Cerpen Rinto Murdomo (Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 2019 Menipu Arwah)
SUDAH dua hari ini Sukri berada di hutan dekat perkampungan transmigrasi yang ditempati. Dia bingung ketika harus pulang ke barak-barak yang disediakan oleh pemerintah untuk para warga transmigrasi. Bulan ini, tanggal 20. Beras dan ikan asin jatah dari pemerintah sudah ludes. Sukri bingung, harus mencari uang dari mana untuk membelikan beras istrinya. Sementara, lahan dari pemerintah yang ditanami merica dan kelapa sawit masih jauh sekali dari kata panen. Kegalauan itu yang membuat dia bertahan di hutan dekat lahan bercocok tanam.
Hari ini hari ketiga. Sukri tetap tidak berani pulang. Dia memilih tidur di pinggiran hutan sambil menyalakan api unggun untuk mengusir nyamuk kalimantan yang sangat ganas. Sementara, sebelum malam merangkak Sukri harus mencari bahan makanan yang banyak tumbuh di pinggiran hutan, seperti ketela pohon, pisang liar, dan buah-buahan hutan seperti jambu, sawo, dan jamblang yang banyak bertebaran.
Sambil menyisir pinggiran hutan, kakinya menendang dedaunan kering sekadar untuk mengusir rasa gelisah. Hawa aneh menyelimuti perasaannya, antara merinding, aneh, dan mistis. Namun, semua itu masih terkalahkan oleh rasa gelisahnya karena tidak memiliki uang sepeser pun. Tidak berapa lama kakinya terantuk sesuatu yang membuat seluruh perasaan takutnya membuncah. Ternyata, secara tidak sengaja dia menendang tulang-belulang yang masih utuh. Karena ketakutannya, Sukri sampai terduduk lemas tidak berdaya.
Setelah beberapa saat terperanjat, Sukri dapat menguasai ketakutannya. Dia mulai berpikir jernih. Kalau melaporkan hal ini kepada polisi, dia akan ikut terseret dalam masalah ini. Dia akan menjadi saksi dan harus banyak meluangkan waktu untuk bolak-balik ke kantor polisi. Sementara jarak polsek terdekat saja sekitar 15 kilometer. Dia merasa ketakutan memikirkan hal itu, merepotkan dan bisa jadi malah dia yang akan menjadi tersangka. Oleh karena itu, Sukri memutar otak untuk menyingkirkan tulang-belulang. Diambillah cangkul dari ladangnya untuk menguburkannya.
Sambil membaca doa sebisanya, Sukri mengubur tulang-belulang tersebut. Setelah itu dia kembali ke perapian untuk istirahat. Karena tidak mendapatkan bahan makanan sedikit pun, malam ini dia sangat kelaparan. Angin sepoi-sepoi seolah-olah mengantarnya ke dunia mimpi. Dia terlelap. Di dalam tidurnya, Sukri merasa didatangi seorang kakek tua yang tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, ya Nak, aku telah Kau kuburkan dengan layak. Tidak seperti kemarin, tubuhku masih tidak terurus hingga hari ini Kau makamkan.”
Suara sang kakek yang berat tersenyum sangat tulus. Kakek itu memakai baju hitam dengan ikat kepala. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput. Rambutnya pun memutih dengan kumis dan jenggot berwarna perak. Sukri terbangun dari tidurnya. Dia merasa sangat kaget. Ini mimpi atau nyata? Namun sosok kakek itu terasa nyata, suaranya pun sangat jelas terdengar di telinganya. Atau mungkin kakek itu adalah arwah dari tulang-belulang yang dikuburkannya?
Sukri heran dengan kejadian-kejadian yang menimpanya sepanjang hari ini. Mulai dari menemukan tulang-belulang hingga ditemui arwah pemilik tulang-belulang yang dikuburnya. Otak Sukri bereaksi dengan cepat. Dia menganalisis semua kejadian janggal yang menimpanya. Apakah ini artinya arwah dapat diajak berkomunikasi dengan cara tertentu? Kalau tulang-belulangnya dikuburkan, dia bisa berterima kasih. Ini berarti kalau tulang-belulangnya dipisahkan, pasti dia akan mencarinya.
“Aaahhhh, aku mempunyai ide cemerlang. Mungkin saja arwah itu juga bisa ditipu,” pikir Sukri.
