Cerpen, Gde Aryantha Soethama, Kompas

Sumpah Serapah Bangsawan

5
(1)

USAI pendeta melantunkan mantra, segelintir kerabat itu pun tergopoh-gopoh pulang. Hanya sanak saudara dekat yang hadir, tak ada tamu undangan, suasana lengang mengambang. Upacara pernikahan itu pun benar-benar ala kadarnya. Tapi, bagi Ayu Meriki ini hari paling mencekam, sangat ia benci, amat menyakitkan, membelit dan mendesak perasaan. Sepanjang upacara tubuhnya menggigil karena tak kuasa melawan.

Mustahil Ayu Meriki menolak keinginan Biang Buni, bundanya yang paling berkuasa di puri. Dua kakaknya harus menikah dengan bangsawan. Meriki melawan, memilih Anuraga, laki-laki biasa. Mereka menikah, Ayu menjadi perempuan biasa, tak ada lagi yang mengakuinya sebagai wanita ningrat. Mereka berharap, kehadiran seorang cucu akan meluluhkan hati Biang. Ternyata tidak. Puri tidak mengakui pernikahan itu. Biang gigih memisahkan Meriki dari suaminya, menakut-nakuti, menebar teror Meriki akan ditimpa kutukan jika mempertahankan perkawinan dengan laki-laki biasa.

Tak henti-henti Biang melontarkan sumpah serapah kepada Anuraga. “Kamu sebut dirimu pemberani dengan menikahi perempuan ningrat, sesungguhnya kamu manusia picisan!” teror Biang berkali-kali lewat SMS. Saat lain Biang melontarkan sumpah serapah disertai hardikan melalui telepon, “Kamu itu makhluk remeh temeh, lebih nista dibanding seekor kodok!” Atau Biang akan mengumpat-umpat, “Pernahkah kamu berpikir, kamu tak lebih dari tikus comberan?” Sumpah serapah itu dilontarkan berhari-hari, berbulan-bulan, sepanjang tahun.

Keluarga muda itu akhirnya mengalah, menyerah. Mereka berpisah, sembari berharap pada cinta, jodoh dan takdir akan mempersatukan mereka kembali. Biang Buni pun sibuk mengurus perceraian pasangan itu di pengadilan, kemudian gesit berupaya mengembalikan kebangsawanan Ayu Meriki.

“Kamu nikahi laki-laki biasa, maka kamu bukan lagi bangsawan! Saatnya sekarang menikahi laki-laki ningrat, untuk mengembalikan kebangsawananmu, Ayu!” jelas Biang.

Ayu Meriki diam, apa guna bicara? Ia sadar Biang menjadi picik karena terlalu fanatik, menganggap puri dan ningrat segala-galanya. Berkali-kali Biang mendesak Meriki agar segera mencari pasangan laki-laki bangsawan. Sekian kali didesak, sekian kali Meriki diam.

“Kalau begitu biar Ibu yang memilihkan lelaki untukmu!” teriak Biang. Pilihan pun jatuh pada Agung Kosala, sepupu Ayu yang sehari-hari menjadi pramuwisata di Tanah Lot.

“Bagaimana mungkin saya menikahi laki-laki yang tidak saya cintai, Biang?” jerit Meriki berulang-ulang.

“Ini bukan masalah cinta. Ini urusan kebangsawanan yang hilang, dan harus direbut kembali.”

“Tak mungkin saya hidup dengan Agung, tak bisa!”

“Ini pernikahan sekadarnya. Hanya dengan menikahi bangsawan, kebangsawanan bisa dikembalikan. Setelah itu terserah kalian, silakan bersama atau hidup terpisah. Ini pernikahan karang-karangan.”

“Tapi, Agung….”

“Sudah Biang jelaskan ini pernikahan asal-asalan, demi martabat puri. Agung mengerti, ia siap tulus membantu.”

Ayu Meriki tak yakin, mana mungkin laki-laki tidak menuntut pada perempuan yang dinikahinya secara sah? Ia datangi Agung Kosala, bicara baik-baik, pelan-pelan memohon pengertian, bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan ala kadarnya. Mereka cuma bersama di hari pernikahan, setelah itu tidak ada lagi ikatan.

Baca juga  Perawan dan Tiga Serigala

Agung Kosala mengerti dan menerima tawaran Ayu Meriki. Tapi satu jam menjelang upacara, Agung melontarkan permintaan yang membuat Meriki gemetar. “Sebentar lagi kamu istriku, Ayu. Sah, istri sah. Tentu kita harus melewatkan malam pertama bersama.”

“Kamu sudah berjanji, usai upacara kita tak ada ikatan.”

“Aku cuma minta sekali, hanya malam ini.”

Meriki menolak, mendatangi Biang, mengatakan kalau Biang dan Agung Kosala menjebaknya. “Ini melanggar kesepakatan, Biang,” jeritnya mengiba.

