Cerpen Siti Maulid Dina (Analisa, 01 Oktober 2017)
MANUSIA adalah tumpuan masalah. Masalah ketika ekspektasi tak sesuai dengan kenyataan. Begitu juga yang di alami Bu Sri. Hampir dua tahun, dia sering duduk termenung di bawah pohon besar itu. Terkadang menangis, terkadang tertawa. Tak heran jika orang banyak prihatin melihatnya.
Saat fajar tiba, Ibu Sri sudah membawa sarapan roti beserta susu. Duduk berlama-lama. Kesehariannya hanya duduk di bawah pohon. Menatap ranting-ranting menari di hembus angin. Bersama tarian ranting, Bu Sri menyanyikan lagu anak-anak sambil meneteskan air mata.
Sejak kejadian itu, ibu Sri terpukul. Warga Suka pun, jadi banyak yang prihatin. Banyak anak-anak yang takut saat melewati pohon itu.
“Hai. Kalian mau kemana? Mau ke sekolah, ya? Kalau sudah besar, kuliah bagus-bagus. Lihat anak ibu, sekarang sudah ada di sana. Dia bisa terbang bersama ilmunya,” begitu ucapan Bu Sri ketika berhadapan dengan anak-anak.
“Turunlah, Nak. Mama sudah lama menantimu. Pulang ya sayang. Mama bawa sarapan untukmu,” kata Bu Sri.
Anak-anak yang lewat berlari sambil mengatakan; “Orang gila”
***
Dua tahun lalu, Rina tengah melaksanakan tugas kuliah praktik lapangan. Bahagia menyelimuti kehidupannya. Anak semata wayang Bu Sri mendapatkan prestasi baik dari kampus mau pun luar kampus. Selain nilai kuliah yang tidak pernah mendapat nilai C, Rina juga diangkat menjadi Dewan Kesenian di Labuhanbatu.
Belum mendapatkan gelar, banyak yang sudah menawarkannya menjadi guru di kampungnya. Rina juga sebagai guru di kotamadya.
Bu Sri sangat bangga melihat kesungguhan anaknya menuntut dan mengamalkan ilmunya. Tak jarang Rina meminta biaya kepada mamaknya. Karena dia tahu, mamak dan bapaknya hanya petani biasa.
Keemasan di ufuk barat membungkus langit Medan. Rina menelepon mamaknya untuk memberitahukan nilai kuliahnya di semester ini. Betapa bahagianya ketika teman-temannya mendapatkan nilai rendah, Rina malah mendapatkan nilai tinggi.
“Halo, Mak.” sapa Rina dari seberang telepon.
“Halo, Nak. Apa kabarmu di sana? Bagaimana tugas kuliahmu di kampung orang?” tanya Bu Sri.
“Alhamdulillah. Baik, Mak. Warga sini baik-baik, murid-muridnya juga membahagiakan, terlebih lagi guru-guru tempat Rina praktik, baik semua.”
“Syukurlah”
“Mak, InsyaAllah tahun depan Rina wisuda. Nilai kuliah sudah keluar. Rina dapat nilai 3,75. Nilai Rina paling tinggi di kelas, Mak.”
“Alhamdulillah, Nak. Jangan bosan untuk menuntut ilmu dan jangan sombong. Ingat ilmu padi ya, Nak.”
“Iya, Mak,” ujar Rina sambil meneteskan air mata.
“Kapan pulang, Nak? Biar kita tempah baju kebaya buat wisuda nanti.” ujar Bu Sri.
“Sekitar dua minggu lagi, Mak. Laporan Rina hampir selesai. Seminggu lagi Rina balik ke Medan.”
Ombak tak pernah berhenti menyapa lautan. Terkadang raja ombak mau menerpa tepian pantai. Begitu yang dialami Rina. Wanita berusia dua puluh dua itu, medapatkan masalah besar dengan pembimbing dari kampus. Karena kesalahan kecil, Rina dimaki dan nilai terancam. Tak hanya itu, nilai nasib dua kelompok juga terancam gara-gara kesalahan Rina.
Rina memohon kepada pembimbing agar masalah mereka terselesaikan dengan damai. Mahasiswa tetap bersalah. Uang pun dipergunakan sebagai juru bicara agar dapat menyelesaikan masalah ini. Setelah puas memaki, meminta uang.
Rina tertekan batinnya. Melihat ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Terlalu murah nilai itu baginya. Batinnya amat tersiksa melihat teman kelompoknya diperlakukan seperti ini, hanya gara-gara kesalahan Rina. Batinnya menolak.
Hatinya bergemuruh ingin melawan. Makian bisa diterima, tetapi tidak dengan pungli. Akhirnya Rina melakukan perlawanan. Apa yang dia terima? Dia diancam akan berendam di dalam sel.
***
Dua minggu berlalu, Rina pulang ke pangkuan Mamak dan bapaknya. Lama sudah tak mencium aroma padi dan mencicipi gulai asam masakan mamak.