“Baiklah, besok pagi aku akan melaksanakan rencanaku. Malam ini, sebaiknya aku tidur,” batin Sukri.
Ketika kokok ayam hutan mulai bersahutan, Sukri bergegas mencari pohon kelapa yang daunnya akan dia anyam menjadi wadah buah-buahan. Setelah itu, Sukri menuju tempat dia memakamkan tulang-belulang. Dibongkar dan diambilnya kepala tengkorak itu. Kepala dan seluruh tulang yang ditemukan diletakkannya ke dalam tempat dari daun kelapa yang dianyamnya. Hari masih teramat pagi ketika dia sampai di sungai perbatasan desa dan ladang. Di sana Sukri membersihkan tengkorak manusia itu dari kotoran tanah yang menempel. Setelah bersih, bergegas dia pulang dan langsung masuk rumah menyimpan tengkorak ke dalam lemari, menguncinya dengan rapat. Selepas itu, dia tidur karena kelelahan.
Sore hari, lirih terdengar suara istrinya yang membangunkan Sukri dari tidurnya.
“Kang, bangun sudah sore. Mandi dan makan, Kang.”
“Iya,” jawab Sukri perlahan. Tapi Sukri masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih sangat lelah. Kejadian beberapa hari ini cukup menguras energinya. Hingga terdengar suara kentongan tanda Maghrib mulai tiba. Dia pun beranjak dan bergegas ke kamar mandi yang letaknya di belakang rumah dan tanpa penerangan. Ketika keluar dari rumah yang terbuat dari anyaman bambu, Sukri dikagetkan oleh kedatangan seorang kakek tua yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin. Namun, kali ini tampak sangat nyata. Sang kakek itu bertanya.
“Mengapa kau bawa pulang tengkorak kepalaku? Kembalikan, tolong kembalikan.” Walau dalam ketakutan, otak Sukri segera berputar dan berpikir saatnya dia menipu arwah itu.
Sukri pun menjawab, “Baiklah, kalau Kau ingin aku mengembalikan tengkorakmu, maka bantulah aku untuk menjadi kaya raya.”
“Bagaimana caranya?”
“Berilah aku nomor SDSB 4 angka dan besok pagi aku bisa menjadi seorang yang kaya raya.”
“Baiklah, kalau Kau sudah sampai di tempat yang jual nomor itu, aku akan bisikkan Kau nomor yang akan keluar besok.”
Setelah mandi, Sukri menemui istrinya untuk menanyakan apa saja yang dia butuhkan untuk ladang.
“Masih ada uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli pupuk.”
Sukri segera menuju ke tempat penjual nomor SDSB yang ada di desanya. Dalam perjalanan menuju tempat penjualan SDSB, Sukri mendapatkan bisikan dari arwah sang kakek nomor yang akan keluar.
“3950, 3950, “ begitu suara bisikan itu berulang-ulang.
Dengan mantap dibelinya nomor SDSB, dan perlu diketahui SDSB adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang dikelola oleh negara dan pada zaman itu masih legal sehingga orang yang membelinya tidak perlu khawatir oleh grebegan polisi. Sumbangan SDSB biasanya dialokasikan kepada negara, para atlet/olahragawan, gedung–gedung olah raga dan para pelatih sehingga kehidupan mereka pada saat itu bisa dikatakan cukup layak.
Malam itu, Sukri tidur nyenyak sekali. Tidak berpikir apa-apa, bagaimana dan untuk apa tentang kehidupan selanjutnya? Hal terpenting adalah rasa lelahnya hari ini harus terbayar lunas dengan tidur. Menjelang Subuh, dia terbangun. Mendapati istrinya sedang merebus ketela pohon dan membuat kopi tubruk seperti hari-hari biasanya. Diambilnya cangkul dan sabit. Dia pun bergegas ke belakang untuk membersihkan alat-alatnya dan mandi. Setelah itu, dia duduk di balai bambu di dapur. Sukri mulai bercerita kepada istrinya tentang pengalamannya di hutan hingga membawa pulang tengkorak ke rumah.
Istrinya merasa ketakutan dan berkata kepada Sukri, “Ya Allah, Pakne. Itu dosa! Menganiaya orang yang masih hidup saja dosanya sangat besar apalagi ini, menganiaya orang yang telah mati!”
“Wis tho, Bu, sing penting aku berusaha untuk kehidupan kita yang lebih layak, siapa tahu ini berhasil. Kalau berhasil kamu juga ikut senang tho, Bu?” jawab Sukri sambil menyeruput kopi tubruknya.
