Cerpen Ki Sudadi (Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 2019 Menipu Arwah)
KI UTOMO masih khusyuk, berasyik masuk dengan zikir yang ia ucapkan ketika malam merambat menuju pagi. Di langgar kecil di depan rumahnya itu, ia selalu bermunajat mengadukan segala perkara hidupnya kepada Allah Swt. Jari jemarinya sibuk memainkan butiran tasbih. Mulutnya tiada henti mengagungkan asma Allah, penguasa segala alam. Sesudahnya ia kembali khusyuk berdoa. Selain keselamatan diri, keluarga, kaum muslimin dan muslimat, ada satu permohonan yang selalau ia ucapkan;
“Ya Allah limpahkanlah anugerah ke Desa Kumejing ini. Berikanlah warga desa ini kesempatan menikmati hasil pembangunan agar tidak lagi jadi warga di desa terpencil dan terisolasi selamanya. Hanya Engkau yang kuasa mendengar doa-doaku. Kabulkanlah permohonan hambamu yang lemah ini ya Allah.”
Doa itu menyiratkan keprihatinan Ki Utomo yang amat dalam. Satu keprihatinan yang tidak mengada-ada. Sudah tujuh puluh tiga tahun Indonesia merdeka tapi tak ada bau semen, apalagi aspal hotmix yang menghiasi jalanan desa yang berada di balik Waduk Wadaslintang ini. Untuk mencapai desa ini, orang harus membelah luasnya Waduk Wadaslintang dengan perahu sederhana dan mempertaruhkan nyawa. Beberapa warga bahkan mati tenggelam di tengah waduk. Jalan darat harus berputar jauh. Jalanan sempit berlapis bebatuan terjal itu hanya bisa dilewati truk dan motor trail. Pemerintahan telah berganti berkali-kali, tapi desa terpencil ini tak pernah masuk agenda pembangunan yang diutamakan. Selalu ada tempat lain yang harus dibangun lebih dulu. Ada yang harus lebih diutamakan, hingga jatah pembangunan untuk desa itu tertunda sampai kapan tak diketahui.
Waktu telah melewati ujung sepertiga malam terakhir. Ki Utomo hampir selesai memanjatkan doa. Tiba-tiba terdengar keramaian teriakan orang-orang yang tampak bergerak mendekati Langgar Nurul Iman. Suara teriakan itu semakin jelas terdengar.
“Gebug!
Tangkap!
Ayo! Kejar!
Jangan sampai lepas celeng itu!” teriak orang-orang bersahutan.
Ki Utomo segera berlari, keluar dari langgar. Lampu neon sepuluh watt yang menjulur ke gang di luar langgar membantunya melihat kelebat seekor binatang liar berwarna hitam bermoncong panjang melintasi jalan kecil di samping langgar itu. Ki Utomo mengamati, meskipun hanya sekilas, tampak seperti ada belang merah yang memanjang di leher babi hutan itu.
“Masya Allah, babi hutan berkalung merah?”
Gumam Ki Utomo sendirian sambil mengusap-usap matanya. Ia hampir tak percaya akan melihat binatang itu lagi.
“Ki, lihat celeng nggak?” teriak Kang Tumin tergesa-gesa mengagetkan.
“Iya ke sana!” jawab Ki Utomo menunjuk arah larinya babi liar itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Kang Tumin diikuti segerombolan anak muda memburu celeng berkalung merah itu. Beni, Karjo, Ponirin, Hamdan, Farid, dan banyak pemuda lain mengikuti. Mereka membawa pentungan, pangkal batang bambu, tongkat, golok, dan alat gebug lainnya. Ki Utomo tak ikut mengejar binatang liar itu. Tenaganya sudah tak mampu mengejar celeng. Setelah para pemuda berlarian, tinggal beberapa lelaki tua yang tampak kelelahan ikut memburu celeng. Masih terengah-engah, Kang Bamin dan Mbah Muniro berjalan menghampiri Ki Utomo di halaman langgar. Mereka tak berminat lagi ikut mengejar binatang buruan yang lari ke arah utara itu.
“Aduh, Ki! Nggak mampu lagi aku ikut mengejar,” kata Kang Bamin berjalan agak pincang.
“Nyong ya wis ra teyeng mlayu kiye,” kata Mbah Muniro menimpali.
“Sudahlah. Kalian ke sini saja. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya Kang Bamin?” kata Ki Utomo sambil berdiri.