Biang Buni tersenyum, menggenggam jemari Ayu Meriki. “Agung cuma meminta sekali. Berikanlah, hanya sekali. Tubuhmu tak akan binasa jika kau tidur sekali saja dengan laki-laki yang tidak kamu cintai.”

Ayu Meriki geram, tubuhnya menggigil, tak kuasa berbuat apa pun karena pendeta keburu datang dan merestui pernikahan itu dengan mantra pendek-pendek. Tak ada guna memohon apa pun pada Biang yang selepas siang itu terus tersenyum-senyum riang karena putrinya kini telah menjadi bangsawan kembali. Ayu muak, dengki, tidak hanya pada Biang dan Agung Kosala, tapi juga pada puri dan seluruh isinya. Ia heran mengapa tak ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan tempat mengadu dan berlindung. Ayah, jika ayah masih hidup, mungkin bisa menolong, boleh jadi juga tidak. Mereka orang-orang fanatik yang sangat kolot, berlindung di balik topeng martabat, dan merasa sebagai manusia paling bertanggung jawab akan kelanggengan tata hidup kaum priayi.

Muak dan dengki itu meliuk-liuk dalam diri Ayu Meriki, berlipat-lipat, beranak pinak cepat, menjadi gemuruh keberanian, memantul-mantulkan perlawanan. “Aku harus menolong diri sendiri, tak ada yang bisa diharap,” kata hatinya. Maka Ayu pun mengangguk pelan ketika Agung Kosala memastikan akan berkunjung ke kamarnya nanti malam. “Tutup saja pintu, tapi jangan dikunci. Tidur juga Ayu tak apa-apa. Aku akan membangunkan kamu dengan elusan,” ujar Agung mencoba merayu manja. Rayuan yang membuat Meriki nyaris muntah, dan semakin meyakinkan dirinya harus melindungi diri sendiri. “Hanya sekali, Ayu, cuma malam ini,” ujar Agung berulang-ulang, sehingga permintaan itu menjadi rengekan dan celotehan.

Menjelang petang Meriki mencari sepotong bambu di sebelah dapur, dan menyimpannya di kolong dipan. Dengan bambu itu ia akan membela diri dari sergapan Agung, memukul kepala atau tengkuk laki-laki itu sekuat ia sanggup. Ia bayangkan Agung melolong-lolong sebelum terkapar, membelah hening malam di sebuah puri yang luas dan rimbun oleh pohon sawo, mangga, jambu dan belimbing.

Ketika berbaring, Ayu Meriki bisa merasakan sendiri gemuruh dadanya oleh guncangan penantian yang mencekam. Lampu ia padamkan, dan sekali-sekali ia meraba bambu di kolong dipan, untuk meyakinkan benda itu tidak bergeser dari tempatnya. Alangkah senyap malam, betapa panjang penantian. Ia seperti penjahat yang sebentar lagi dipancung oleh seorang jagal bernama Agung Kosala. Jika ingin selamat ia harus melawan algojo itu. Kuat, ia harus melakukannya sekuat tenaga dan perasaan. Ia harus memanfaatkan sebuah kesempatan yang ia rancang sendiri.

Baca juga  Suatu Hari di Dalam Metro Mini

Perlahan-lahan ia teringat Anuraga. Di manakah laki-laki yang sangat ia cintai itu kini?

Langkah-langkah halus mulai terdengar di luar menuju teras kamar. Ayu Meriki menahan napas ketika pintu dikuak perlahan. Cahaya seperti kabut tipis memaksakan diri masuk melalui celah pintu. Halus, sangat halus langkah laki-laki yang akan menggumulinya.

Ayu biarkan laki-laki itu merebahkan diri dengan lembut di atas tubuhnya. Sudah ia rencanakan sebuah gerakan mematikan tanpa diduga-duga. Akan ia lakukan gerakan mendorong pada saat yang tepat, kemudian mengambil bambu di bawah dipan dan menghantamkannya sekuat tenaga. Maka ia biarkan tubuh dan wajah yang menindih itu mulai liar menggerayangi lehernya. Meriki menahan napas. “Sabar, sabar, sedikit lagi, sebentar lagi, semua akan selesai,” kata hatinya.

Ketika detik yang ia rencanakan tiba, Ayu Meriki memegang kepala tubuh yang menindihnya. Ia terkesima, rambut laki-laki itu gondrong, Agung Kosala berambut pendek. Ayu membatalkan meraih bambu. Kini ia mencoba menduga siapa laki-laki yang menggumulinya. Ia semakin kaget ketika meraba kedua telinga laki-laki itu yang tak sama. Ayu meraba tengkuk laki-laki itu, dan merasakan guratan bekas luka yang sangat dikenalnya.