“Ya, tapi tidak seperti itu caranya, Pakne.”
“Sudah. Kamu nurut saja. Pesanku, kalau aku berangkat ke ladang atau aku tidak berada di rumah, tidak boleh ada yang mendekati lemari tempat kusimpan tengkorak itu. Sudah, aku mau berangkat ke ladang.”
“Iya, Pakne, jangan lupa ketela rebusnya dibawa dan kopinya dihabiskan dulu.”
Hari menjelang zuhur ketika Sukri berteduh di bawah pohon sambil menikmati ketela rebus dan kopi yang mulai dingin. Sayup-sayup dia mendengar suara orang memanggil. Dia menengok ke arah suara itu. Carik. Ya, ternyata carik di desanya yang memanggil. Tapi, siapa yang berada di sebelahnya? Seperti seorang polisi. Ya, benar. Ternyata itu polisi. Sukri ketakutan setengah mati. Jangan-jangan ada yang melihatnya menemukan tulang belulang dan membawa tengkorak itu. Apakah mereka akan menangkapku? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Sukri. Langkah polisi dan Pak Carik semakin mendekat. Dada Sukri berdebar-debar, kakinya lemas seperti tidak ada darah yang mengalir. Dia hanya mematung dan menunggu kedua orang itu semakin mendekat. Hingga akhirnya suara Pak Carik menyadarkannya.
“Pak Sukri, mengapa Kau bengong? Kami membawa kabar gembira, nomor SDSB yang kau beli semalam tembus empat nomor dan nominal uangnya lima puluh juta rupiah. Sekarang utusan dari agen SDSB kabupaten datang dengan pengawalan Pak Polisi ini dan sedang ditemui oleh istrimu di rumah.” Kaki Sukri yang lemas mendadak seperti mendapat suntikan tenaga. Dia segera berdiri menjabat tangan Pak Carik dan polisi itu.
“Benarkah? Benar apa yang Pak Carik katakan tadi?” Tanyanya berulang-ulang tidak percaya.
“Benar, Pak Sukri,” jawab Pak Carik. Lalu dengan sekuat tenaga dia lari pulang ke rumah.
Seperti kesetanan Sukri berhenti di depan rumahnya. Dengan nafas terengah-engah dan terbengong-bengong, dia berjalan ke balai bambu di ruang tamunya sambil mengulurkan tangan kepada tamu di depannya. Dengan suara bergetar dia berkata, “Benar, Pak? Benarkah saya mendapatkan hadiah SDSB dan tembus empat nomor?”
Tamu itu pun menjawab, “Benar, Pak Sukri, dan ini uangnya saya bawa sebesar lima puluh juta rupiah.” Tulang belulang Sukri serasa hilang, terduduk sambil mengucapkan sesuatu yang tidak jelas karena bibirnya bergetar. Ketika istrinya mendekat sambil memeluknya, suara itu baru terdengar di telinganya.
“Aku kaya. Aku kaya. Aku kaya.”
Dalam waktu singkat, berita itu pun menyebar ke seluruh kampung sebelah. Dalam waktu singkat di desa kecil itu nama Sukri langsung menjadi pembicaraan. Mereka penasaran bagaimana caranya Sukri dapat menembus empat nomor dan mendapatkan lima puluh juta rupiah. Tidak semua orang dapat seberuntung itu. Selama ini mereka hanya menghabiskan uang tanpa mendapatkan uang sepeser pun. Hingga rumah Sukri tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung hanya untuk menanyakan bagaimana cara Sukri seberuntung itu.
Malam itu Sukri membuka lemari dan mengeluarkan buntalan kain putih berisi tengkorak kakek. Dielus-elusnya tengkorak itu sambil berkata, “Terima kasih, Kek. Namun aku belum bisa mengembalikan tengkorakmu. Aku masih mempunyai permintaan lagi. Aku ingin menjadi orang ‘pintar’, orang sakti yang bisa menyembuhkan semua penyakit dan disegani oleh semua orang. Baru akan aku kembalikan tengkorakmu.” Perlahan-lahan dia memasukkan kembali buntalan itu ke dalam lemari.