“Ehh, kejadiannya tadi lepas tengah malam Ki. Seekor celeng besar masuk ke pekarangan Kang Tumin. Binatang itu mengendus-endus rumah Kang Tumin. Untung Kang Tumin segera bangun. Ia segera ambil pentungan. Berteriak. Tetangga ikut membantu mengejar binatang itu,” jawab Kang Bamin.
“Mungkin itu babi ngepet, Ki,” sela Mbah Muniro.
“Hus! Jangan mudah menuduh. Nanti jadi fitnah.”
“Buktinya celeng itu mengendus-endus rumah. Pasti sedang mencari tahu ada uang atau tidak di dalam rumah. Padahal rumah Kang Tumin sedang banyak uang. Anaknya baru saja pulang dari Hong Kong. Selesai kontrak dua tahun jadi TKW,” tambah Mbah Muniro.
“Mungkin saja benar banyak uang di rumah Kang Tumin. Namun tidak lantas bisa disimpulkan itu babi ngepet. Aku yakin itu tadi bukan babi jadi-jadian. Tadi aku malah melihat sekilas ada belang merah di leher babi hutan itu.”
“Yakin, Ki?”
“Iya.”
“Lho? Memang kenapa, Ki? Belang merah itu apa artinya? Apa bedanya dengan babi hutan lainnya?” tanya Kang Bamin.
“Kalian lupa ya? Nenek moyang kita yakin kalau celeng kalung abang itu bukan sembarang babi hutan. Menurut keyakinan kuno, celang seperti itu pertanda keberuntungan. Desa atau warga Desa Kumejing akan mendapat keberuntungan besar.”
“Ah, yang bener, Ki?”
“Nggak percaya?! Celeng kalung abang itu penanda keberuntungan, tetapi butuh tumbal. Ini yang memprihatinkan.”
“Lha itu? Itu yang menakutkan. Kepriben kiye? Enggane keluwarga utawa batire nyong sing dadi tumbal?” kata Kang Bamin dengan nada ketakutan.
“Nyong ya emoh lah! Jadi tambal atau jadi tumbal? Nyong ya bebeh!” sahut Mbah Muniro.
“Nyong kudu prige Ki?” tanya Kang Bamin penasaran.
“Nah, untuk itu, kita tidak perlu mengejar babi hutan itu. Biarkan dia muncul di sini, karena itu sekadar memberi firasat saja. Nanti pasti hilang sendiri. Aku yakin. Kita harus memperbanyak zikir dan munajat. Kita mohon keselamatan diri dan keluarga. Jangan lupa doakan agar Desa Kumejing segera mendapatkan jatah pembangunan. Jalan beraspal masuk desa agar desa ini tidak terisolasi lagi.”
“Aamiin,” kata Kang Bamin dan Mbah Muniro hampir bersamaan.
“Sudah. Ini waktunya sudah menjelang Subuh. Sekarang kalian ambil sarung dan peci, ambil air wudu, terus bersiap ikut salat jemaah Subuh di langgar.”
“Nggih, Ki.”
***
Cerita tentang celeng berkalung merah itu segera menyebar ke seluruh penjuru Desa Kumejing. Warga desa sekitar jadi ikut was-was. Mereka cemas jangan-jangan binatang perusak tanaman itu akan datang juga ke desanya. Ketakutan warga tidak hanya sekadar karena serangan hewan liar yang sering masuk kampung bergerombol itu. Lebih dari itu, keyakinan warga kalau babi hutan berkalung merah penanda akan ada tumbal jiwa menambah suasana desa jadi mencekam. Masing-masing orang mengingatkan untuk lebih berhati-hati dan waspada. Doa dan istigosah digiatkan demi menangkal balak yang akan menimpa warga desa. Mereka berharap tidak terjadi musibah apapun.
Belum genap sebulan sejak kemunculan celeng kalung abang di Desa Kumejing itu, Mas Bani, Ketua Pemuda Desa Kumejing, mendapat undangan pengajian akbar sekaligus doa bersama di Desa Kalidadap yang letaknya agak jauh. Undangan segera dibaca Ki Utomo. Ia ingin mengajak warga Desa Kumejing mengikuti kegiatan keagamaan yang memang teramat penting. Ki Utomo berharap dengan mengikuti doa dan pengajian itu, warga desa merasa lebih tenang, hati mereka lebih tenteram. Rasa waswas serta ketakutan akan jadi tumbal bisa reda.
“Para jamaah Langgar Nurul Iman, saya menindaklanjuti pengumuman sekaligus undangan ini dengan mengajak warga jamaah bersama-sama ikut pengajian di Kalidadap,” kata Ki Utomo kepada jamaah selepas Maghrib.
