Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 08 November 1998)
DI Stasiun Tugu, Yogyakarta, ada sebuah loket yang istimewa. Loket itu tidak menjual tiket ke Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Tempatnya terpisah dan tampaknya selalu sepi pembeli. Padahal di masa krisis seperti sekarang, kereta api menjadi pilihan utama, meskipun harga tiketnya sangat mahal. Apa boleh buat, karena tiket pesawat luar biasa mahal, dan boleh dibilang tidak masuk akal, harga tiket kereta api yang mahal itu seperti bukan apa-apa. Para penumpang dari Jakarta langsung antre untuk mendapatkan tiket kembali. Itu pun barangkali untuk seminggu mendatang. Boleh dipastikan, tiket untuk akhir minggu sudah ludes seminggu sebelumnya. Loket-loket itu selalu penuh dengan pengantre.
Makanya aneh sekali bahwa loket yang satu itu selalu sepi.
Loket itu hanya menjual tiket ke satu tujuan, yakni Negeri Senja.
Setiap sore memang selalu ada kereta api ke jurusan Negeri Senja yang datang. Namun tidak pernah ada kereta api datang dari Negeri Senja.
“Mereka yang pergi ke Negeri Senja, tidak pernah kembali,” kata penjaga loket.
Jadi, mereka yang membeli tiket ke Negeri Senja pasti sudah siap untuk tidak kembali.
Aku heran, bagaimana semua ini mungkin?
Akan tetapi orang-orang di Stasiun Tugu sudah terbiasa dengan kenyataan itu. Aku baru tahu sekarang, karena selama ini aku kalau mondar-mandir Jakarta-Yogya selalu menggunakan pesawat terbang.
Setiap sore selalu muncul kereta api ke jurusan Negeri Senja.
Kereta api berwarna perak itu muncul begitu saja dari arah Kali Code dengan pancaran cahayanya yang gilang-gemilang, seolah-olah seperti sebuah kereta kerajaan entah dari mana. Kereta api ini bukan kereta api diesel, melainkan lokomotif biasa yang selalu mendengus-dengus, tapi kereta api ini memang sangat menawan. Gerbong-gerbongnya bagaikan dibuat di negeri dongeng. Bukan hanya karena mengkilap keperakan, tapi juga karena dari jendela kita bisa melihat sebuah dunia yang tidak mungkin. Di dalam gerbong-gerbong itu kita melihat alam terbentang yang komplet. Sebuah padang rumput dengan danau yang tenang tempat angsa berenang-renang menyibakkan permukaannya. Kuda-kuda yang muncul dari celah lembah dan berlari mendaki bukit. Hutan tropis yang basah dengan bau humus dan nyanyian burung sahut-menyahut. Bahkan terlihat pula alam bawah laut yang biru, gelap, dan dalam, dengan ikan-ikan yang tubuhnya mengeluarkan cahaya.
Akan tetapi, jarang sekali orang naik dari Stasiun Tugu ke dalam gerbong-gerbong itu, meskipun pramugarinya yang siap di pintu begitu cantik dan begitu jelita tiada terkira, dengan tubuh dan rambut yang bagaikan selalu meruapkan bau malam. Kanak-kanak yang berlarian di padang rumput atau taman bermain kadang-kadang berlari sampai ke jendela, menempelkan hidung dan pipinya ke jendela, melihat orang-orang di Stasiun Tugu, tetapi mereka segera berlarian kembali. Hanya lima menit kereta api itu berhenti, setelah itu segera berangkat lagi. Setiap sore selalu muncul kereta api itu, ada atau tidak ada penumpang ia akan berhenti. Para pramugari turun dan siap di pintu, kalau tidak ada penumpang, kereta api akan berangkat lagi setelah terdengar suara peluit dari petugas, meninggalkan asap batu baranya itu, yang berkepul-kepul ke langit. Selalu terdengar lengkingannya dari kejauhan ketika kereta api itu menghilang.
Setiap kali aku ke Yogya dan pulang ke Jakarta dengan kereta api Senja, kuperhatikan kereta api jurusan Negeri Senja itu. Siapa yang ingin pergi untuk tidak kembali? Ternyata kadang-kadang ada. Tidak pernah banyak, paling banter lima orang. Kadang-kadang cuma satu atau dua orang. Mereka itu, meskipun pergi untuk tidak kembali, tidak pernah membawa banyak barang.
“Berapa harga tiket ke sana?”
“Oh, tidak perlu bayar.”
“Jadi?”
“Mereka yang datang ke loket ini cuma perlu tanda tangan.”
“Tanda tangan apa?”
“Artinya mereka setuju untuk tidak kembali.”
“Kalau mereka berubah pikiran, dan ingin kembali dari sana?”
“Tidak mungkin, dan tidak pernah terjadi.”
“Seperti apa Negeri Senja itu?”
“Tidak ada yang pernah tahu.”
“Lho, waktu membangun rel itu, sampai ke mana?”
“Wah, rel itu sudah ada sejak stasiun ini belum berdiri. Tidak ada catatan apa-apa tentang hal itu, dan memang tidak pernah ada yang tahu.”
“Aneh sekali.”
“Ah, orang sini sudah biasa. Adik saja yang sibuk bertanya-tanya.”
“Aneh, orang tidak kembali kok biasa.”