Keesokan harinya, ketika matahari masih tampak malu-malu keluar dari peraduan. Sukri sudah keluar dari rumahnya menuju perkebunan sawit tidak jauh dari rumahnya. Ya, sekarang Sukri sudah menjadi juragan sawit. Bukan lagi buruh perkebunan sawit yang menanami lahan pemerintah yang tidak terlalu menjanjikan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia mengawasi setiap jengkal kebun sawitnya tanpa terlewati sedikit pun. Tidak lama lagi dia akan panen besar. Pundi-pundi uang itu pasti akan segera mengalir dengan derasnya.
Di sebuah rumah papan khas transmigran, dia mendengar suara histeris dari dalam rumah. Berteriak tak terkendali seperti orang kesurupan. Terdengar suara laki-laki berusaha menenangkannya. Karena pintu terbuka lebar dan Sukri merasa sangat penasaran, dia melongokkan kepalanya di depan pintu. Sardi, teman sesama transmigran dari Jawa yang sedang berusaha menenangkan istrinya menyadari kehadiran Sukri.
“Sukri. Sukri, tolong!” Teriaknya sambil tetap menahan tubuh istrinya yang memberontak dan berteriak tidak terkendali.
“Ada apa, Sar? Ada apa dengan istrimu?” Tanya Sukri kebingungan.
“Aku juga tidak tahu. Semalam baik-baik saja. Hingga azan subuh tiba-tiba istriku berteriak seperti orang kepanasan, dan berusaha lari dari rumah.” Sardi masih menahan tubuh istrinya, suaranya terengah-engah, energinya mulai habis.
“Coba kamu tidurkan.” Perintah Sukri. Sardi membaringkan tubuh istrinya di atas kasur. Sambil memeluknya supaya tidak berontak. Sukri melihat kendi berisi air minum di meja samping tempat tidur beserta dua buah gelas. Dia mengisikan air itu, merapalkan sesuatu dan meniupkannya ke dalam gelas.
“Ini. Coba minumkan,” katanya sambil menyerahkan gelas air itu kepada Sardi. Sardi menerima dan meminumkannya ke mulut istrinya dengan sedikit paksaan. Beberapa detik kemudian, tubuh istri Sardi melemah, lemas, dan tertidur.
Dalam perjalanan menuju rumah, Sukri tidak habis pikir.
“Apa tadi yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa mengobati istri Sardi yang seperti kesurupan?” Gumamnya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Apa kakek itu yang telah membuatnya bisa menyembuhkan istri Sardi? Sukri teringat kembali permintaannya kepada arwah kakek tua itu. Ya. Ini pasti karena kakek tua itu.
Sudah seminggu ini, Sukri hampir tidak pernah bisa tidur. Banyak orang datang bergantian ke rumahnya. Banyak sekali yang mereka inginkan. Ada seorang bapak yang kehilangan anak perempuannya yang pamit kerja di kota. Namun berbulan-bulan tidak pernah pulang tanpa kabar. Hanya dengan menanyakan nama si anak, nama ibu, dan weton anak tersebut, serta ada beberapa ritual yang harus dilakukan oleh Sang bapak, yaitu memanggil anaknya dengan keras dan berulang-ulang di gentong air milik Sukri yang ada didapur. Ajaib! Keesokan paginya sang anak yang sudah berbulan-bulan tidak pulang itu akhirnya pulang karena merasa dipanggil bapaknya dengan keras dan berulang-ulang di telinganya.
Kabar kesaktian Sukri semakin tak terbendung. Hari ini Sukri kedatangan seorang tamu laki-laki separuh baya. Laki-laki tersebut menginginkan supaya tanah berpuluh hektar dan lima rumah mewahnya bisa terjual dengan cepat. Dia berjanji apabila terjual semua, Sukri akan mendapatkan bagian sepuluh persen. Karena sepeninggal istrinya, laki laki itu ingin kembali ke kampung halamannya di Jawa.
Sukri menyanggupi dengan berkata, “Satu bulan, seluruhnya sudah terjual.” Benar saja, satu bulan kemudian si Bapak datang ke rumah untuk memberikan sepuluh persen hasil penjualan tanah dan lima rumah mewahnya.
Pernah seorang ibu muda yang meminta bantuan Sukri mengembalikan suaminya yang sudah berhari-hari pergi dengan wanita lain meninggalkannya dan tiga orang anak mereka. Tidak lama kemudian sang suami pulang ke rumah dan meminta maaf kepadanya dan ketiga anak mereka. Ketika musim pemilihan kepala desa, ada seorang calon kepala desa yang datang untuk meminta bantuan Sukri. Akhirnya dia pun mendapatkan jabatan yang diidam-idamkannya.