“Ya, Ki. Semua setuju,” sahut Kang Bamin.
“Sekarang kita pikirkan dulu; Untuk pergi ke Kalidadap itu, kita pergi bersama naik truk saja atau pakai kendaraan lain?”
“Pakai truk saja, Ki. Seperti biasanya. Nanti biar saya yang mencari truknya. Masih ada sedikit kas di Pemuda. Warga cukup menambah uang untuk sewa truk,” kata Mas Bani.
“Perlu persiapan bucu juga lho Mas,” usul Mbah Muniro.
“Ya, Mbah. Tentu saja harus bawa bekal bucu dan tempe kemul. Minumnya cukup bawa air putih di botol. Biar irit, tetapi tidak terlantar di jalan.”
“Lha begitu lho, Mas. Belum tentu nanti di sana dapat takir.”
“Untuk persiapan keberangkatan ini, saya serahkan kepada Mas Bani yang punya cukup banyak waktu dan tenaga. Biar dibantu yang anak-anak perempuan mendaftar siapa saja warga Kumejing yang mau ikut berangkat ke Pengajian di Kalidadap. Waktu sepuluh hari masih cukup untuk persiapan.”
“Nggih, Ki,” jawab Mas Bani.
***
Pengajian akbar yang akan diadakan di Desa Kalidadap benar-benar menjadi daya tarik yang luar biasa bagi warga Desa Kumejing dan sekitarnya. Di tengah-tengah keresahan warga, pengajian itu diharapkan bisa jadi embun penyejuk dari teror babi hutan berkalung merah. Meskipun harus melewati perjalanan yang berat, mereka bersemangat menghadiri pengajian itu. Hanya truk dan motor trail dan sejenisnya yang bisa masuk ke Desa Kumejing lewat jalur darat. Jalanan yang sempit, licin, dan naik turun perbukitan menjadi tantangan tersendiri bagi warga Desa Kumejing untuk bisa keluar dari tempat tinggal mereka.
Truk Mas Drajad sudah diparkir di jalan masuk Desa Kumejing. Orang-orang keluar rumah dan berjalan menuju tempat parkir truk. Mereka membawa perbekalan bucu, tempe kemul, air putih, dan tidak lupa ramuan rokok tingwe klembak menyan lengkap untuk berangkat mengaji. Karena banyaknya jamaah yang mau berangkat ke pengajian, banyak yang tidak terangkut truk. Mereka terpaksa harus kecewa. Ki Utomo sendiri tidak terangkut truk. Ia berembug pada Mas Bani yang punya motor trail.
“Lha ini aku malah tidak terangkut truk, Mas Bani. Nyong kepriben kiye?”
“Tenang, Ki. Ki Utomo saya boncengkan. Naik motor berani ya, Ki? Nggak apa-apa. Saya jamin aman.”
“Berani, Mas. Nanti saya pegangan pundak Mas Bani ya?”
“Tenang, Ki.”
Truk yang dikemudikan Mas Drajad penuh sesak dengan penumpang jamaah dari Desa Kumejing segera meninggalkan desa. Beberapa motor trail mengikuti di belakang. Ki Utomo sendiri membonceng motor tua Mas Bani. Ki Utomo nampak ketakutan, maka ia minta jalannya dibikin pelan. Mas Bani mengikuti saja permintaan tokoh Desa Kumejing itu. Tak lama meninggalkan Desa Kumejing, truk itu berjalan menanjak menembus bukit. Namun tampak ada yang tidak beres. Truk itu berjalan terseok-seok. Ketika menuju puncak bukit, truk tua itu tak mampu lagi bergerak. Kendali rem tangan juga gagal. Rem blong. Tak bisa dihindari lagi, truk itu berjalan mundur hingga terjungkal ke sebuah jurang. Seketika itu teriakan minta tolong terdengar. Rombongan pengiring yang naik motor, termasuk Ki Utomo, berusaha sekuat tenaga menyelamatkan korban yang terhimpit badan truk ataupun tertimpa tubuh-tubuh yang terhempas.
Suasana jadi sangat mencekam karena banyak korban yang tidak tertolong. Suara rintihan menyayat hati. Puskesmas terdekat segera dihubungi, tetapi perlu waktu untuk sampai ke lokasi. Akhirnya hari itu benar-benar jadi pagi kelam bagi warga Desa Kumejing. Tercatat ada tujuh orang meninggal di tempat, lima orang di puskesmas, dan 17 orang luka-luka berat dan ringan. Kang Bamin ikut jadi korban meninggal. Mbah Muniro hanya luka-luka ringan. Mas Drajad, sopir truk itu, luka parah dan harus diselamatkan ke rumah sakit tulang di Purwokerto.
