Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 02 September 1990)
DALAM kelam, dalam redup bintang-bintang, aku mengembara sepanjang malam. Kota bermandi neon, aku berenang dalam lautan cahaya. Kusetir mobilku perlahan-lahan seperti biduk menyusuri sungai angan-angan di bawah sinar rembulan. Perempuan itu mula-mula bersandar dengan teler di pundakku, lantas merosot jatuh ke pangkuanku. “Mabuklah, mabuklah,” bisikku. Hidup cuma sekali, kenapa kenyataan selalu mengecewakan? Mabuklah, mabuklah. Kusetir mobilku perlahan-lahan untukmu kekasihku supaya hidup terasa agak nyaman dan ada juga yang menyenangkan.
Sepanjang kota sepanjang malam sepanjang belantara cahaya yang memabukkan, seperti bermimpi aku melihat kehidupan yang panjang yang gersang yang melelahkan. Dalam denting piano sepanjang jalan kutelusuri jiwa manusia yang gelisah. Roda mobilku menggelinding di atas jalanan basah. Aspal yang basah memantulkan angan-angan dan impian sepanjang perjalanan. Wanitaku, kekasihku, kita berlayar di sungai khayalan. Jangan. Jangan bangun. Mabuklah. Kenyataan tak seindah impian.
“Uuuhh… hmm… sudah sampai di mana?”
“Tidurlah, kita belum sampai di mana-mana.”
“Hhh… jam berapa ini?”
“Tidurlah, aku tak tahu lagi waktu.”
“Aku mabuk ya? Aku teler? Aku tidak bisa dengar kamu.”
Mulutmu meruapkan bau air kata-kata. Kamu memang terlalu banyak minum. Aneh. Perempuan secantik dan seanggun kamu bisa minum begitu banyak dan mabuk dengan cara memalukan, tapi sudahlah, mabuklah. Aku cinta padamu.…
“Kamu masih cinta?”
“Ya, masih.”
“Masih?”
“Selalu.”
Mabuklah. Mabuklah. Kusetir mobilku yang anggun dan dingin mengarungi malam perlahan-lahan. Malam meredamkan kekecewaan. Malam menidurkan kenyataan. Dalam denting piano yang muram, cahaya dan angan-angan lalu-lalang. Alangkah jauhnya kota ini dari kunang-kunang. Dalam cahaya listrik yang memang buatan, segala sesuatu berjalan tanpa perasaan kecuali kekosongan dan keterasingan.
Di tepi jalan kulihat nasib buruk bertebaran. Seorang perempuan diperkosa dalam kegelapan. Seorang pemuda dihajar tiga preman. Seorang tua menggigil kedinginan di pojokan. Namun aku tidak peduli. Seperti juga semua orang tidak peduli kepadaku. Seperti juga semua orang tidak peduli kepadamu. Seseorang, entah siapa, muntah-muntah di tepi jalan. Biarkan saja. Biarkan.
Sudah berapa lama aku di jalanan? Aku tak tahu. Kudengar lengking saksofon dalam kesunyian cahaya yang berkelebatan. Lampu-lampu neon perkumpulan malam masih menawarkan impian. Seorang perempuan dengan busana berkilat-kilat muncul dari balik pintu. Alangkah bagus kakinya. Alangkah rawan. Di tepi jalan berjajar manusia-manusia pinggiran. Seorang bujang bersiul. Tikus keluar dari selokan. Aku melindasnya ketika menyeberang jalan. Alangkah malang nasibnya. Alangkah malang. Kulihat pasangan lenyap di ujung jalan sambil berpelukan. Biarkan mereka bercinta. Biarkan.
Kudengarkan suara yang lembut di radio. Suara yang empuk dan basah. Seseorang mengirim salam. Seseorang yang lain membalas salam. Sepotong lagu melambungkan kesenduan. Sepotong blues meratap-ratap dalam kekelaman. Tidak. Aku tidak akan meratapimu kekasihku. Sebetulnya aku toh tidak pernah benar-benar mengenalmu. Entah siapa kamu. Dari mana asalmu. Bahkan aku sudah lupa namamu. Hanya wangi parfum itu menggelitik hidungku. Keharuman yang merangsang. Keharuman wanita malam. Ah. Tidur. Tidurlah. Mabuk. Mabuklah. Aku tidak akan memperkosa kamu.
“Apakah aku bermimpi?”
“Aku tidak tahu, kamu mimpi apa?”
“Kamu menyetir mobil, aku tidur di pangkuanmu, dan mobil itu berjalan perlahan-lahan di sungai yang gemerlapan.”
“Tidak, kamu tidak mimpi, kita berlayar di sungai yang gemerlapan.”
“Naik sampan seperti pengantin?”
“Naik mobil dong!”