“Apanya yang aneh? Ini ‘kan cuma seperti kematian. Apa yang aneh dengan kematian?”
Apakah memang begitu? Apakah kita tidak perlu merasa heran dan tidak perlu bertanya-tanya hanya karena sesuatu memang tidak akan pernah kita ketahui? Kematian, kematian, hal itu memang penuh misteri. Namun bukankah kereta api ini bisa dikuntit lantas kita kembali lagi?
“Bagaimana kalau saya tanda tangan, tetapi tujuannya hanya untuk melihat-lihat Negeri Senja, setelah itu kembali lagi.”
“Boleh saja, asal siap untuk tidak kembali.”
“Kalau saya lari?”
“Coba saja.”
Beranikah aku mencobanya? Aku hampir selalu pergi, selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain, tetapi selalu kembali. Aku selalu pergi dan tahu akan kembali. Itulah sebabnya aku bisa selalu pergi, karena memang selalu akan kembali. Namun pergi untuk tidak kembali?
“Seperti apa sih di sana?”
“Lho, mana kita tahu?”
Aku penasaran sekali sekarang. Setiap kali kulihat kereta api itu datang, kuperhatikan para penumpangnya. Memang wajahnya sudah terlihat pasrah. Siap pergi ke suatu tujuan tanpa membayangkan akan pernah kembali. Kadang-kadang ada satu keluarga yang pergi bersama seperti mau piknik. Orang-orang yang mengantar banyak yang menangis.
“Jangan lupakan aku ya?” teriak mereka sambil melambai-lambaikan tangan.
Orang-orang yang berangkat tersenyum bahagia.
“Aku tidak akan pernah melupakan kamu. Jangan lupakan aku juga ya!”
Begitulah mereka saling melambai-lambai sampai kereta api itu menghilang di balik cakrawala. Rel menuju ke Negeri Senja memang khusus. Mula-mula memang searah dengan rel ke jurusan Jakarta, tapi di suatu tempat akan memisah. Berbelok ke celah sebuah lembah, lantas lenyap di balik kabut. Orang-orang seperti sudah mengerti untuk tidak usah coba-coba menyelidik—kecuali jika siap untuk tidak kembali. Setiap orang yang pergi ke Negeri Senja memang tidak pernah kembali. Kecuali barangkali di dalam mimpi mereka yang ditinggalkan.
Setiap senja kuamati peron tempat orang-orang yang siap berangkat ke Negeri Senja menunggu kereta api. Mereka datang dengan tenang, menuju ke loket, tanda tangan, lantas duduk tenang-tenang di bangku itu. Matahari senja yang keemasan membuat lantai peron itu seperti susunan tegel yang terbuat dari lantakan emas. Orang-orang yang duduk di bangku, laki-laki tua, ibu dan anak, nenek-nenek, atau seorang pemuda remaja berambut punk, tampak begitu tenang dan begitu pasrah wajahnya—seperti mengalami kebahagiaan yang mengatasi keduniawian. Apa yang membuat seseorang ingin pergi untuk tidak kembali?
Aku ingin bertanya kepada salah seorang di antara orang-orang itu, tetapi peron itu khusus untuk pemegang tiket ke Negeri Senja. Aku hanya bisa memandang mereka, seperti juga orang-orang lain di Stasiun Tugu, memandang orang-orang yang berubah jadi siluet dalam pancaran matahari keemasan yang menyilaukan. Dalam siluet senja, mereka seperti bergerak antara ada dan tiada. Membawa kopor kecil, ransel, dan menelepon ke sana kemari dengan HP. Apakah mereka berpamitan kepada orang-orang tercinta? Apakah dari Negeri Senja kita tidak bisa menelepon?
Apakah Negeri Senja itu indah? Tidak ada satu kabar burung pun dari sana. Tidak ada pengenalan apa-apa yang membuat kita paling sedikit bisa mengira-ngira meskipun barangkali salah sama sekali. Tidak ada apa pun yang bisa dipegang meskipun sekadar untuk menduga-duga saja. Hanya nama itu saja, Negeri Senja. Apalah yang bisa kutebak dari nama itu?
Kupandang seorang perempuan yang akan berangkat ke sana. Ia melangkah dengan anggun seperti bidadari. Dalam cahaya keemasan rambutnya yang panjang dan bergelombang memberikan suatu rasa kebahagiaan yang aneh tetapi abadi. Padahal kebahagiaan itu biasanya fana, sementara, sehingga kadang-kadang terasa sia-sia. Apakah Negeri Senja menjanjikan suatu kebahagiaan yang abadi? Sebegitu jauh, orang-orang yang datang ke stasiun ini lebih banyak yang memilih pergi ke Jakarta daripada ke Negeri Senja. Banyak di antaranya juga pergi ke Jakarta untuk memburu kebahagiaan, memburu mimpi, memburu cita-cita yang terhampar di cakrawala—meskipun Jakarta sering terasa seperti neraka.
Di Stasiun Tugu, aku termenung memandang senja. Kereta api yang gilang-gemilang dengan tujuan Negeri Senja itu tiba. Kalau aku menaiki kereta api itu, aku tidak akan pernah kembali. ***
.
.
Jakarta, Senin, 17 Agustus 1998
.
Tujuan: Negeri Senja. Tujuan: Negeri Senja.
Leave a Reply