***
Berita kecelakaan truk yang memilukan itu segera menyebar ke seluruh penjuru. Media sosial menyebarkan foto-foto peristiwa itu secara gamblang. Bergelimpangan tubuh mereka yang jadi korban kecelakanan. Bangkai truk ringsek nampak rusak parah. Wartawan dari media cetak lokal maupun nasional ikut meliput peristiwa pilu itu. Tak lupa dua TV swasta nasional ikut melaporkan, bahkan menyoroti keadaan jalan Desa Kumejing yang parah. Berita mengenai kecelakaan truk pengangkut jamaah pengajian segera memborbardir ruang publik. Liputan jalan desa yang memprihatinkan dan keadaan Desa Kumejing yang terisolasi di tengah alam kemerdekaan tampaknya membuat penguasa negeri ini menyadari ketertinggalan Desa Kumejing.
Anehnya tak sampai dua minggu sejak peristiwa kelabu itu, jalan menuju Desa Kumejing dan jalan-jalan di Desa Kumejing mendapat prioritas pembangunan. Truk, beghu, dan escavator dikerahkan ke Desa Kumejing. Lalu lalang kendaraan proyek sibuk keluar masuk Desa Kumejing. Material pembangunan jalan telah disiapkan di lokasi terdekat. Tenaga kerja didatangkan dari jauh. Proyek pembangunan jalan desa segera dimulai. Beberapa minggu berikutnya jalanan mulus beraspal hotmix sebagian lagi dengan cor beton telah terhampar di sepanjang jalan menuju Desa Kumejing dan jalan-jalan di Desa Kumejing. Warga Desa Kumejing benar-benar bisa menikmati alam pembangunan.
Tak lama setelah jalan beraspal itu diresmikan, suatu malam Ki Utomo keluar rumah. Sebelum masuk langgar untuk salat Tahajud, Ki Utomo sempatkan lihat keindahan malam Desa Kumejing yang dipenuhi jalanan beraspal hotmix yang masih baru. Tiba-tiba ia lihat kelebat seekor babi hutan melintas di beberapa meter di depan Ki Utomo. Ki Utomo mengusap-usap matanya. Dibukalah matanya lebar-lebar. Ia lihat babi hutan itu masuk Desa Kumejing lagi. Anehnya tak terlihat kalung merah di leher celeng itu. “Masya Allah,” kata Ki Utomo bergumam sendirian. ***
.
.
Wadaslintang, 21 Mei 2019
Ki Sudadi. Guru SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo.
.
.
Glosarium:
bucu (Bhs Jawa) : Nasi yang dimasak dengan sayuran hijau bercampur parutan kelapa berbumbu yang disumpalkan di dalamnya.
celeng kalung abang (Bhs Jawa) : Babi hutan dengan tanda belang merah memanjang di leher
enggane keluwarga utawa batire nyong sing dadi tumbal? (Bhs Jawa) : Jangan-jangan keluarga dan teman saya yang jadi korban?
hotmix (Bhs Inggris) : campuran aspal panas siap untuk membangun jalan
kepriben kiye? (Bhs Jawa) : Bagaimana ini?
nggih (Bhs Jawa) : Ya
nyong kudu prige Ki? (Bhs Jawa) : Saya harus bagaimana, Ki?
nyong ya bebeh (Bhs Jawa) : Saya tidak mau
nyong ya emoh lah! (Bhs Jawa) : Saya tidak mau
nyong ya wis ra teyeng mlayu kiye (Bhs Jawa) : Saya juga sudah tidak mampu berlari ini.
takir (Bhs Jawa) : Daun pisang dibuat wadah nasi diikat dengan potongan lidi, wadah takir berisi nasi, lauk, dan sayur lodeh sejenisnya (biasanya dibagikan saat acara pengajian)
tempe kemul (Bhs Jawa) : Tempe yang digoreng berselimut adonan tepung t
ingwe klembak menyan (Bhs Jawa) : Rokok lintingan dengan bahan tembakau, klembak, atau campuran kemenyan
.
Babi Hutan Berkalung Merah. Babi Hutan Berkalung Merah. Babi Hutan Berkalung Merah.
Leave a Reply