***
Mabuk. Mabuklah. Radio menyiarkan sejumlah pengumuman. Setiap hari ada keputusan penting. Setiap hari ada kebijakan. Alangkah bijaknya. Alangkah hebatnya. Aku hanya menggelinding dari malam ke malam tanpa kearifan. Tenggelam dalam bualan, tenggelam dalam kepalsuan, melecehkan perasaan. Jangan. Jangan paksa aku berkisah tentang kejujuran. Dalam kepalaku senar kawat berdentang penuh kemarahan. Lagu blues itu muncul dari balik malam. Senar gitarnya putus, meninggalkan nada kegetiran. Kulindas lagi seekor tikus yang malang. Besok pagi sejuta mobil akan melindasnya lagi sampai rata dengan aspal. Biarkan. Biarkan.
Tarian cahaya bagaikan lukisan di kaca jendela. Pada jendela itu pula aku melihat seorang balerina. Ia menari bagaikan terbang di antara cahaya malam.
“Adakah yang lebih indah dari impian?”
Aduh. Bau mulutmu itu. Benarkah itu harga peradaban?
“Tak ada yang lebih memabukkan dari impian.”
“Aku ingin mimpiku jadi kenyataan, sayang.”
“Kenyataan juga bisa memabukkan sayang….”
Sayangku. Sayangku. Penari itu meluncur bersama kita. Kini kudengar rintihan harmonika yang menyakitkan. Di tepi jalan tinggal toko-toko yang tutup, etalase yang gelap, dan manekin yang berdiri kesepian dalam rancangan busana penuh keceriaan. Kekelaman, o kekelaman, kucari diriku di sudut-sudut kota yang muram. Para peronda menjaga malam. Kelelawar beterbangan di celah-celah bangunan.
Kutelusuri kota, semak-semak besi beton dan baja. Gedung-gedung yang sedang dibangun menjulang ke angkasa. Lampu-lampu menyala di antara kerangka bangunan. Suara-suara bersahutan. Truk-truk besar membawa pipa-pipa baja. Para pekerja mengusap mata. Dengung mesin derek menggetarkan malam. Penariku terbang dari jendela, melejit dan berloncatan di antara mereka. Bagaikan terdengar Tchaikovsky. Timbul tenggelam dalam jeritan serak penyanyi blues.
Perempuan itu mencoba bangun, tetapi segera ambruk kembali. Mulutnya berdesis. Ia sudah mabuk berat. Bau parfumnya masih anggun. Tangannya bergerak dan terkulai dalam gemerincing deretan gelang. Wanitaku, ah wanitaku. Anak siapakah kamu. Sudah lama kita berjalan-jalan, sepanjang tahun sepanjang sungai sepanjang malam, tapi tak kunjung ada kepastian. Aku tak pernah akan tahu nasibmu. Mungkinkah kehidupan bisa lebih indah daripada impian?
Sepanjang jalan ratusan papan iklan berjejalan. Dalam kesepian malam, pesan-pesan mereka bersahutan. Ah. Aku sudah lelah. Aku sudah mulai mengantuk. Jangan-jangan nanti tertidur di jalan. Apakah harus kucari sebuah motel? Apakah sebaiknya tidur di tepi jalan? Sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang malam kucari rumahku, tapi tak pernah kutemukan. Apakah aku juga sudah mabuk? Aku ingin pulang. Tidur. Aku ingin meluruskan punggungku dan tidur dengan perasaan aman. Aku capai. Letih. Terlalu banyak pikiran. Wanitaku, tunjukkan rumahku, aku mabuk.
“Rumahmu di sini, dalam hatiku,” katamu kemarin malam. Ah, kekasihku, ini bukan waktu pacaran. Kutelusuri kelam dan kesenduan. Kutelusuri malam yang penuh tangisan. Roda-roda nasibku menggelinding dalam kegelapan. Berputar dan berputar. Ayolah mobilku, jangan malu-malu. Biar kusetir kamu perlahan-lahan sepanjang perjalanan. Jalanan ini sepi, jalanan ini lengang. Tak ada orang menyeberang di tengah jalan.
***
Kadang-kadang sambil menyetir kupejamkan mataku. Dalam kegelapan rasanya bagai melayang-layang. Kadang-kadang dalam gelap malam setirnya kulepaskan. Penari balet di jendela itu berputar dan berputar. Tiba-tiba ia melejit ke jalan layang, menari sendiri disiram cahaya kekuningan. Ia melompat dan berputar, menggeliat dan berputar, melenting dan berputar, berjingkat dan berputar, melayang-layang dan lenyap di kejauhan. Lantas dari hatiku bagaikan ada yang hilang. Siapakah yang akan menatapnya menari di tengah jalan?
Di tepi jalan ada orang melambaikan tangan. Siapa? Aku tak kenal. Jangan berhenti sembarangan lewat tengah malam. Kulewati ia tanpa melirik, tapi di kaca spion, kulihat ia masih saja melambai-lambai. Alangkah jauhnya ia, alangkah sendiri. Apakah ia memang sengaja menunggu aku sepanjang malam? Jangan-jangan ia telah menunggu seseorang sepanjang hidupnya. Aku takut ia memang telah menunggu seseorang sepanjang zaman dan akulah yang ditunggunya dengan penuh harapan. Namun kita sudah biasa mengharap sesuatu begitu lama hanya untuk berakhir dengan kegagalan.
