernah melalaikannya. Jika api tak setuju dengan kelalaian kita, itu adalah haknya. Itu hukum alam. Kenapa mesti kita tolak. Kenapa mesti kita cegah? Betul, kan?”
Angin deras menggelebur. Udara panas secara bertahap menerjang mereka. Pintu jendela segera saja mereka tutup. Dan mereka segera menuruni tangga.
“Kita harus cari tempat yang lebih tinggi lagi. Semakin tinggi api, semakin sukar kita nikmati keindahannya. Ayo!”
Di sebuah rumah bertingkat tiga, mereka membungkuk. Mereka dengan senyum dan keramahan memohon kepada pemilik rumah agar diberi waktu sesaat untuk duduk di mulut jendela kamar di tingkat tiga itu.
“Kami ingin melihat, bagaimana api itu melumat rumah kami. Bagaimana manusia-manusia bertopi bundar itu menyirami rumah kami,” kata Ipung sopan.
Pemilik rumah yang muda itu menyalaminya erat-erat. Wajahnya kusut dan terharu.
“Masuklah Bapak. Dan naiklah. Silakan. Silakan Bapak,” sambutnya.
Dan naiklah Ipung dan istrinya.
“Hanya dari sinilah barangkali Bapak bisa melihat jelas rumah Bapak. Dari sisi lain, saya pikir kurang pas,” tutur pemuda pemilik rumah tersebut. Dan mereka pun bersalaman lagi.
Ipung menuju ke jendela kamar itu. Kamar yang berbau wangi. Penuh hiasan bunga. Sebuah lemari kaca indah terpancang. Jajaran kosmetik lux dan anggun berjajar. Rangkaian asparaga terpacak di sisi dinding. Dan sebuah ranjang lebar, masih baru, rapi, berkasur empuk dan hangat terlihat terhampar.
“Hoi, kamar pengantin!” istri Ipung berkata. Ipung meresponsnya dengan tawa lebar.
“Benar! Ini kamar pengantin! Itu lihat, kado-kadonya. Sebagian belum dibuka! Heh, jangan lupa berbahagia, ya. Sebaliknya, buang jauh-jauh benih curiga. Saling terbuka, saling percaya. Sama sekali jangan main api,” Ipung berkata sambil menatap sepasang pengantin pemilik rumah itu.
Lalu, dari jendela kamar pengantin, Ipung dan istrinya melihat rumahnya telah jadi jelaga. Meski sisa-sisa warna merah masih pula menjilat-jilatnya.
“Lengkap sudah. Kita telah memahami semua itu sebagai masa lalu yang hangus dimakan waktu. Semuanya memang akan musnah, semuanya akan hangus dan menjadi abu. Tak terkecuali apa pun, di mana pun, dan siapa pun itu,” mereka berguman. Bersama-sama.
Kemudian ditutupnya jendela.
Ipung dan istrinya kemudian terbahak bersama-sama di beranda rumahnya yang teduh dan dipenuhi aneka kembang. Gardenia carinata, Murraya panicula, Solandra longiflora, Bougainvillea, Allamanda cathartica, Cleodendron thomsonae, Adarium coelaneum sampai kacapiring. Juga pohon tecoma stans yang bunganya kuning menyala. Ipung dan istrinya serentak mengangkat secangkir cokelat hangat untuk diseruput bareng. Ia tak beranjak dari duduknya sampai malam tiba. Mereka menunggu rembulan menyempurnakan purnama.
Ipung dan istrinya memang sedang mencoba-coba menjadi orang gila agar diri mereka jadi bahagia. Setelah melihat kenyataan: begitu banyak manusia yang terus gagal dalam hidup, padahal mereka sudah berusaha keras jadi orang waras.
“Kapan-kapan, kita kebanjiran, yuk! Kena air bah!” kata Ipung. Istrinya mengangguk. ***
.
.
Kelapa Gading, Jakarta, 2022.
.
.
Catatan:
Pali (bahasa Dayak), pamali (bahasa Sunda), ora ilok (bahasa Jawa) artinya tabu. Atau sesuatu yang tidak boleh dilanggar.
.
.
Agus Dermawan T, pengamat seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni. Buku Sekumpulan Puisi Pantang Kabur diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, April 2022. Kumpulan cerpennya akan terbit tahun ini. Memenangi delapan kompetisi cerpen nasional.
Antonius Kho, lahir tahun 1958 di Klaten, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan seni rupa di Bandung, melanjutkannya di Koeln, Jerman. Menerima sejumlah penghargaan, antara lain 1st Prize “Mask in Venice” Art Addiction Annual di Venesia (1998) Gold Masks “Diploma of Excellence”, Palazzo Correr di Venesia (1989). Sejak 2004, mendirikan Liang Art Space (Wina Gallery), di Ubud, Bali.
.
Ode Api. Ode Api. Ode Api. Ode Api. Ode Api. Ode Api. Ode Api.
Leave a Reply