Bahagia tak lagi dihadiahkan pada Bu Sri dan Pak Jali. Rina banyak merenung di kamar, terkadang menangis terkadang tertawa. Dia menangis saat duduk melamun, tertawa saat melihat foto-foto di layar ponsel. Entah apa yang ada dalam pikiran Rina saat itu.
Tak biasanya Rina melakukan rutinitas seperti itu. Ketika dia pulang ke kampung halaman, dia tak pernah jauh dari bapak dan mamaknya. Terkadang ikut ke sawah, terkadang ikut ibu belanja dan memasak. Lain halnya akhir-akhir ini, ingin menyendiri dan sensitif.
“Rin, hari ini sibuk tidak, Nak?” jerit Bu Sri dari ruang tamu.
“Tidak, Mak.”
“Ayo, kita ke tukang jahit. Lihatlah, Nak! Mamak sudah membeli bakal kebaya, dengan warna hijau kesukaanmu.”
Rina keluar dari kamar. Tangannya merampas kain kebaya yang dibungkus kantong plastik. Dia membuka dan membuang kain tersebut di depan halaman. Matanya melotot kepada Bu Sri. Kegelisahan terlukis pada retina Bu Sri ketika melihat tingkah anaknya.
“Mak, Rina tidak mau kuliah lagi, Rina bosan kuliah!” Dia memaki.
“Rina benci kuliah!” Menjerit.
Rina masuk ke dalam kamar mengambil kertas putih yang tertulis nilai-nilai.
“Mamak lihat ini,” ujar Rina sambil menangis. Rina merobek nilai tersebut. Terduduk, memeluk kaki mamaknya.
“Rina salah apa sama Mama? Mengapa kuliah Rina seperti ini? Salah Rina membahagikan Mama dan Bapak dengan cara kuliah. Rina ingin Mamak dan Bapak bahagia.”
“Ada apa denganmu, Nak.”
“Dia, Mak. Dia memakiku, dia memerasku. Dia menyuruhku gantung diri,” sahut Rina.
“Dia siapa, Rin?” tanya Bu Sri sambil memeluk anaknya
“Dia, Mak!”
Rina takut menyebut nama itu, takut pencemaran nama baik. Mamaknya memeluk Rina dengan erat. Membujuk Rina agar membuka semua masalahnya pada Bu Sri. Sia-sia, Rina hanya membisu. Melepas pelukan mamaknya pergi masuk ke dalam kamar, berbaring menenangkan diri. Terlelap dalam mimpi.
Bu Sri memungut kembali kain kebaya itu lalu menyimpannya dalam lemari kamar Rina. Dia mencium kening anaknya. Pak Jali sedari tadi mengasah cangkul di dapur menghampiri Bu Sri di kamar Rina. “Ada apa, Mak? Tadi kudengar Rina menangis sambil menjerit.” kata Pak Jali.
“Aku bingung, Pak. Tiba-tiba saja Rina ingin berhenti kuliah.”
“Mungkin Rina ada masalah, Mak. Biarlah. Rina itu anak yang kuat, dia pasti bisa jalani masalahnya,” ujar Pak Jali.
Raja cahaya tergelincir di ufuk barat. Malam membungkus cakrawala. Rina tak juga bangun dari tidurnya. Bu Sri penasaran. Membuka pintu kamar Rina, membangunkan anaknya agar segera makan malam. Rina menolak. Malam semakin larut, Rina tak kunjung keluar kamar. Bu Sri dan Pak Jali mengalah. Membiarkan Rina dengan sendirinya.
***
Selasa, 5 September. Rina berulang tahun. Bu Sri bangun secepat mungkin ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada Rina.
Saat Bu Sri membuka kamar Rina, betapa terkejutnya melihat Rina tidak ada di ruangan. Jendela kamarnya terbuka lebar. Bu Sri berteriak memanggil suaminya. Mereka mencari Rina ke mana-mana, tapi tak juga menemukannya.
Pak Jali bergegas pergi ke sawah, barangkali subuh tadi dia pergi ke gubuk untuk menenangkan diri. Karena biasanya dia sangat senang bermain di gubuk sambil membaca buku.
Saat Pak Jali menapaki jalanan di sawah, dia terhenti melihat sendal putrinya. Sendal yang berada di bawah pohon beringin, di perbatasan sawah miliknya. Dia menjerit histeris saat mendongakkan kepala.
Dia berlari menjemput istrinya. Pak Jali memperlihatkan pohon itu. Ibu Sri menangis histeris sambil memanggil nama Rina. Karena Ibu Sri tak menerima keadaan, dia jatuh pingsan.
Warga yang mulai bepergian ke sawah, terhenti. Mereka membantu menurunkan mayat Rina yang tergantung di pohon.
Setiap pagi Ibu Sri membawa sarapan ke pohon itu. Bahkan kain kebaya Rina di selimutkan pada batang pohon itu. ***
.
.
Siti Maulid Dina. Mahasiswi Pendidikan Matematika UIN SU.
.
Luka Asa di Pohon Beringin. Luka Asa di Pohon Beringin. Luka Asa di Pohon Beringin.
Leave a Reply