Perempuan itu bergerak, menggeliat, dan berganti posisi. Lengannya yang terbuka begitu putih dan halus dan meruapkan kelembutan. Apakah yang sedang diimpikannya? Ia tidur telentang. Kaki dan tangannya sudah cenang-perenang. Bibirnya yang merah, basah, dan setengah terbuka mendesiskan kata-kata entah apa. Radio mengalirkan Chick Corea. Perempuan-perempuan lain melintas sepintas dalam kenangan. Salah seorang di antaranya memelukku dari belakang. Suaranya yang serak dan basah membuatku mabuk kepayang.
“Lihatlah kekasihku, kamu hanya memburu bayangan, memburu angan-angan. Tak ada apa-apa di sana selain ketiadaan. Berhentilah, keluar dari mobil, tinggalkan perempuan itu, kita bisa bercumbu di tepi jalan.”
Percumbuan! Percintaan!
“Ayo, cepat, nanti kamu ketinggalan. Semua orang sudah keluar dari kendaraannya memburu kesenangan. Tinggal kamu repot sendirian menyusuri jalan. Untuk apa?’
Memang. Untuk apa.
“Lihatlah aku, masih hangat dan membara. Kuserahkan diriku tanpa tuntutan. Ayo, cepat, di sana ada taman, kita bisa bercinta di rerumputan.”
Bercinta di rerumputan. Aku tak tahu lagi cara lain melewatkan malam. Sejak bertahun silam kuaduk-aduk kota dengan penuh kegelisahan.
“Ayo, cepat kekasihku, jangan lepaskan kesempatan.”
Kesempatan? Di luar, gerimis mengaburkan pandangan. Kujalankan wiper dengan perasaan runyam. Perempuan yang tergolek di pangkuanku bersendawa agak tertahan.
“Siapa sayang, aku seperti mendengar percakapan.”
“Tak ada siapa-siapa, hanya hujan.”
“Hujan? Sekarang hujan?”
“Ya, hujan.”
***
Ya, gerimis telah menjadi hujan. Di kiri kanan jalan kulihat pemandangan mengenaskan. Para pengungsi berduyun-duyun dalam barisan yang panjang dengan wajah kelaparan. Korban-korban perang yang sudah mati maupun setengah mati bergelimpangan sepanjang jalan. Pertempuran masih terus berlangsung dengan kejam. Pesawat-pesawat tempur F-16 muncul mendadak melepaskan rudal. Terdengar berbagai ledakan menggetarkan jalanan. Pertempuran bagaikan pesta kembang api. Dari radio terdengar pidato para pemimpin yang berkobar-kobar, disusul berita jatuhnya korban.
“Berisik amat, ada apa sih?”
“Tidak ada apa-apa, hanya hujan.”
Dalam hujan yang menderas kusetir mobilku perlahan-lahan. Nyala api menghanguskan bumi. Perumahan, pusat perdagangan, dan gedung-gedung bertingkat merah membara seperti arang. Pesawat tempur berseliweran, sesekali merendah satu meter di atas tanah, menembakkan rudal ke berbagai jurusan. Seorang balerina menari sendirian di jalan-layang yang terbakar menyala dan hampir runtuh karena bom terus-menerus berjatuhan. Para pengungsi mendorong gerobak sambil membawa buntalan. Radio dalam mobilku menyala karena api, tapi masih terus menggemakan Carmina Burana berulang-ulang. Di tengah medan, para prajurit berlari-lari mencari lubang perlindungan, sebelum disambar rentetan tembakan, lontaran granat, dan terpental menjadi mayat, berpijar bersama cahaya ledakan.
Hujan memekatkan malam. Debu mengepul. Asap membubung. Seorang prajurit yang kelelahan menenggak minuman di atas tumpukan mayat dengan keringat berlelehan. Malam yang berhujan adalah malam yang mengkhawatirkan. Bau mesiu memasuki mobil. Perempuan itu masih juga mencoba bangkit dari mabuknya, tetapi selalu ambruk kembali.
“Sudah sampai di mana sayang, aku ingin pulang.”
“Kita tidak akan sampai di mana-mana sayang, kita hanya akan sampai di suatu tempat entah di mana pada suatu saat entah kapan dan entah pula untuk apa. Tidak usah bertanya-tanya sayang, nikmati saja perjalanan.”
Namun perempuan itu sudah mendengkur.
Bersama kelam bersama mimpi bersama malam kusetir kesendirianku perlahan-lahan. Kuserahkan diriku kepada malam yang tergenang kedukaan. Kupasrahkan kegelisahanku kepada sungai cahaya yang gemerlapan. ***
.
.
Jakarta, 12 Desember 1989
.
Midnight Express. Midnight Express. Midnight Express. Midnight Express. Midnight Express. Midnight Express.
Leave a Reply