Tidak hanya itu, seorang anak berusia empat tahun yang belum juga bisa berjalan di atas kursi rodanya hanya dengan sentuhan Sukri, anak itu dapat berjalan seperti anak seusianya. Beberapa kali para remaja meminta bantuan Sukri supaya mereka dapat lolos ujian masuk anggota dewan, PNS, polisi, dan tentara. Semuanya terkabul. Semuanya, sesuai dengan keinginan. Sukri seperti Tuhan. Kehadirannya sangat dinanti, rapalan mantranya ditunggu-tunggu oleh orang-orang pengharap keajaiban itu. Orang-orang yang penuh dengan ambisi, orang-orang yang menginginkan harta, tahta atau bahkan wanita. Semuanya dikabulkan oleh Sukri. Semuanya, karena dia telah menipu arwah.
“Sukri, Kau sudah mendapatkan segalanya. Kapan Kau kembalikan tengkorakku? Kapan Sukri?” Arwah si kakek datang kembali. Namun, Sukri mengingkari semuanya. Dia tidak pernah berniat mengembalikan tengkorak si kakek. Dia tidak pernah mengabulkan keinginan kakek itu. Sukri telah lupa. Hal yang dia inginkan adalah harta. Keserakahan telah memperbudak dirinya. Dia telah menjadi Fir’aun. Dia telah menjadi penyembah sapi emas.
Meskipun musim hujan belum saatnya, sudah beberapa hari ini desa Sukri diguyur hujan. Memang kebanyakan desa di sekitar desa Sukri adalah desa yang secara geografis berada di hulu. Luapan sungai menyebabkan rumah-rumah di desa itu tergenang hingga ke atap. Banjir seperti ini baru pertama kali terjadi. Ketika sebagian besar warga masih berjuang menolak pembukaan sawit oleh swasta di hutan adat mereka. Namun Sukrilah yang membuat para warga tidak mempunyai nyali untuk melawan. Mereka dibungkam, tidak dengan kekerasan, intimidasi, atau tekanan-tekanan. Nyali mereka meleret seperti lampu yang kehabisan minyak.
Ketika hujan berhenti, tidak ada lagi yang tersisa. Ratusan warga dilaporkan hilang, kebun dan ladang rusak. Bahkan atap-atap rumah hanyut seperti perahu kertas di sungai yang deras. Dua desa telah tenggelam, termasuk istana megah Sukri. Pemerintah telah mengirim regu penyelamat untuk mencari korban-korban selamat, mendata kerusakan, menghitung kerugian. Namun hanya mayat-mayat yang tersangkut di pohon, terbenam di lumpur atau tertimbun rumah mereka sendiri.
Satu bulan berlalu. Desa itu menjadi desa mati. Hanya tersisa reruntuhan rumah, perabotan rumah tangga yang berserakan di mana-mana. Ada seorang pemuda yang sedang mengamati sisa-sisa bencana itu. Tidak tahu apa yang dia cari. Dia hanya mengamati sesuatu. Pakaiannya lusuh, rambutnya tampak tidak rapi, mukanya kusut. Lelah mengamati sisa-sisa reruntuhan itu. Dia terduduk di tanah. Menunduk, tanpa harapan, pasrah, dan pandangan matanya kosong. Tanpa sengaja kaki telanjangnya menginjak sesuatu yang keras, sesuatu yang menyembul dari tanah berwarna putih.
Penasaran. Dia menggali sembulan benda putih yang mengganggu kakinya. Digunakannya potongan besi dari reruntuhan rumah itu. Setelah beberapa lama menggali tanah yang masih empuk itu, dia terperanjat. Matanya terbelalak melihat tengkorak manusia yang tidak sengaja sudah berada di tangannya. Dia membersihkan tengkorak itu dengan baju lusuhnya, tanpa rasa takut dia memasukkan tengkorak itu di dalam buntalan sarungnya dan membawanya pulang. Tengkorak itu adalah tengkorak kepala Sukri. ***
.
.
Rinto Murdomo. Guru SMK Lentera, Kendal.
.
Menipu Arwah. Menipu Arwah . Menipu Arwah . Menipu Arwah . Menipu Arwah . Menipu Arwah . Menipu Arwah .
Leave a Reply