Ayu Meriki menarik napas dalam-dalam, menghelanya dalam satu sentakan, dan membiarkan laki-laki itu terus menggerakkan tubuhnya. Dari gerakan-gerakan itu Meriki tahu dengan siapa dia berhadapan. Gerak dada dan pinggul memutar yang sangat disukainya, yang dengan mudah meletupkan berahi. Yakin, Ayu Meriki sangat yakin siapa laki-laki yang menggerayanginya dengan pelan dan sepenuh hati.

Ayu Meriki mendorong halus tubuh laki-laki itu. Tangannya tidak meraih bambu di bawah dipan, tapi segera meraba saklar lampu di atas meja. Dalam satu sentakan ruangan itu terang benderang. Seorang laki-laki berdiri di ujung dipan.

“Nur… Nur… oh, Nur…!” seru Ayu berulang-ulang. Ia peluk erat-erat laki-laki yang sangat dicintainya. “Nur…. Nur….!” isaknya.

“Mer… Mer….!”

Ayu Meriki mencubit berkali-kali pipi laki-laki itu, sebelum mengulum bibirnya dengan sepuas-puasnya, sekuat ia mampu.

“Agung yang mengatur semua ini. Kita harus pergi sekarang. Keluar, kita harus cepat keluar. Ayo!” ujar Anuraga menarik tangan Meriki.

Mereka melewati gerbang puri berpintu tinggi dengan mudah, karena Agung tak menguncinya. Dengan langkah seringan mungkin mereka menelusuri jalan desa yang senyap.

“Cepat Mer! Ayo… cepat!” bisik Anuraga berulang-ulang sembari menarik jemari Meriki.

Baca juga  Saat Maut Batal Menjemput

Anuraga merasa ada yang membuntuti. Ia mendekap Meriki, mendorongnya ke tepi jalan, sehingga mereka terlindung oleh gelap bayang pohon kamboja. Anuraga melihat sosok bayangan bergerak-gerak di bawah pohon sukun dekat gerbang puri. Bayang itu bergerak-gerak lambat di tempat, melambai-lambai seperti memanggil-manggil. “Ah, ini pasti bayang-bayang ketakutan yang dialami oleh siapa saja yang sedang melarikan diri,” bisik hati Anuraga, kemudian menggamit jemari Meriki untuk meneruskan langkah. Butuh lebih kurang lima belas menit menembus tengah malam sebelum mereka sampai di ujung desa, tempat seorang kawan bersiaga dengan mobil untuk membawa mereka kabur.

Agung Kosala menyaksikan pasangan itu dari bawah pohon belimbing dengan gundah dan berdebar-debar. Ia masuk kamar dengan gontai. Perasaannya campur aduk antara kebanggaan menolong seorang sepupu untuk menemukan pasangan dan kasih sejati, dengan penyesalan atas dirinya yang selalu gamang setiap berhadapan dengan cinta dan libido.

Di depan cermin Agung Kosala menatap sekujur tubuhnya lama-lama sembari menggeleng-gelengkan kepala. Matanya basah oleh kesedihan yang menimpa, sesuatu yang pasti terjadi setiap ia mencoba bersungguh-sungguh dengan perempuan-perempuan yang pernah ia kenal dekat. Pada akhirnya ia terpaksa dengan dada sesak melepas wanita-wanita itu, melarang mereka meneruskan hubungan dan menjalin ikatan. “Beginilah nasib laki-laki loyo!” teriaknya menghantamkan jidat ke cermin. Tangannya meremas kelamin yang tak pernah tegak sepanjang hidup. Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya, mengutuki diri sendiri hidup dengan kejantanan yang rapuh, tanpa gairah, tanpa petualangan berahi.

Dari kamar berjarak enam ruang, Biang Buni terjaga oleh derak pecahan kaca itu jatuh ke lantai. Biang tersenyum, karena ia menduga pasti terjadi pergumulan kecil oleh penolakan Meriki ketika didekap Agung Kosala. “Perempuan memang kadang perlu sedikit paksaan untuk merasakan kehangatan dan kenikmatan,” kata hati Biang.

Tapi, ketika pagi ia menerima laporan Ayu Meriki melarikan diri, alangkah berang Biang. “Sudahlah, biarkan saja, tak usah dicari! Ia minggat sebagai bangsawan, itu yang penting!” teriaknya sengit.

Sejak pelarian Ayu Meriki, Biang Buni kian kerap melontarkan sumpah serapah. Para pelayan dan abdi puri berkali-kali disemprotnya dengan caci maki. Kata-kata kotor berhamburan saban hari melayang-layang di semua sudut-sudut puri. Orang-orang desa sangat yakin, sumpah serapah itu akan bertengger di pucuk-pucuk pohon sawo yang menjulang, mendekam lama, berbiak menjadi kutukan. Pada saatnya kutukan-kutukan itu akan beranak pinak menimpa warga puri dan keturunannya. Orang-orang sadar dan yakin, alangkah berbahaya melontarkan sumpah serapah. (*)

Denpasar, 2012

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!